a. TUBAN SAAT PEMERINTAHAN AIRLANGGA.
c. BUKU LING – WAI - TAl - TA
Dari hasil-hasil kesusasteraan dapat pula diketahui sedikit ba-gaimana keadaannya dalam zaman Kediri. Tetapi masih menarik perhatian ialah keterangan-keterangan yang terdapat dalam berita-berita Tionghwa. Kitab Ling wai tai ta yang disusun oleh Chou Ku Fei dalam tahun 1178 memberikan gambaran yang tidak didapat dari lain sumber tentang pemerintahan dan masyarakat Kediri. Dikatakan misalnya, bahwa orang-orang memakai kain sampai di bawah lutut, sedangkan rambutnya diurai.
Rumah-rumahnya sangat rapi dan bersih. Lantainya dari ubin yang berwarna hijau dan kuning. Pertanian, peternakan dan perdagangan mengalami kemajuan dan perhatian dari Pemerintah. Pun ada pemeliharaan ulat sutra dan kapas. Hukuman badan tidak ada, orang-orang yang bersalah didenda dan pembayaran berupa emas, kecuali pencuri dan perampok yang dibunuh. Untuk perkawinan, keluarga anak perempuan menerima maskawin berupa sejumlah emas. Alat pembayaran adalah mata uang dari perak.
Orang sakit bukan menggunakan obat, melainkan memohon sembuh kepada dewa-dewa dan kepada Budha Tiap bulan ke 2 diadakan pesta air, dan orang ber-perahu-perahu penuh kegembiraan; tiap bulan 10 perayaan ber-langsung di gunung dan orang berduyun-duyun ke sana untuk ber-senang-senang. Alat-alat musiknya terdiri atas seruling gendang dan gambang dari kayu.
Cikal Bakal Penguasa Negeri Tuban
Cikal bakal yang menurunkan adipati di Tuban adalah Prabu Banjaransari, raja di Negeri Pajajaran (Atmodiharjo, 1984 :44). Karena beliau dikarunia banyak putra, dan salah satu dari keturunannya yang dikemudian hari menurunkan silsilah adipati Tuban. Kala itu kerajaan Pajajaran yang berpusat di dekat Ciamis sedang mengalami puncak kejayaan.
Kemakmuran dan keadilan benar-benar dirasakan oleh rakyat mulai dari ibukota kerajaan sampai ke pelosok-pelosok pedesaan. Prabu Banjaransari yang bertahta adalah sosok yang sangat bijaksana sehingga dielu-elukan oleh rakyatnya. Kemasyhuran nama Prabu Banjaransari tidak hanya menjadi buah bibir rakyatnya saja, akan tetapi keharuman namanya telah merambah sampai ke negeri-negeri manca.
Bupati Tuban Sebelum Masa Kemerdekaan
1. Bupati ke-1: Arya Dandang Wacana
Sepeninggal ayahnya, Arya Dandang Wacana segera melaksanakan wasiat itu. Beliau diikuti oleh para prajurit dan rakyatnya yang setia meninggalkan Lumajang. Mereka bekerja keras membuka hutan Papringan yang membenta dari lereng perbukitan sampai ke tepi pantai utara Pulau Jawa. Setelah berhasil, tempat itu diberi nama Tuban karena di daerah itu banyak sumber air.
Jadi nama Tuban tersebut berasal dari kata = metu banyu = tubanyu = Tuban). Dari hari kehari hutan Papringan yang telah berubah menjadi Tuban itu semakin ramai saja sehingga terbentuklah sebuah kabupaten. Arya Dandang Wacana sendiri menorehkan nama sebagai adipati pertama di Kadipaten Tuban dengan gelar Kyai Ageng Papringan. Setelah menjadi adipati selama ± 3 tahun kemudian mendirikan pesanggrahan yang di sekitarnya terdapat sungai dan sendang. Di sekitar sendang banyak ditumbuhi pohon besar, sehingga udaranya sangat sejuk.
Pesanggrahan tersebut diberi nama Bekti. Nama Bekti diambil dari kata “pangabekti”, karena pada waktu Raden Dandang wacana sedang beristirahat di tempat itu, masyarakat datang berduyun-duyun untuk menunjukkan rasa pengabdian kepada junjungannya (sowan ngabekti). Bekas pesanggrahan tersebut sekarang menjadi Desa Bektiharjo.
Kyai Gedhe Papringan menjadi adipati Tuban selama ± 30 tahun kemudian meninggal dan dimakamkan di Kali Gunting, Desa Prunggahan, Kecamatan Semanding.
2. Bupati ke-2: Raden Haryo Ronggolawe
Adipati Tuban pertama, Kyai Gedhe Papringan dikaruniai dua putri yaitu Nyai Ageng Lanang Jaya dan Nyai Ageng Ngesa. Perkawinan antara Nyai Ageng Lanang Jaya dan Arya Wiraraja dikarunia seorang putra bernama Raden Haryo Ronggolawe.
Raden Haryo Ronggolawe dilantik sebagai adipati Tuban pada tahun 1215 Saka atau 12 Nopember 1293, bersamaan dengan penobatan Raden Wijaya sebagai raja Majapahit. Peristiwa inilah yang kemudian dijadikan titik tumpu untuk menetapkan hari jadi Kota Tuban.
Sejarah telah mencatat bahwa ketidakpuasan Raden Haryo Ronggolawe atas putusan Raden Wijaya yang melantik Nambi sebagai Patih Amangkubumi memantik terjadinya pertumpahan darah di Sungai Tambak Beras. Penegakan keadilan dengan cara Raden Haryo Ronggolawe tersebut, mengakibatkan dirinya gugur di medan pertempuran. Menurut Suwardjan dan Siti Alfiah (1987:18) “Beliau wafat pada tahun 1217 Saka atau 1295 M”.
3. Bupati ke-3: Raden Sirolawe
Serat Dhamarwulan (Hikayat Tanah Jawa) menerangkan bahwa Raden Haryo Ronggolawe mempunyai dua orang putra: 1. Raden Buntaran dan 2. Raden Watangan. Padahal di dalam serat Babad Tuban diterangkan bahwa putra Ronggolawe hanya semata wayang bernama Raden Sirolawe, beliau inilah yang menggantikan ayahanda sebagai adipati Tuban. Mungkin karena berdasarkan etika garis keturunan, putra tertualah yang berhak menjadi adipati (penguasa). Bisa jadi Raden Buntaran adalah Raden Sirolawe yang menjalankan pemerintahan hingga ± 15 tahun sampai meninggal dunia.
4. Bupati ke-4: Raden Haryo Sirowenang
Sepeninggal Raden Sirolawe yang menggantikan sebagai adipati adalah puteranya bernama Raden Haryo Sirowenang. Lama pemerintahannya ± 43 tahun.
5. Bupati ke-5: Raden Haryo Lena
Adipati Tuban ke-5 adalah Raden Haryo Lena, putera Raden Haryo Sirowenang. Lama pemerintahannya ± 52 tahun.
6. Bupati ke-6: Raden Haryo Dikara
Raden Haryo Dikara menggantikan ayahnya, Raden Haryo Lena. Lama pemerintahannya ± 18 tahun. Adipati ke-6 ini dikarunia dua putrera yaitu Raden Ayu Haryo Tedjo dan Kyai Ageng Ngraseh. Raden Ayu Aryo Tedjo diperistri oleh “Syeh Ngabdurrahman, putra Syeh Ngali = Syeh Jalaludin ( Kyai Makam Dowo).
7. Bupati ke-7: Raden Haryo Tedjo
Pengganti Raden Haryo Dikara adalah menantunya (suami Raden Ayu Haryo Tedjo) yaitu Syeh Ngabdurachman, putera Syeh Djalaludin dari Gresik. Setelah menjabat adipati ke-7, Syeh Ngabdurachman bergelar Raden Haryo Tedjo. Lama pemerintahannya ± 41 tahun.
8. Bupati ke-8: Raden Haryo Wilatikta
Sepeninggal Raden Haryo Tedjo, penggantinya adalah puteranya bernama Raden Haryo Wilatikta. Lama pemerintahan Raden Harya Wilatikta ± 40 tahun. Pada masa pemerintahannya, ada sesuatu yang patut menjadi bahan diskusi tentang sosok Raden Haryo Wilatikta ini. Suwardjan dan Siti Alfiah (1987:19) dengan merujuk keterangan Tome Pires ketika berkunjung ke Tuban menuliskan, “Keluarga rajanya sekalipun beragama Islam, sejak pertengahan abad ke-15 tetap mengadakan hubungan baik dengan maharaja Majapahit di pedalaman.
Sebagian penduduk kota Tuban pada jaman itu masih kafir (belum masuk Islam, red.). Menurut musafir itu, raja Tuban pada waktu itu disebut Pate Vira. Ia bukan seorang Islam yang taat meskipun kakaknya masuk Islam.”
Selanjutnya Suwardjan dan Siti Alfiah menjelaskan bahwa kata Vira kita kenal dengan kata Wira, yang sering menjadi bagian dari nama Jawa. Tetapi, dapat juga Vira dihubungkan dengan Wilatikta. Jika itu benar Wilatikta, maka perlu kita bertanya, mengapa putra seorang ulama besar Syeh Ngabdurrachman yang bergelar Raden Haryo Tedjo menjadi seorang muslim yang tidak taat?
Pada bagian lain Suwardjan dan Siti Alfiah (1987:20) dengan mengutip pendapat H.J. de Graaf mengemukakan, bahwa sulit dibayangkan bagaimana bisa terjadi Aria dari Tuban yang beragama Islam itu, sebagai pejabat terkemuka di wilayah kerajaan Majapahit yang sebagian besar belum memeluk agama Islam.” Keberatan ini tampaknya cukup beralasan karena setiap tahun pada waktu yang ditetapkan, adipati Tuban harus tinggal untuk beberapa lama di Majapahit dan tidak mungkin membebaskan diri dari upacara-upacara ritual non-Islam.
Upacara-upacara itu merupakan bagian dari politik Kerajaan Majapahit. Tampaknya, Wilatikta adalah abdi yang lebih setia kepada rajanya daripada kepada agamanya. Sangat masuk akal jika perbedaan paham ini sampai membuat putranya yaitu Raden Said meninggalkan Tuban untuk tinggal di Demak. Suwardjan dan Siti Alfiah (1987:20) mempertegas, “Jelas antara R. Harya Wilatikta dan R. Sahid ada pertentangan besar.”
Analisis ini diperkuat dengan kondisi objektif di Makam Sunan Bonang. Sebelah kiri Makam Sunan Bonang antara lain bersemayam Kyai Ageng Ngraseh dan Pangeran Balewot. Sedangkan di sebelah kanan bersemayam Kyai Ageng Botobang dan Kyai Ageng Gegilang.
Lalu, di manakah makam Raden Harya Wilatikta?
Raden Harya Wilatikta dimakamkan di bagian pelataran makam induk Sunan Bonang dan keempat tokoh Tuban yang dianggap dekat dengannya. “Jadi, dapat diterima keempat bupati yang dimakamkan dengan Sunan Bonang di atas adalah para bupati yang masih erat dengan pengaruh para wali khususnya Sunang Bonang” (Suwardjan dan Siti Alfiah,1987:21).
9. Bupati ke-9: Kyai Ageng Ngraseh
Pengganti Raden Haryo Wilatikta adalah menantunya yaitu Kyai Ageng Ngraseh yang juga putera adipati ke-6, Raden Haryo Dikara. Lama pemerintahannya ± 40 tahun.
10. Bupati ke-10: Kyai Ageng Gegilang
Sepeninggal Kyai Ageng Ngraseh, jabatan adipati Tuban digantikan oleh puteranya bernama Kyai Ageng Gegilang. Lama pemerintahannya ± 38 tahun.
11. Bupati ke-11: Kyai Ageng Batabang
Pengganti Kyai Ageng Gegilang adalah Kyai Ageng Batabang. Lama pemerintahannya ± 14 tahun.
12. Bupati ke-12: Raden Haryo Balewot
Adipati Tuban ke-12 adalah putera Kyai Ageng Batabang bernama Raden Haryo Balewot. Beliau dikaruniai dua putera yaitu Pangeran Sekartandjung dan Pangeran Ngangsar. Lama pemerintahannya ± 56 tahun.
13. Bupati ke-13: Pangeran Sekartandjung
Raden Haryo Balewot kemudian digantikan putera sulungnya bernama Pangeran Sekartandjung. Adipati ke-13 ini mengalami nasib tragis karena meninggal di tangan saudara kandungnya yaitu Pangeran Ngangsar. Pada waktu Pangeran Sekar Tanjung Sholat Jum’at di masjid dalam posisi rukuk Pangeran Sekar Tanjung ditikam dari belakang oleh adiknya sendiri yaitu Pangeran Ngangsar. Pangeran Ngangsar dalam mimpinya mendapat wasiat maka dengan senjata keris yang bernama “Kyai Layon” ditikamlah Pangeran Sekar Tanjung.
Pangeran Sekar Tanjung menjadi adipati selama ±22 tahun. Pangeran Sekartandjung dikarunia dua putera yaitu Pangeran Haryo Permalat dan Haryo Salempe. Namun, pada waktu ayahnya meninggal dunia keduanya masih kecil/ masih muda.
14. Bupati ke-14: Pangeran Ngangsar
Setelah berhasil membunuh saudaranya, Pangeran Ngangsar menjadi adipati Tuban ke-14. Lama pemerintahannya hanya ± 7 tahun.
15. Bupati ke-15: Pangeran Haryo Permalat
Sepeninggal Pangeran Ngangsar, penggantinya adalah Pangeran Haryo Permalat. Adipati Tuban ke-15 ini adalah menantu Sultan Pajang, Raden Djaka Tingkir. Pangeran Haryo Permalat memang berseteru dengan Penguasa Mataram yaitu Panembahan Senapati. Selama pemerintahannya, Tuban pernah diserang oleh Mataram yaitu pada tahun 1598 dan 1599. Namun, serangan-serangan Mataram itu gagal karena Tuban pada waktu itu mempunyai pertahanan sangat kuat.
Lama pemerintahannya ± 38 tahun. Beliau mempunyai seorang putera bernama Pangeran Dalem.
16. Bupati ke-16: Haryo Salempe
Ketika Pangeran Haryo Permalat mangkat, yang menggantikannya adalah Haryo Salempe yang juga putera dari adipati ke-13. Hal ini disebabkan, Pangeran Dalem masih kecil. Lama pemerintahannya ± 38 tahun.
17. Bupati ke-17: Pangeran Dalem (1614-1619)
Berakhirnya pemerintahan Adipati Haryo Salempe, yang menggantikannya adalah Pangeran Dalem. Pada tahun 1619, Tuban diserang oleh Mataram. Terjadi pertempuran sengit yang mengakibatkan Benteng Kumbakarna jatuh ke tangan musuh. Siasat penyusupan kekuatan Mataram ke dalam tubuh pemerintahan Tuban berbuah kemenangan Mataram atas Tuban. Hal ini mengakibatkan Pangeran Dalem harus menyingkir ke Bawean. Istri Pangeran Dalem bernama Kumalarena juga meninggal di Bawean.
Sepeninggal istrinya, Pangeran Dalem menuju ke Rajekwesi, Bojonegoro sampai mangkat dan dimakamkan di Kadipaten, Bojonegoro. Mengapa Pangeran Dalem justru menuju ke Bojonegoro yang begitu dekat dengan Tuban? Ternyata salah satu alasan yang masuk akal adalah karena Pangeran Dalem mempunyai saudara bernama R. Ayu Djamus yang sangat berpengaruh di Bedander, Bojonegoro.
Makam Buyut Dalem berada di dalam sebuah cungkup yang terawat dengan baik. Namun, di samping makam utama tersebut bersemayam pula seorang tokoh wanita pujaan hati Buyut Dalem bernama Srihuning yang mendapat julukan Mustika Tuban karena semangatnya “labuh tresna sabaya pati”.
Bersumber dari keterangan pihak Dinas Pariwisata Kabupaten Bojonegoro dan dua orang juru kunci makam Buyut Dalem, “Di makam ini selalu diadakan semacam sedekah bumi yaitu jatuh pada setiap hari Rabu Wage, bulan September. Kegiatan ritual ini diawali pada hari Rabu Pahing dengan “mayu alang-alang” yaitu mengganti atap cungkup yang terbuat dari alang-alang. Selain itu juga dilakukan penggantian pasir yang ada di dalam makam.” Di dalam buku Kumpulan Cerita Rakyat Daerah Bojonegoro (2003:20) dijelaskan:
Sejarah kotaku tercinta Airlangga jadi raja Medang (1019 — 1041)
sesudah negeri itu dirusakkan musuh.Kemudian Airlangga mendirikan kraton
baru di Kahuripan. Kemakmuran rakyat diperhatikannya benar.
Aliran su-ngai Brantas diperbaikinya, sehingga perahu-perahu dapat berlabuh dengan tenang dan aman di Hujung Galuh, pelabuhan Kahuripan yang makmur pada masa itu. Karena Hujung Galuh menjadi pelabuhan utama untuk perniagaan antar pulau, maka pelabuhan antar Negara ditempatkan di KAMBANG PUTIH, yakni di atau dekat Tuban, yang sekarang.
Oleh Airlangga diambil sejumlah tindakan untuk memajukan perniagaan di sana. Antara lain pembebasan dari beberapa jenis pajak. Orang-orang asing yang berdagang di sana berasal dari jauh. Menurut daftar yang terdapat dalam prasasti prasasti, Airlangga termasuk pedagang dari India Utara, India Selatan, Birma, Kamboja dan Campa. Hal yang menarik perhatian kita, ialah ketiadaan orang-orang Tionghwa dalam daftar tersebut.
Aliran su-ngai Brantas diperbaikinya, sehingga perahu-perahu dapat berlabuh dengan tenang dan aman di Hujung Galuh, pelabuhan Kahuripan yang makmur pada masa itu. Karena Hujung Galuh menjadi pelabuhan utama untuk perniagaan antar pulau, maka pelabuhan antar Negara ditempatkan di KAMBANG PUTIH, yakni di atau dekat Tuban, yang sekarang.
Oleh Airlangga diambil sejumlah tindakan untuk memajukan perniagaan di sana. Antara lain pembebasan dari beberapa jenis pajak. Orang-orang asing yang berdagang di sana berasal dari jauh. Menurut daftar yang terdapat dalam prasasti prasasti, Airlangga termasuk pedagang dari India Utara, India Selatan, Birma, Kamboja dan Campa. Hal yang menarik perhatian kita, ialah ketiadaan orang-orang Tionghwa dalam daftar tersebut.
Rupanya hal ini disebabkan karena
Tiongkok, di mana perniagaan luar negeri menjadi urusan pemerintah,
semata-mata berdagang dengan Sriwijaya seperti dahulu. Pelabuhan Tuban
menurut pengaturan jalan-jalan menghubungkan kota tersebut dengan pusat
negara yang mungkin sekali letaknya agak ke dalam. Sejumlah prasasti
dari zaman Airlangga yang didapat di daerah Babat, Ngimbang dan Ploso,
menunjukkan bahwa justru daerah melalui jalan dari Tuban ke Babat menuju
ke Jombang mendapat perhatian yang besar dari Airlangga.
b. BUKU YING YAI SHENG LAN.
Berita Tionghwa yang sangat penting,
adalah uraian Ma Hua dalam bukunya Ying Yai Shing Lan. Ma Huan adalah
orang Tionghwa beragama Islam, yang mengiringi Cheng Ho dalam
perjalanannya yang ketiga (1413 —1415) ke daerah-daerah lautan selatan.
Kecuali soal-soal mengenai keadaan berbagai daerah yang ber-hubungan
dengan kedudukan politiknya, yang sangat menarik perhatian adalah
uraian Ma Huan tentang keadaan kota Majapahit dan rakyatnya. Kalau orang
pergi ke Jawa, katanya, kapal-kapal lebih dahulu sampai ke
Tuban.Kemudian dengan melalui Gresik yang banyak penduduknya Tionghwa,
orang tiba di Surabaya.
Di sini orang pindah ke perahu-perahu kecil berlayar ke Canggu. Melalui jalan darat, orang kemudian pergi ke arah selatan dan tibalah orang di Majapahit, tempat kediaman sang raja. Kotanya dikelilingi tembok tinggi yang dibuat dari bata, dan penduduknya sejumlah kira-kira 300.000 orang. Sang raja kepalanya terbuka, atau tertutup dengan mahkota dari emas, memakai kain dan selendang, tidak berterompah dan selalu membawa satu atau dua bilah keris.
Kalau keluar ia naik gajah atau kereta yang ditarik oleh lembu. Rakyatnya pun memakai kain dan baju, dan tiap orang laki-laki mulai anak berumur 3 tahun memakai keris, yang hulunya indah sekali, terbuat dari emas, cula badak atau gading. Kalau mereka bertengkar sekejap saja mereka sudah siap dengan kerisnya.
Mereka biasa makan sirih, senang mengadakan perang-perangan dengan tombak bambu pada perayaan-perayaan, suka bermain-main bersama waktu terang bulan dengan disertai nyanyian-nyanyian berkelompok dan bergiliran antara golongan wanita dan pria, gemar pula menonton wayang beber (wayang yang adegan-adegan ceriteranya digambar di atas sehelai kain, kemudian dibentangkan antara dua belah kayu.dan diceriterakan isinya oleh dalang).
Penduduk Majapahit terdiri atas tiga golongan orang-orang Islam yang datang dari barat dan mendapatkan mata pencaharian di ibu kota, orang Tionghwa yang banyak pula memeluk agama Islam dan rakyafcte- lebihnya yang menyembah berhala dan tinggal bersama dengan anjing mereka.
Di sini orang pindah ke perahu-perahu kecil berlayar ke Canggu. Melalui jalan darat, orang kemudian pergi ke arah selatan dan tibalah orang di Majapahit, tempat kediaman sang raja. Kotanya dikelilingi tembok tinggi yang dibuat dari bata, dan penduduknya sejumlah kira-kira 300.000 orang. Sang raja kepalanya terbuka, atau tertutup dengan mahkota dari emas, memakai kain dan selendang, tidak berterompah dan selalu membawa satu atau dua bilah keris.
Kalau keluar ia naik gajah atau kereta yang ditarik oleh lembu. Rakyatnya pun memakai kain dan baju, dan tiap orang laki-laki mulai anak berumur 3 tahun memakai keris, yang hulunya indah sekali, terbuat dari emas, cula badak atau gading. Kalau mereka bertengkar sekejap saja mereka sudah siap dengan kerisnya.
Mereka biasa makan sirih, senang mengadakan perang-perangan dengan tombak bambu pada perayaan-perayaan, suka bermain-main bersama waktu terang bulan dengan disertai nyanyian-nyanyian berkelompok dan bergiliran antara golongan wanita dan pria, gemar pula menonton wayang beber (wayang yang adegan-adegan ceriteranya digambar di atas sehelai kain, kemudian dibentangkan antara dua belah kayu.dan diceriterakan isinya oleh dalang).
Penduduk Majapahit terdiri atas tiga golongan orang-orang Islam yang datang dari barat dan mendapatkan mata pencaharian di ibu kota, orang Tionghwa yang banyak pula memeluk agama Islam dan rakyafcte- lebihnya yang menyembah berhala dan tinggal bersama dengan anjing mereka.
c. BUKU LING – WAI - TAl - TA
Dari hasil-hasil kesusasteraan dapat pula diketahui sedikit ba-gaimana keadaannya dalam zaman Kediri. Tetapi masih menarik perhatian ialah keterangan-keterangan yang terdapat dalam berita-berita Tionghwa. Kitab Ling wai tai ta yang disusun oleh Chou Ku Fei dalam tahun 1178 memberikan gambaran yang tidak didapat dari lain sumber tentang pemerintahan dan masyarakat Kediri. Dikatakan misalnya, bahwa orang-orang memakai kain sampai di bawah lutut, sedangkan rambutnya diurai.
Rumah-rumahnya sangat rapi dan bersih. Lantainya dari ubin yang berwarna hijau dan kuning. Pertanian, peternakan dan perdagangan mengalami kemajuan dan perhatian dari Pemerintah. Pun ada pemeliharaan ulat sutra dan kapas. Hukuman badan tidak ada, orang-orang yang bersalah didenda dan pembayaran berupa emas, kecuali pencuri dan perampok yang dibunuh. Untuk perkawinan, keluarga anak perempuan menerima maskawin berupa sejumlah emas. Alat pembayaran adalah mata uang dari perak.
Orang sakit bukan menggunakan obat, melainkan memohon sembuh kepada dewa-dewa dan kepada Budha Tiap bulan ke 2 diadakan pesta air, dan orang ber-perahu-perahu penuh kegembiraan; tiap bulan 10 perayaan ber-langsung di gunung dan orang berduyun-duyun ke sana untuk ber-senang-senang. Alat-alat musiknya terdiri atas seruling gendang dan gambang dari kayu.
Tentang sang raja sendiri dikatakan,
bahwa ia berpakaian sutra, bersepatu kulit dan memakai
perhiasan-perhiasan dari emas. Rambutnya disanggul di atas kepala.
Setiap hari ia menerima pe-jabat-pejabat dan mengurus pemerintahan. Maka
ia duduk diatas , singgasana yang berbentuk segi empat. Sehabis sidang
para pejabat itu menyembah tiga kali, baru mengundurkan diri. Jika raja
ke-luar, naik gajah ataupun kereta, ia diiringi 500 sampai 700 orang
prajurit dan rakyat di tepi jalan semuanya jongkok sampai raja lewat.
Dalam pemerintahan sang raja dibantu oleh 4 orang menteri terkemuka, yaitu rakryan kanuruhan, rakryan maha mantri i hulu, rakryan mahamantri i rangga dan rakryan mahapatih. Mereka ini tidak menerima gaji tetap, tetapi pada waktu-waktu tertentu menerima hasil bumi atau lainnya.
Selanjutnya pemerintahan dilakukan oleh 300 orang pegawai, yang memegang tata buku dan tata usaha 1000 orang pegawai rendahan bertugas mengurus per-bentengan, perbendaharaan negara, gudang-gudang persediaan dan keperluan-keperluan para prajurit.Panglima tentara setiap se-tengah tahun mendapat 10 tail emas dan para prajurit yang ber-jumlah 30.000 mendapat bayarannya setengah tahun sekali pula dan besarnya gaji sesuai dengan pangkatnya. Demikianlah keterangan yang diperoleh dari sumber Tionghwa.
Hal-hal tersebut juga terdapat dalam Kitab Chu-fan-chi- oleh Chau-Ju-Kau tahun 1225. Dalam buku tersebut diceriterakan juga, bahwa di Asia Tenggara ada dua kerajaan yang terkemuka dan terkaya, pertama ialah Jawa dan kedua Sriwijaya. Di Jawa ada dua macam agama yaitu agama Budha dan agama para pertapa (maksudnya Hindu). Rakyatnya lekas naik darah dan berani berperang, kesukaannya ialah mengadu ayam. Mata uangnya dibuat dari logam campuran tembaga, perak dan timah.
Dalam pemerintahan sang raja dibantu oleh 4 orang menteri terkemuka, yaitu rakryan kanuruhan, rakryan maha mantri i hulu, rakryan mahamantri i rangga dan rakryan mahapatih. Mereka ini tidak menerima gaji tetap, tetapi pada waktu-waktu tertentu menerima hasil bumi atau lainnya.
Selanjutnya pemerintahan dilakukan oleh 300 orang pegawai, yang memegang tata buku dan tata usaha 1000 orang pegawai rendahan bertugas mengurus per-bentengan, perbendaharaan negara, gudang-gudang persediaan dan keperluan-keperluan para prajurit.Panglima tentara setiap se-tengah tahun mendapat 10 tail emas dan para prajurit yang ber-jumlah 30.000 mendapat bayarannya setengah tahun sekali pula dan besarnya gaji sesuai dengan pangkatnya. Demikianlah keterangan yang diperoleh dari sumber Tionghwa.
Hal-hal tersebut juga terdapat dalam Kitab Chu-fan-chi- oleh Chau-Ju-Kau tahun 1225. Dalam buku tersebut diceriterakan juga, bahwa di Asia Tenggara ada dua kerajaan yang terkemuka dan terkaya, pertama ialah Jawa dan kedua Sriwijaya. Di Jawa ada dua macam agama yaitu agama Budha dan agama para pertapa (maksudnya Hindu). Rakyatnya lekas naik darah dan berani berperang, kesukaannya ialah mengadu ayam. Mata uangnya dibuat dari logam campuran tembaga, perak dan timah.
Cikal Bakal Penguasa Negeri Tuban
Cikal bakal yang menurunkan adipati di Tuban adalah Prabu Banjaransari, raja di Negeri Pajajaran (Atmodiharjo, 1984 :44). Karena beliau dikarunia banyak putra, dan salah satu dari keturunannya yang dikemudian hari menurunkan silsilah adipati Tuban. Kala itu kerajaan Pajajaran yang berpusat di dekat Ciamis sedang mengalami puncak kejayaan.
Kemakmuran dan keadilan benar-benar dirasakan oleh rakyat mulai dari ibukota kerajaan sampai ke pelosok-pelosok pedesaan. Prabu Banjaransari yang bertahta adalah sosok yang sangat bijaksana sehingga dielu-elukan oleh rakyatnya. Kemasyhuran nama Prabu Banjaransari tidak hanya menjadi buah bibir rakyatnya saja, akan tetapi keharuman namanya telah merambah sampai ke negeri-negeri manca.
Baginda raja juga dikaruniai banyak putra
dan cucu. Salah satu putra beliau adalah Raden Haryo Metahun. Berkah
dari perkawinannya, R. Haryo Metahun dikaruniai putra bernama Haryo
Randukuning. Suatu hari Raden Arya Randukuning meminta izin ayahanda dan
ibundanya untuk mengembara jauh ke timur. Tentu saja, niatnya itu
ditolak mentah-mentah oleh kedua orang tuanya.
Namun, Prabu Banjaransari ketika mengetahui alasan cucunya mengembara untuk menyempurnakan ilmu dan menambah pengetahuan, maka segeralah baginda memberinya restu. Sejak saat itu Raden Arya Randukuning meninggalkan kehidupan istana yang serba mewah. Ia memilih mengembara ke arah timur menyusuri daerah pesisir pantai utara Pulau Jawa. Tak peduli siang atau malam, Raden Arya Randukuning terus berjalan menembus tebalnya hutan jati.
Namun, Prabu Banjaransari ketika mengetahui alasan cucunya mengembara untuk menyempurnakan ilmu dan menambah pengetahuan, maka segeralah baginda memberinya restu. Sejak saat itu Raden Arya Randukuning meninggalkan kehidupan istana yang serba mewah. Ia memilih mengembara ke arah timur menyusuri daerah pesisir pantai utara Pulau Jawa. Tak peduli siang atau malam, Raden Arya Randukuning terus berjalan menembus tebalnya hutan jati.
Sesampainya di kaki gunung Kalakwilis,
Jenu, Raden Arya Randukuning bekerja keras membuka hutan Srikandi yang
membentang di sepanjang daerah pantai. Atas kegigihan dan kesaktiannya,
hutan itu dalam waktu sekejap berhasil diubah menjadi perkampungan
bahkan akhirnya menjadi sebuah kadipaten yang diberi nama Kadipaten
Lumajang Tengah. Setelah menjadi adipati di Lumajang Tengah, Raden Arya
Randukuning bergelar Kyai Ageng ( Kyai Gede Lebe Lontang).
Di dalam Babad Tuban dikisahkan,
ketika berkuasa di Lumajang Tengah, Kyai Gede Lebe Lontang berhasil
memimpin rakyatnya untuk menapaki kemakmuran. Stabilitas Kadipaten
Lumajang Tengah sangat terjamin mengakibatkan keamanan dan kemakmuran
rakyatnya terjaga. Masyarakat kecil tidak kekurangan suatu apa.
Hewan-hewan piaraan berkembang biak dengan pesat.
Walau hewan-hewan piaraan itu berkeliaran secara bebas, tak seorang pun berani mengambil yang bukan menjadi hak miliknya. Begitu pula para durjana sama sekali tidak bisa berkutik karena kewibawaan sang adipati. Beliau mempunya budi pekerti yang amat luhur dan patut dijadikan teladan bagi para bawahannya. Hal itulah yang membuat para abdi pemerintah dengan penuh kesadaran menjalankan roda pemerintahan secara jujur. Kyai Gede Lebe Lontang berhasil menjalankan pemerintahan di Lumajang Tengah selama ±20 tahun. Kabupaten Lumajang Tengah itu, sekarang menjadi dusun yang bernama Banjar, Kecamatan Jenu.
Walau hewan-hewan piaraan itu berkeliaran secara bebas, tak seorang pun berani mengambil yang bukan menjadi hak miliknya. Begitu pula para durjana sama sekali tidak bisa berkutik karena kewibawaan sang adipati. Beliau mempunya budi pekerti yang amat luhur dan patut dijadikan teladan bagi para bawahannya. Hal itulah yang membuat para abdi pemerintah dengan penuh kesadaran menjalankan roda pemerintahan secara jujur. Kyai Gede Lebe Lontang berhasil menjalankan pemerintahan di Lumajang Tengah selama ±20 tahun. Kabupaten Lumajang Tengah itu, sekarang menjadi dusun yang bernama Banjar, Kecamatan Jenu.
Kyai Gede Lebe Lontang dikarunia seorang
putra bernama Raden Arya Bangah. Sesudah ayahandanya mangkat, Arya
Bangah menolak untuk naik tahta menggantikan ayahnya sebagai adipati di
Lumajang Tengah. Ia memilih berkelana bersama pengikutnya ke arah
selatan. Sesampai di kaki pegunungan kapur Rengel, Arya Bangah dan para
pengikutnya bahu-membahu membuka hutan untuk dijadikan perkampungan.
Siang dan malam Arya Bangah dan para pengikutnya bekerja keras untuk
mewujudkan cita-citanya.
Setelah berhasil, tempat baru itu diberinya nama Kabupaten Gumenggeng. Raden Aryo Bangah saat menjalankan pemerintahan di Gumenggeng selama ±22 tahun lalu meninggal dunia. Bekas Kadipaten Gumenggeng tersebut sekarang menjadi Pedukuhan Gumeng, Desa Banjaragung, Kecamatan Rengel.
Setelah berhasil, tempat baru itu diberinya nama Kabupaten Gumenggeng. Raden Aryo Bangah saat menjalankan pemerintahan di Gumenggeng selama ±22 tahun lalu meninggal dunia. Bekas Kadipaten Gumenggeng tersebut sekarang menjadi Pedukuhan Gumeng, Desa Banjaragung, Kecamatan Rengel.
Raden Arya Bangah mempunyai seorang putra
bernama Raden Aryo Dhandhang Miring. Semenjak muda, Raden Aryo
Dhandhang Miring senang menjalankan tapa brata. Ketika melaksanakan tapa
brata itulah Raden Aryo Dhandhang Miring mendapatkan ilham yaitu
setelah ayahnya mangkat, Raden Aryo Dhandang Miring tidak boleh
melanjutkan pemerintahan ayahandanya di Gumenggeng karena cita-citanya
yang mulia dan luhur tidak akan terlaksana.
Raden Aryo Dhandang Miring harus membuka areal hutan sendiri yang terletak di arah barat laut Gumenggeng. Segala cita-citanya baru berhasil jika putranya kelak membuka hutan bernama Papringan. Selanjutnya Raden Aryo Dhandang Miring dan para prajuritnya menuju ke barat laut untuk membuka hutan bernama Ancer – Ancer. Setelah hutan tersebut menjadi pemukiman, maka diberi nama Kadipaten Lumajang. Raden Aryo Dhandang Miring memerintah Kadipaten Lumajang selama ± 20 tahun.
Raden Aryo Dhandang Miring harus membuka areal hutan sendiri yang terletak di arah barat laut Gumenggeng. Segala cita-citanya baru berhasil jika putranya kelak membuka hutan bernama Papringan. Selanjutnya Raden Aryo Dhandang Miring dan para prajuritnya menuju ke barat laut untuk membuka hutan bernama Ancer – Ancer. Setelah hutan tersebut menjadi pemukiman, maka diberi nama Kadipaten Lumajang. Raden Aryo Dhandang Miring memerintah Kadipaten Lumajang selama ± 20 tahun.
Tersebutlah kisah, tatkala itu Raden ARYA DANDANG WACANA sedang
membuka tanah yang masih berupa hutan bambu yang bernama Papringan,
tanpa diduga – duga sebelumnya muncullah sebuah keajaiban dengan keluarnya air yang dalam istilah jawa disebut (meTu) dan (Banyune), dan jika dirangkaikan menjadi TUBAN.
Peristiwa itu oleh Raden ARYA DANDANG WACANA dijadikan sebagai tonggak sejarah dalam memberi nama tanah tersebut dengan nama TUBAN, dan selanjutnya kita kenal dengan nama Kabupaten Tuban. Sementara itu sejarah pemerintahan Kabupaten Tuban diawali pada jaman Majapahit, tepatnya ketika peristiwa agung pelantikan RONGGOLAWE untuk menjadi adipati Tuban pertama oleh Raja Majapahit Raden WIJAYA.
Peristiwa itu oleh Raden ARYA DANDANG WACANA dijadikan sebagai tonggak sejarah dalam memberi nama tanah tersebut dengan nama TUBAN, dan selanjutnya kita kenal dengan nama Kabupaten Tuban. Sementara itu sejarah pemerintahan Kabupaten Tuban diawali pada jaman Majapahit, tepatnya ketika peristiwa agung pelantikan RONGGOLAWE untuk menjadi adipati Tuban pertama oleh Raja Majapahit Raden WIJAYA.
Peristiwa pelantikan itu dilaksanakan pada tanggal 12 Nopember 1293, yang pada akhirnya oleh Pemerintah Kabupaten Tuban tanggal 12 Nopember dijadikan sebagai Hari Jadi Tuban.
Bupati Tuban Sebelum Masa Kemerdekaan
1. Bupati ke-1: Arya Dandang Wacana
Sepeninggal ayahnya, Arya Dandang Wacana segera melaksanakan wasiat itu. Beliau diikuti oleh para prajurit dan rakyatnya yang setia meninggalkan Lumajang. Mereka bekerja keras membuka hutan Papringan yang membenta dari lereng perbukitan sampai ke tepi pantai utara Pulau Jawa. Setelah berhasil, tempat itu diberi nama Tuban karena di daerah itu banyak sumber air.
Jadi nama Tuban tersebut berasal dari kata = metu banyu = tubanyu = Tuban). Dari hari kehari hutan Papringan yang telah berubah menjadi Tuban itu semakin ramai saja sehingga terbentuklah sebuah kabupaten. Arya Dandang Wacana sendiri menorehkan nama sebagai adipati pertama di Kadipaten Tuban dengan gelar Kyai Ageng Papringan. Setelah menjadi adipati selama ± 3 tahun kemudian mendirikan pesanggrahan yang di sekitarnya terdapat sungai dan sendang. Di sekitar sendang banyak ditumbuhi pohon besar, sehingga udaranya sangat sejuk.
Pesanggrahan tersebut diberi nama Bekti. Nama Bekti diambil dari kata “pangabekti”, karena pada waktu Raden Dandang wacana sedang beristirahat di tempat itu, masyarakat datang berduyun-duyun untuk menunjukkan rasa pengabdian kepada junjungannya (sowan ngabekti). Bekas pesanggrahan tersebut sekarang menjadi Desa Bektiharjo.
Kyai Gedhe Papringan menjadi adipati Tuban selama ± 30 tahun kemudian meninggal dan dimakamkan di Kali Gunting, Desa Prunggahan, Kecamatan Semanding.
2. Bupati ke-2: Raden Haryo Ronggolawe
Adipati Tuban pertama, Kyai Gedhe Papringan dikaruniai dua putri yaitu Nyai Ageng Lanang Jaya dan Nyai Ageng Ngesa. Perkawinan antara Nyai Ageng Lanang Jaya dan Arya Wiraraja dikarunia seorang putra bernama Raden Haryo Ronggolawe.
Raden Haryo Ronggolawe dilantik sebagai adipati Tuban pada tahun 1215 Saka atau 12 Nopember 1293, bersamaan dengan penobatan Raden Wijaya sebagai raja Majapahit. Peristiwa inilah yang kemudian dijadikan titik tumpu untuk menetapkan hari jadi Kota Tuban.
Sejarah telah mencatat bahwa ketidakpuasan Raden Haryo Ronggolawe atas putusan Raden Wijaya yang melantik Nambi sebagai Patih Amangkubumi memantik terjadinya pertumpahan darah di Sungai Tambak Beras. Penegakan keadilan dengan cara Raden Haryo Ronggolawe tersebut, mengakibatkan dirinya gugur di medan pertempuran. Menurut Suwardjan dan Siti Alfiah (1987:18) “Beliau wafat pada tahun 1217 Saka atau 1295 M”.
3. Bupati ke-3: Raden Sirolawe
Serat Dhamarwulan (Hikayat Tanah Jawa) menerangkan bahwa Raden Haryo Ronggolawe mempunyai dua orang putra: 1. Raden Buntaran dan 2. Raden Watangan. Padahal di dalam serat Babad Tuban diterangkan bahwa putra Ronggolawe hanya semata wayang bernama Raden Sirolawe, beliau inilah yang menggantikan ayahanda sebagai adipati Tuban. Mungkin karena berdasarkan etika garis keturunan, putra tertualah yang berhak menjadi adipati (penguasa). Bisa jadi Raden Buntaran adalah Raden Sirolawe yang menjalankan pemerintahan hingga ± 15 tahun sampai meninggal dunia.
4. Bupati ke-4: Raden Haryo Sirowenang
Sepeninggal Raden Sirolawe yang menggantikan sebagai adipati adalah puteranya bernama Raden Haryo Sirowenang. Lama pemerintahannya ± 43 tahun.
5. Bupati ke-5: Raden Haryo Lena
Adipati Tuban ke-5 adalah Raden Haryo Lena, putera Raden Haryo Sirowenang. Lama pemerintahannya ± 52 tahun.
6. Bupati ke-6: Raden Haryo Dikara
Raden Haryo Dikara menggantikan ayahnya, Raden Haryo Lena. Lama pemerintahannya ± 18 tahun. Adipati ke-6 ini dikarunia dua putrera yaitu Raden Ayu Haryo Tedjo dan Kyai Ageng Ngraseh. Raden Ayu Aryo Tedjo diperistri oleh “Syeh Ngabdurrahman, putra Syeh Ngali = Syeh Jalaludin ( Kyai Makam Dowo).
7. Bupati ke-7: Raden Haryo Tedjo
Pengganti Raden Haryo Dikara adalah menantunya (suami Raden Ayu Haryo Tedjo) yaitu Syeh Ngabdurachman, putera Syeh Djalaludin dari Gresik. Setelah menjabat adipati ke-7, Syeh Ngabdurachman bergelar Raden Haryo Tedjo. Lama pemerintahannya ± 41 tahun.
8. Bupati ke-8: Raden Haryo Wilatikta
Sepeninggal Raden Haryo Tedjo, penggantinya adalah puteranya bernama Raden Haryo Wilatikta. Lama pemerintahan Raden Harya Wilatikta ± 40 tahun. Pada masa pemerintahannya, ada sesuatu yang patut menjadi bahan diskusi tentang sosok Raden Haryo Wilatikta ini. Suwardjan dan Siti Alfiah (1987:19) dengan merujuk keterangan Tome Pires ketika berkunjung ke Tuban menuliskan, “Keluarga rajanya sekalipun beragama Islam, sejak pertengahan abad ke-15 tetap mengadakan hubungan baik dengan maharaja Majapahit di pedalaman.
Sebagian penduduk kota Tuban pada jaman itu masih kafir (belum masuk Islam, red.). Menurut musafir itu, raja Tuban pada waktu itu disebut Pate Vira. Ia bukan seorang Islam yang taat meskipun kakaknya masuk Islam.”
Selanjutnya Suwardjan dan Siti Alfiah menjelaskan bahwa kata Vira kita kenal dengan kata Wira, yang sering menjadi bagian dari nama Jawa. Tetapi, dapat juga Vira dihubungkan dengan Wilatikta. Jika itu benar Wilatikta, maka perlu kita bertanya, mengapa putra seorang ulama besar Syeh Ngabdurrachman yang bergelar Raden Haryo Tedjo menjadi seorang muslim yang tidak taat?
Pada bagian lain Suwardjan dan Siti Alfiah (1987:20) dengan mengutip pendapat H.J. de Graaf mengemukakan, bahwa sulit dibayangkan bagaimana bisa terjadi Aria dari Tuban yang beragama Islam itu, sebagai pejabat terkemuka di wilayah kerajaan Majapahit yang sebagian besar belum memeluk agama Islam.” Keberatan ini tampaknya cukup beralasan karena setiap tahun pada waktu yang ditetapkan, adipati Tuban harus tinggal untuk beberapa lama di Majapahit dan tidak mungkin membebaskan diri dari upacara-upacara ritual non-Islam.
Upacara-upacara itu merupakan bagian dari politik Kerajaan Majapahit. Tampaknya, Wilatikta adalah abdi yang lebih setia kepada rajanya daripada kepada agamanya. Sangat masuk akal jika perbedaan paham ini sampai membuat putranya yaitu Raden Said meninggalkan Tuban untuk tinggal di Demak. Suwardjan dan Siti Alfiah (1987:20) mempertegas, “Jelas antara R. Harya Wilatikta dan R. Sahid ada pertentangan besar.”
Analisis ini diperkuat dengan kondisi objektif di Makam Sunan Bonang. Sebelah kiri Makam Sunan Bonang antara lain bersemayam Kyai Ageng Ngraseh dan Pangeran Balewot. Sedangkan di sebelah kanan bersemayam Kyai Ageng Botobang dan Kyai Ageng Gegilang.
Lalu, di manakah makam Raden Harya Wilatikta?
Raden Harya Wilatikta dimakamkan di bagian pelataran makam induk Sunan Bonang dan keempat tokoh Tuban yang dianggap dekat dengannya. “Jadi, dapat diterima keempat bupati yang dimakamkan dengan Sunan Bonang di atas adalah para bupati yang masih erat dengan pengaruh para wali khususnya Sunang Bonang” (Suwardjan dan Siti Alfiah,1987:21).
9. Bupati ke-9: Kyai Ageng Ngraseh
Pengganti Raden Haryo Wilatikta adalah menantunya yaitu Kyai Ageng Ngraseh yang juga putera adipati ke-6, Raden Haryo Dikara. Lama pemerintahannya ± 40 tahun.
10. Bupati ke-10: Kyai Ageng Gegilang
Sepeninggal Kyai Ageng Ngraseh, jabatan adipati Tuban digantikan oleh puteranya bernama Kyai Ageng Gegilang. Lama pemerintahannya ± 38 tahun.
11. Bupati ke-11: Kyai Ageng Batabang
Pengganti Kyai Ageng Gegilang adalah Kyai Ageng Batabang. Lama pemerintahannya ± 14 tahun.
12. Bupati ke-12: Raden Haryo Balewot
Adipati Tuban ke-12 adalah putera Kyai Ageng Batabang bernama Raden Haryo Balewot. Beliau dikaruniai dua putera yaitu Pangeran Sekartandjung dan Pangeran Ngangsar. Lama pemerintahannya ± 56 tahun.
13. Bupati ke-13: Pangeran Sekartandjung
Raden Haryo Balewot kemudian digantikan putera sulungnya bernama Pangeran Sekartandjung. Adipati ke-13 ini mengalami nasib tragis karena meninggal di tangan saudara kandungnya yaitu Pangeran Ngangsar. Pada waktu Pangeran Sekar Tanjung Sholat Jum’at di masjid dalam posisi rukuk Pangeran Sekar Tanjung ditikam dari belakang oleh adiknya sendiri yaitu Pangeran Ngangsar. Pangeran Ngangsar dalam mimpinya mendapat wasiat maka dengan senjata keris yang bernama “Kyai Layon” ditikamlah Pangeran Sekar Tanjung.
Pangeran Sekar Tanjung menjadi adipati selama ±22 tahun. Pangeran Sekartandjung dikarunia dua putera yaitu Pangeran Haryo Permalat dan Haryo Salempe. Namun, pada waktu ayahnya meninggal dunia keduanya masih kecil/ masih muda.
14. Bupati ke-14: Pangeran Ngangsar
Setelah berhasil membunuh saudaranya, Pangeran Ngangsar menjadi adipati Tuban ke-14. Lama pemerintahannya hanya ± 7 tahun.
15. Bupati ke-15: Pangeran Haryo Permalat
Sepeninggal Pangeran Ngangsar, penggantinya adalah Pangeran Haryo Permalat. Adipati Tuban ke-15 ini adalah menantu Sultan Pajang, Raden Djaka Tingkir. Pangeran Haryo Permalat memang berseteru dengan Penguasa Mataram yaitu Panembahan Senapati. Selama pemerintahannya, Tuban pernah diserang oleh Mataram yaitu pada tahun 1598 dan 1599. Namun, serangan-serangan Mataram itu gagal karena Tuban pada waktu itu mempunyai pertahanan sangat kuat.
Lama pemerintahannya ± 38 tahun. Beliau mempunyai seorang putera bernama Pangeran Dalem.
16. Bupati ke-16: Haryo Salempe
Ketika Pangeran Haryo Permalat mangkat, yang menggantikannya adalah Haryo Salempe yang juga putera dari adipati ke-13. Hal ini disebabkan, Pangeran Dalem masih kecil. Lama pemerintahannya ± 38 tahun.
17. Bupati ke-17: Pangeran Dalem (1614-1619)
Berakhirnya pemerintahan Adipati Haryo Salempe, yang menggantikannya adalah Pangeran Dalem. Pada tahun 1619, Tuban diserang oleh Mataram. Terjadi pertempuran sengit yang mengakibatkan Benteng Kumbakarna jatuh ke tangan musuh. Siasat penyusupan kekuatan Mataram ke dalam tubuh pemerintahan Tuban berbuah kemenangan Mataram atas Tuban. Hal ini mengakibatkan Pangeran Dalem harus menyingkir ke Bawean. Istri Pangeran Dalem bernama Kumalarena juga meninggal di Bawean.
Sepeninggal istrinya, Pangeran Dalem menuju ke Rajekwesi, Bojonegoro sampai mangkat dan dimakamkan di Kadipaten, Bojonegoro. Mengapa Pangeran Dalem justru menuju ke Bojonegoro yang begitu dekat dengan Tuban? Ternyata salah satu alasan yang masuk akal adalah karena Pangeran Dalem mempunyai saudara bernama R. Ayu Djamus yang sangat berpengaruh di Bedander, Bojonegoro.
Makam Buyut Dalem berada di dalam sebuah cungkup yang terawat dengan baik. Namun, di samping makam utama tersebut bersemayam pula seorang tokoh wanita pujaan hati Buyut Dalem bernama Srihuning yang mendapat julukan Mustika Tuban karena semangatnya “labuh tresna sabaya pati”.
Bersumber dari keterangan pihak Dinas Pariwisata Kabupaten Bojonegoro dan dua orang juru kunci makam Buyut Dalem, “Di makam ini selalu diadakan semacam sedekah bumi yaitu jatuh pada setiap hari Rabu Wage, bulan September. Kegiatan ritual ini diawali pada hari Rabu Pahing dengan “mayu alang-alang” yaitu mengganti atap cungkup yang terbuat dari alang-alang. Selain itu juga dilakukan penggantian pasir yang ada di dalam makam.” Di dalam buku Kumpulan Cerita Rakyat Daerah Bojonegoro (2003:20) dijelaskan:
Payon cungkup saka makam Pangeran Dalem saben tahun ajeg didandani (saka alang-alang), nanging sing ngerjakake sawijinging nom-noman lan kudu kramas dhisik. Sing ngresiki platarane kudu tandhak, nanging ora oleh diganggu
Artinya:
“Atap cungkup dari makam Pangeran Dalem setiap tahun selalu diganti baru (dari alang-alang), namun yang mengerjakan adalah seorang pemuda dan harus keramas terlebih dahulu. Yang membersihakan pelatarannya harus seorang tandak, akan tetapi dia tidak boleh diganggu.”
Kegiatan ritual utama jatuh pada hari Rabu Wage. Kegiatan yang dilakukan adalah sedekah bumi dengan menggelar uyon-uyon dan langen tayub di sekitar makam.
18. Bupati ke-18: Pangeran Podjok
Terusirnya Pangeran Dalem dari singgasana Kadipaten Tuban menandai pergantian garis keturunan penguasa Tuban yakni dari garis keturunan Kyai Ageng Papringan ke tangan garis keturunan Mataram.
Siapa sebenarnya Pangeran Podjok itu?
Menurut H. Abdul Sarpin, Ketua Yayasan Sunan Podjok, “Pangeran Podjok menurut Mbah Sabib, Menganti, Bugel, Jepara mempunyai nama kecil Benun.
Ia juga dikenal dengan nama Syekh Abdul Rachim. Setelah meninggal baru dijuluki dengan nama Pangeran Podjok. Alasannya karena meninggal di Desa Podjok, Blora.”
Gatot Pranoto, S.E., ketua Yayasan Mahameru yang juga tokoh sejarawan Blora dengan merujuk Babad Mentawis menerangkan bahwa pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645) mempunyai semacam skala prioritas antara lain Kadipaten Tuban yang selama ini menjadi batu ganjalan bagi Mataram harus segera ditakhlukkan.
Oleh karena itu, Sultan Agung mengeluarkan “Kekancing” (semacam surat perintah tugas) kepada Benun yang saat itu menjabat sebagai Surobahu; setingkat dengan tumenggung. Inti dari “Kekancing” itu adalah tugas untuk memadamkan pemberontakan Tuban.
Misi dari Surobahu Abdul Rachim ternyata berhasil dengan baik (1619). Pergantian penguasa di Tuban ini tentunya menempatkan Surobahu Abdul Rachim untuk menjaga stabilitas Tuban. Adipati Tuban ke-18 ini menjalankan tugasnya ± 42 tahun.
Menurut R. Soeparmo (1972:85) “Pada hari grebeg maulud tahun Dal semua bupati di seluruh tanah Jawa datang ke Mataram untuk menghadap Sri Sultan. Demikian pula halnya dengan bupati Pangeran Podjok. Tetapi ketika perjalanan beliau menuju Mataram sampai Blora, beliau mendadak sakit dan mangkat di situ juga.”
Menurut Asmoengin TA., Kasi Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Blora (1982:25) “Pangeran Surobahu Abdul Rachim adalah perwira dari Mataram yang berhasil memadamkan kerusuhan di pesisir utara (Tuban). Sepulang dari Tuban di perjalanan jatuh sakit dan meninggal dunia di Desa Pojok (Blora). Oleh putranya dipindahkan di tempat yang sekarang.”
Pada waktu berziarah ke makam tersebut, tim penggali sejarah mendapatkan fakta bahwa di kompleks Makam Gedong/Pagedongan yang terletak di Kauman, sebelah selatan alun-alun Kota Blora bersemayam antara lain: 1. Pangeran Surobahu Abdul Rachim, 2. Pangeran Joyodipo (putra Pangeran Surobahu Abdul Rachim yang juga Bupati Blora I), 3. Joyodiwiryo (adipati Blora), 4. Pangeran Joyokusuma (adipati Blora), Istri Pangeran Joyokusuma dan kerabat kadipaten lainnya.
19. Bupati ke-19: Pangeran Anom
Setelah Pangeran Podjok meninggal, yang menggantikan adalah adiknya bernama Pangeran Anom. Lama pemerintahannya ± 12 tahun. Beliau diberhentikan dari jabatan adipati Tuban atas perintah Sultan Agung Mataram.
Menurut R. Soeparmo (1972:84) di Kabupaten Tuban untuk sementara waktu jabatan bupati ditiadakan. Konsekuensinya, Tuban diberikan semacam perwakilan yang disebut dengan istilah “Umbul” (setingkat kademangan) sebanyak empat orang yaitu:
1) Umbul Wongsoprodjo yang ditempatkan di Jenu
2) Umbul Wongsohito yang ditempatkan di Gesikharjo (Palang)
3) Umbul Wongsotjokro yang ditempatkan di Kidul Ngardi (Sebelah selatan gunung = Rengel)
4) Umbul Joedoputro yang ditempatkan di Singgahan.
20. Bupati ke-20: Arya Balabar
Adipati Tuban ke-20 adalah Arya Balabar atau Arya Blender yang juga berasal dari keturunan Mataram. Lama pemerintahannya ± 39 tahun. Salah satu yang dilakukan pada waktu memerintah di Tuban adalah membuat masjid terletak sebelah barat makam Sunan Bonang.
21. Bupati ke-21: Pangeran Soedjonopuro
Setelah Pangeran Arya Balabar mangkat, penggantinya adalah Pangeran Soedjonopuro yang semula menjabat Bupati Japanan (Mojokerto). Lama pemerintahannya ± 10 tahun sampai beliau wafat.
22. Bupati ke-22: Pangeran Joedonegoro
Pengganti Pangeran Soedjonopuro adalah puteranya yaitu Pangeran Joedonegoro. Lama pemerintahannya ± 15 tahun.
23. Bupati ke-23: Raden Arya Surodiningrat
Pangeran Joedonegoro setelah wafat yang menggantikan menjadi Bupati adalah Raden Aryo Surodiningrat yang berasal dari Pekalongan. Pada waktu memerintah, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh R. Arya Diposono. Pemberontakan ini dibantu oleh orang Madura bernama “Kyai Mangundjojo“. Raden Aryo Surodiningrat tewas dalam peperangan. Lama pemerintahannya ± 12 tahun.
24. Bupati ke-24: Raden Aryo Diposono
Raden Arya Surodiningrat yang gugur di medan pertempuran melawan pemberontak, akhirnya digantikan oleh Raden Aryo Diposono. Tercatat dalam sejarah, waktu memegang pemerintahan terjadi pertempuran dengan orang-orang Madura yang dahulu mendukungnya. Pertempuran itu terjadi di Desa Singkul atau Sedayu. Raden Aryo Diposono juga gugur dalam medan pertempuran. Lama pemerintahannya ± 16 tahun.
25. Bupati ke-25: Kyai Reksonegoro
Jabatan adipati Tuban berikutnya digantikan oleh Patih Kyai Reksonegoro. Setelah menjabat adipati bergelar Kyai Tumenggung Tjokronegoro. R. Soeparmo (1972:86) memberikan penjelasan bahwa pada tahun 1773 Gubernur Van der Burgh mengusulkan kepada Sultan Agung Mataram agar bupati Tuban dipecat karena kebijakan pemerintahannya memberatkan penduduk dan tidak dapat memenuhi tugasnya yaitu membayar upeti kepada Belanda. Lama pemerintahan Kyai Tumenggung Tjokronegoro ± 47 tahun.
26. Bupati ke-26: Kyai Poerwonegoro
Sepeninggal Kyai Reksonegoro, penggantinya adalah puteranya yaitu Kyai Poerwonegoro. Setelah memerintah selama ± 24 tahun, beliau menderita sakit dan mengambil perlop atau cuti. Oleh karena itu, beliau terkenal dengan sebutan Bupati Perlop.
27. Bupati ke-27: Kyai Lieder Soerodinegoro
Pengganti Kyai Poerwonegoro adalah Kyai Lieder Soerodinegoro. Lama pemerintahannya hanya ± 3 tahun.
28. Bupati ke-28: Raden Poerjoadiwidjojo
Setelah Kyai Lieder Soerodinegoro mangkat, yang menggantikan sebagai adipati Tuban adalah puteranya Raden Poerjoadiwidjojo atau Raden Tumenggung Soerojodinegoro . Lama pemerintahannya ± 12 tahun. Setelah itu beliau berhenti dari jabatan bupati.
29. Bupati ke-29: Pangeran Tjitrosomo VI (1800-1836)
Ketika Raden Poerjoadiwidjojo berhenti dari jabatan adipati Tuban yang menggantikan adalah Pangeran Tjitrosomo VI dari Jepara.Tim penggali sejarah mendapatkan kesempatan untuk melacak silsilah Pangeran Tjitrosomo di Jepara. Atas bantuan Dinas Pariwisata dan Dinas Pendidikan Kabupaten Jepara, tim penggali berhasil bertemu dengan salah satu keturunan Tjitrosomo.
Beliau bernama Raden Moeh Akrom Wijanarko yang tinggal di Purwogondo, Kecamatan Pecangakan, Jepara. Bukti bahwa beliau keturunan Tjitrosomo adalah dengan diperolehnya Piagam Mangkunegaran, Surakarta tertanggal 13 Juni 1988. Bersumber dari data koleksi pribadi yang dibukukan dalam Silsilah Citrosoman inilah tim penggali sejarah mendapatkan sumber yang sangat berharga.
Siapakah sebenarnya Pangeran Tjitrosomo VI itu?
Pangeran Tjitrosomo VI adalah putra ke-8 dari R.M.A.A. Citrosomo V, Bupati Jepara yang semula menjadi bupati di Kudus dengan nama dan gelar R.M.A.A. Mangkuwidjojo. Nama asli dari Tjitrosomo VI adalah R.M.Ng. Notowidjoyo I.
Sepeninggal ayahnya, beliau menggantikan kedudukan sebagai adipati Jepara. Beliau kemudian ditugaskan untuk menjadi adipati Tuban. Jasanya selama memerintah di Tuban adalah membangun rumah kabupaten pada tahun 1821 yang menjadi tempat kediaman bupati sampai sekarang.
Setelah memerintah selama ± 6 tahun, beliau dipindahkan ke Lasem.
Masa pemerintahannya di Lasem berjalan ± 3 tahun dan akhirnya kembali menjadi adipati Jepara dalam masa Perang Diponegoro (1825-1850). Pada makam beliau yang terletak di Desa Sendang, Kecamatan Kalinyamatan, Jepara tertulis masa pemerintahannya di Jepara yaitu tahun 1800-1836.
Periode kepemimpinan di Kabupaten
Tubandapat dikelompokkan menjadi dua periode yaitu sebelum periode
kemerdekaan ( 39 Bupati ) dan setelah kemerdekaan ( 13 Bupati ). Dari 52
Bupati yang Pernah memimpin Kabupaten Tuban tercatat dipimpin oleh
Bupati wanita 2 kali yaitu Dra. Hj. Haeny Relawati Rini Widyastuti,
M.Si.
13 Nama Bupati yang memimpin Kabupaten Tuban Masa Kemerdekaan:
- R. H. MOESTAIN (1946 – 1956)
- R. SOENDAROE (1956 – 1958)
- R. ISTOMO (1958 – 1960)
- M. WIDAGDO (1960 – 1968)
- R. SOEPARMO (1968 – 1970)
- R. H. IRCHAMNI (1970 – 1975 )
- MOH. MASDUKI (1975 – 1980)
- SURATI MURSAM (1980 – 1985)
- Drs. DJUWAHIRI MARTO PRAWIRO (1985 – 1991)
- Drs. SJOEKOER SOETOMO (1991 – 1995)
- H. HINDARTO (1996 – 2001)
- Dra. HAENY RELAWATI RINI WIDYASTUTI, M.Si (2001 – 2011)
- KH. FATHUL HUDA (2011-2016) ___ Bupati sekarang yang berpasangan dengan Ir. H. NOOR NAHAR HUSEIN (CABUP)
Versi lain mengenai nama Tuban ini dapat kita lihat dalam buku Hari Jadi Tuban (1986:14) sebagai berikut:
- Tuban berasal dari kata Watu Tiban. Hal ini dikaitkan dengan sebuah
cerita bahwa ketika kekuasaan Majapahit berakhir, maka harta kekayaan
Majapahit dipindahkan ke Demak. Barang-barang yang dipindahkan ke Demak
tersebut termasuk adalah pusaka yang berbentuk Yoni.
Guna memindahkannya, maka dipercayakan kepada sepasang burung bangau. Sesampai di Tuban, burung-burung tersebut diolok-olok oleh anak-anak yang sedang menggembala. Tampaknya, sepasang burung bangau itu tersinggung dan menjatuhkan barang bawaannya. Daerah tempat jatuhnya batu pusaka tersebut kemudian diberi nama Tuban kependekan dari Wa (Tu) Ti (Ban). - Menurut bahasa Jawa Kawi, Tuban berarti Jeram (Wojowasito, 202).
Kata Jeram dalam Bau Sastra
Djawa-Indonesia karangan S. Prawiroatmojo diartikan sebagai air lata atau bisa berarti air terjun. - Menurut pendapat Drs. Soekarto (dalam Hari Jadi Tuban, 1986:17) kata
Tuban berasal dari kata Tubo yaitu sejenis tanaman yang dapat dibuat
racun. Hal ini dibuktikan bahwa di sebelah barat kota Tuban terdapat
daerah yang bernama Jenu. Menurutnya, kata Jenu dan Tubo memiliki arti
yang tidak jauh berbeda.
TUBAN, SEJARAH DAN LEGENDA
Nama ‘Tuban’ berasal dari sebuah sumber
air tawar yang ditemukan di tempat tersebut2. Peristiwa ini membuat
orang menamakannya ‘me(tu) (ban)yu” (keluar air). Sehingga tempat
tersebut kemudian dinamakan Tuban3.
Dulunya Tuban bernama Kambang Putih4. Sudah sejak abad ke-11 sampai 15 dalam berita-berita para penulis China (pada jaman dinasti Song Selatan 1127-1279 dan dinasti Yuan (Mongol) 1271-1368 sampai jaman dinasti Ming th.1368-1644 ), Tuban disebut sebagai salah satu yang diteliti oleh De Graaf, disebut sebagai salah satu sumber sejarah Tuban. Tapi buku tersebut lebih memuat tentang masalah pemerintahan serta pergantian penguasa di Tuban, sedang bentuk phisik kotanya hampir tidak disinggung sama sekali.
Berita catatan tentang bentuk phisik kota Tuban secara samar-samar didapat dari berita kapal Belanda yang mendarat di Tuban yang dipimpin oleh Laksamana muda Van Warwijck (Tweede Schipvaert) pada bulan Januari th. 1599. Dalam berita itu disebutkan bahwa orang Belanda terkesan sekali oleh kemegahan Keraton Tuban (Graaf, 1985:170). Selain itu juga terdapat gambar dari alun-alun Tuban10 pada abad ke 16, waktu diadakan latihan Senenan (Gambar 1).
Kota pelabuhan utama di pantai Utara Jawa yang kaya dan banyak penduduk Tionghoanya. Orang Cina menyebut Tuban dengan nama Duban atau nama lainnya adalah Chumin. Pasukan Cina-Mongolia (tentara Tatar), yang pada th.
1292 datang menyerang Jawa bagian Timur (kejadian yang menyebabkan berdirinya kerajaan Majapahit) mendarat di pantai Tuban. Dari sana pulalah sisa-sisa tentaranya kemudian meninggalkan P.Jawa untuk kembali ke negaranya6 (Graaf, 1985:164).
Tapi sejak abad ke 15 dan 16 kapal-kapal dagang yang berukuran sedang saja sudah terpaksa membuang sauh di laut yang cukup jauh dari garis pantai. Sesudah abad ke 16 itu memang pantai Tuban menjadi dangkal oleh endapan lumpur. Keadaan geografis seperti ini membuat kota Tuban dalam perjalanan sejarah selanjutnya sudah tidak menjadi kota pelabuhan yang penting lagi (Graaf, 1985:163).
Dulunya Tuban bernama Kambang Putih4. Sudah sejak abad ke-11 sampai 15 dalam berita-berita para penulis China (pada jaman dinasti Song Selatan 1127-1279 dan dinasti Yuan (Mongol) 1271-1368 sampai jaman dinasti Ming th.1368-1644 ), Tuban disebut sebagai salah satu yang diteliti oleh De Graaf, disebut sebagai salah satu sumber sejarah Tuban. Tapi buku tersebut lebih memuat tentang masalah pemerintahan serta pergantian penguasa di Tuban, sedang bentuk phisik kotanya hampir tidak disinggung sama sekali.
Berita catatan tentang bentuk phisik kota Tuban secara samar-samar didapat dari berita kapal Belanda yang mendarat di Tuban yang dipimpin oleh Laksamana muda Van Warwijck (Tweede Schipvaert) pada bulan Januari th. 1599. Dalam berita itu disebutkan bahwa orang Belanda terkesan sekali oleh kemegahan Keraton Tuban (Graaf, 1985:170). Selain itu juga terdapat gambar dari alun-alun Tuban10 pada abad ke 16, waktu diadakan latihan Senenan (Gambar 1).
Kota pelabuhan utama di pantai Utara Jawa yang kaya dan banyak penduduk Tionghoanya. Orang Cina menyebut Tuban dengan nama Duban atau nama lainnya adalah Chumin. Pasukan Cina-Mongolia (tentara Tatar), yang pada th.
1292 datang menyerang Jawa bagian Timur (kejadian yang menyebabkan berdirinya kerajaan Majapahit) mendarat di pantai Tuban. Dari sana pulalah sisa-sisa tentaranya kemudian meninggalkan P.Jawa untuk kembali ke negaranya6 (Graaf, 1985:164).
Tapi sejak abad ke 15 dan 16 kapal-kapal dagang yang berukuran sedang saja sudah terpaksa membuang sauh di laut yang cukup jauh dari garis pantai. Sesudah abad ke 16 itu memang pantai Tuban menjadi dangkal oleh endapan lumpur. Keadaan geografis seperti ini membuat kota Tuban dalam perjalanan sejarah selanjutnya sudah tidak menjadi kota pelabuhan yang penting lagi (Graaf, 1985:163).
0 komentar :
Posting Komentar