Rabu, 15 Juli 2015

on Leave a Comment

Kalau Cinta Kenapa Harus Diam

kisah cinta remaja galau"kalau cinta kenapa harus diam

Beginikah rasanya mencintai secara diam diam.  Hanya melihat dari jauh  saja sudah sangat sangat bahagia. ya,aku kagum sekaligus tak ku sadari timbul percikan rasa cinta , aku merasakan sudah beberapa tahun ini secara diam-diam hatiku bergetar di saat melihat ataupun bahkan andai aku ada di dekatnya. Akan tetapi kenapa aku harus seperti ini, tak cuma diam. Terkadang dalam hati berteriak ‘Hayy…. kamu savindra ‘”kalau cinta kenapa harus diam “, karena aku dan dia sudah saling kenal, dan bahkan sering membuat konversasi yang menyenangkan, walau hanya sekadar melalui messenger.


Daniel aldo wijaya, ialah nama lengkapnya. Dia adik kelasku ketika SMA lalu. Kami cukup dekat, sebab dia berpacaran dengan sahabatku. Saat itu, aku tak jatuh cinta, cuma sekadar kagum akan kepandaiannya. Entah, buatku, lelaki yang pandai selalu mempunyai kharisma tersendiri, terlebih dia mampu bergaul dengan banyak orang. Kabar putusnya hubungan Aldo dengan Lina -sahabatku- tak memberi kebahagian tersendiri bagiku, sebab aku tak mungkin bisa membuatnya menoleh dan meminta hatinya. Cukup mencintainya saja, bukan untuk memiliki hatinya, ujar benakku.

Waktu berjalan. Siapa bilang waktu tak mempunyai kaki? Filsafat lama pasti sudah memikirkan tentang hal ini. Waktu berjalan dengan kaki bayangan, kaki yang tak terlihat oleh kasat mata manusia. Waktu ialah serupa cinta; cuma bisa dirasa. Waktu ialah harapan, setiap langkahnya bergerak ke depan, membawa angan dan ingin yang ditiupkan angin, berharap selalu tentang kebaikan. Waktu ialah serupa perempuan; tak mudah ditebak. Waktu terkadang baik; mendekatkan. Pun waktu terkadang jahat; memisahkan. 


Waktu memisahkan kami,…. Kami?! Ah, maksudku, aku yang mengharap kami, padahal seharusnya kubilang aku dan dia saja. Entah ketika dia mengetahui aku yang selalu menyebut aku dan dia ibarat kami, mungkin akan marah. Sebab memang tak pernah ada kami. Aku dan dia memang tak pernah punya cerita. Tapi pikirku, dia tak akan pernah tahu tentang rasa diam ini yang kupunya. Jadi, kuibaratkan kami saja. Masih berharap tentang waktu, masih berharap tentang kami.

Beberapa tahun yang lalu. Terakhir aku menemui matanya yang kucuri diam-diam ketika perpisahan sekolah. Dia mengucapkan salam perpisahan. Dan aku, cuma bisa membalas senyum. Ah, aku masih ingat senyumnya. Manis sekali.sweeettt …sweeetttt

"Kak, apa kabar lo? Kita udah lama banget nggak curhat-cuhatan. Sekarang kuliah di mana? Gue udah kuliah di Universitas XX. Bentar lagi balik ke Tuban. Aaaak Semester awal ngeselin ya Kak. Tapi kan untung gue pinter. Hehehehe..." 

Aku kaget. Satu menit yang lalu memikirkan dia, dia langsung mengirimiku pesan instan di Blackberry Messenger. Sesegera mungkin aku membalasnya.

"Alhamdulillah baik. Lo sendiri gimana? Gue kuliah di Tuban. Hahaha, lo masih nggak berubah ya, Do. Pinter, tapi sombong. Huh! Semoga lancar deh semesternyaa ya!", balasku.

"Gue kangen deh sama lo, Kak." Ucapnya, membuatku ge-er. Aku. Berharap. Lagi.

"Ciyeeee, ada yang kangen sama gue. Hehehehe." Balasku, penuh percaya diri.

"Iiiicsh, pede. Kak, gue ketemu Lina loh di sini. Dia makin cantik deh, Kak. Makin dewasa. Yaiyalah, Lina lebih tua dari gue. Namanya juga dulu macarin kakak kelas. Hahahaha. Kita ngobrol panjang lebar loh." Celotehnya lagi, menghancurkan harap, merusak mood. Jadi, dia membuat konversasi ini hanya untuk membicarakan yang tak terlalu penting buatku? Ah, Aldo selalu begitu. Harusnya aku tak usah berharap lagi tentangnya.

"Gue udah lama nggak ketemu dia. Hehehe, pasti lo seneng banget deh ketemu mantan. Ciyeeee. Eh Do, gue harus masuk kantor lagi. Lanjut nanti ya ngobrolnya. Byeeee!" Aku berbohong, sebab makin lama Dia membicarakan mantannya, mood-ku bisa semakin berantakan.

Lagi dan lagi, cuma bisa berharap. Memang tak seharusnya berharap secara terlalu. Memang seharusnya berpindah ke hati yang lain, tak melulu soal yang lalu. Sebab waktu berjalan.


"Ah, sial! Mobilku mogok! Kenapa begini sih?! Meeting-ku mulai setengah jam lagi." Gumamku, kesal. 

Pagi ini penuh sial. Minuman kotakku tumpah mengenai seragam, pun mobilku mogok di sembarang tempat, jalan yang jauh dari bengkel ataupun pom bensin. Ya, aku selalu menghindari jalan yang rawan kemacetan. Sebisa mungkin aku meminimalisir menggunakan jalan-jalan umum, aku lebih sering menggunakan jalan alternatif -jalan perkampungan yang masih bisa dilewati mobil satu arah-  agar bisa menghemat waktu. 

"Dasar cewek. Punya mobil tapi nggak ngerti mesin. Coba sini, saya lihat kenapa bisa mogok." Seorang lelaki berpengawakan tinggi kurus, berkulit putih, pun tampan ini mencoba menolongku tetapi dengan gayanya yang sok tahu. Huh! Tapi memang, aku tak mengerti soal mesin. Hehe.

"Mbak, ini sih bensinnya abis. Bentar deh, saya beliin bensin dulu ke depan." Ujarnya.

Sebentar. Aku mengenalinya. Ah iya! Aldo! Yang barusan mau menolongku dengan gayanya yang sok tahu itu ya cuma milik Aldo. Ini benar-benar kebetulan yang luar biasa. Waaah, hari ini ternyata bukan hari sialku. Sebab aku bertemu dengan orang yang selama ini aku harapkan untuk bertemu.

"Bensinnya udah saya isiin, Mbak. Lain kali, jangan sampe bensinnya habis gak bersisa. Kasihan mobilnya." Ucapnya, sambil menuju ke arah mobilnya yang kemudian bergegas untuk berlalu.

Dia tak mengenaliku. Sama sekali tidak. Kupikir, dia akan memanggil namaku, dan setelahnya kami bisa saling membuat konversasi langsung yang menyenangkan. Tapi nyatanya tidak. Dia tak mengenaliku. Ah, sial! Kupikir hari ini berubah jadi hari keberuntunganku, nyatanya tidak. Sikapnya tadi cuma membuatku diam, dan sedikit bengong.

"Mas, makasih!" Teriakku.

Hal tersebut menyadarkanku untuk segera melajukan lagi kendaraan roda empat yang dihadiahi Mamaku ketika aku berulangtahun di usia 19 tahun. Kembali ke dunia nyata, dan lupakan segara harap yang tak mungkin. Kepada hati yang penuh harap, logika harusnya siap menantangmu. Ah.

----

Di kedai kopi , pukul tujuh malam sepulang dari boutiqku. Aku melihatnya lagi. Dia, jelas tak melihatku. Sebab Kedai sedang ramai, dia mana mungkin menyadari keberadaanku. Dia memesan kopi hitam panas, di cup kecil, take away. Datang ke Kedai cuma sepuluh menit, kemudian berlalu. Hal ini ternyata terus berulang, sampai berlaku ke seminggu berikutnya. Sampai aku hafal betul kebiasaannya.

Ternyata kami berbeda. Dia meminum kopi selalu di mobil, sebagai teman tak ngantuk ketika mengendarai. Sedang aku, meminum moccacino sembari meluapkan hobi menulis dan menggambarku, sambil sesekali mencari wi-fi untuk sharing bersama teman-teman lain melalui sosial media, dan menghabiskan waktu berjam-jam. Sepeti halnya saat ini, kopi moccaku sudah di cangkir kedua, sketsaku sudah di lembar ketiga, pun cerpenku sudah di paragraf ke enam puluh dua.

Serasa ada yang memanggilku. Tetapi dengan panggilan "Hey!" Yang menurutku kurang begitu sopan. Ah iya, tak semua orang mengetahui namaku.

"Kita ketemu lagi. Udah dua kali aja kita ketemu. Ah iya, saya belum tahu nama kamu. Aku, Aldo. Daniel aldo wijaya." Dia menyodorkan tangannya, tanda perkenalan.

Aldo masih tak mengenaliku. Padahal di Blackberry Messenger aku begitu sering mengganti display picture menggunakan foto yang memang wajahku. Ah, mungkin memang dia tak pernah meng-enlarge display picture-ku di BBm. Dan seharusnya dia mengenaliku karena dulu kami sering bertemu. Huh. Tapi itu tentang beberapa tahun yang lalu. Mungkin aku yang banyak berubah, sedang dia, tidak.

"Gendhis Savindra, panggil Gendhis, atau Vindra." Sebenarnya ada sedikit kecewa, tapi tak kutunjukkan. Kemudian kusuguhi senyum yang beberapa orang bilang senyumku begitu manis. Sedikit PeDe boleh, kan? Oh ya, namaku Ira rachmawaty septya putry savindra. Di Blackberry Messenger, selalu kutulis  Gendhis S., Aldo tak akan pernah tahu S. di dalam namaku. Aku membiarkan dia tak tahu tentang aku yang sebenarnya, tapi aku tak sama sekali berbohong. Savindra memang benar namaku.

"Savindra kan nama cowok. Yaudah, karena kamu nggak sama sekali kelihatan kayak cowok, jadi gue panggil Gendhis  deh. Hmmmm, anak desain ya? Gambarnya bagus-bagus, lucu. Kalau yang gambarnya, cantik." Ucapnya, sambil sesekali melempar senyum yang disisipi tertawa kecil, ah, manis.

Aku serasa menjadi orang lain, yang begitu pendiam, yang begitu tak mau tertawa biar dia memberiku beberapa humor yang memang seperti terpaksa dan aneh. Entah, kenapa dia begitu sok akrab kepadaku.

"Ah enggak, cuma hobi aja kok."

"Penulis?"

"Cerpenis blogger."

"Aku nggak begitu suka baca."

"Aku pun."

"Kok suka nulis? Mana ada penulis yang nggak suka baca. Aneh." Gumamnya.

"Ada, aku."

"Kok bisa?" Aldo keheranan.

"Menulis itu merekam ingatan, mencatat keinginan, memainkan imajinasi, dan hidup di dunia fantasi. Nggak perlu suka baca, soalnya cuma tinggal berkhayal, buat dunia baru. Menulis itu membuat dunia sendiri, sedangkan membaca itu menonton dunia orang lain, dengan seolah-olah kita berperan dan hidup dalam tulisan itu."

"Kenapa kamu nggak suka baca?"

"Aku lebih suka nonton film. Nonton film dan baca buku itu ialah pilihan. Bagiku, aku harus memilih salah satu di antaranya. Kamu mau bilang aku aneh? Silahkan. Semua orang punya caranya sendiri untuk memilih apa yang disuka maupun tidak. Seperti halnya menggambar, aku nggak tahu teknik menggambar yang benar, pun menulis dengan kalimat rapi dan berbahasa tinggi, tapi selagi itu menyenangkan dan nggak merugikan diri sendiri, i lived on it."

"Kamu cerewet."

Apa? Cerewet?! Aku bahkan tak tertawa. Aku hanya menjelaskan apa yang dia pertanyakan. Aku ini sedang jadi pendiam, pendiam yang cuma menjawabi pertanyaan-pertanyaan dia yang seharusnya tak kujawab, yang tak begitu penting. Entah penjelasanku didengar atau tidak, seperti serasa menceritakan dongeng kepada bayi yang baru kemarin lahir, cuma dijawab "Oaaa... Oaaaa", huh.

Dasar wanita, mudah sekali kesal. Dengan dia bilang seperti itu, sudah merupakan tanda bahwa aku harus berhenti bicara. Aku diam.

Hening.

"Kok diem?"

"Tadi dibilang cerewet, giliran diem, ditanya 'kok diem?'. Hahaha." Aku meledek.

"Gue memperhatikan kok setiap kalimat yang kamu ucapkan. Gue paham. Kamu itu penulis dan penggambar yang masih malu untuk unjuk gigi. Yang terkadang selalu merendahkan diri dengan bilang cuma sekadar cerpenis, dan cuma sekadar suka menggambar yang tak bisa menggamar. Tapi kamu terlihat sebagai wanita yang segala bisa. Oh ya, gue bilang cerewet karena memang kenyataannya begitu. Cerewetmu tak menjengkelkan kuping gue. Malah gue senang dengernya. Nggak apa-apa cerewet asal berisi. Tuh kan, gara-gara kamu gue jadi ikut cerewet." Jelasnya, panjang lebar.

'Aldooo. Kenapa kamu tak menyadari sama sekali bahwa ini aku, kakak kelasmu dulu, yang begitu diam-diam megagumimu? Yang sedang dihadapanmu ini ialah yang selalu kamu panggil Kak Rachma. Ah, aku cuma bisa bergumam dalam hati, menunggu kamu menyadari dengan sendirinya.' Batinku.

"Oke, sekaang giliran kamu yang cerewet dan silahkan ceritakan tentang kamu. Tapi aku kasih waktu, lima menit."

"Udah kayak interview kerja ya. Huh. Yaudah. Nama gw Aldo umur 18 tahun. Dan gw sama sepertimu, nggak suka baca, dan lebih senang nonton film. Bedanya, kamu wanita, gw lelaki, dan gw nggak suka gambar. Gw lebih suka motret dan travel. Kalau film, gw suka sama Adam Sandler dan Jennifer Anniston. Segitu aja dulu deh, tentang gw, sisanya bisa gw ceritakan di pertemuan kita yang ketiga, nanti." 

Tanpa dia jelaskan pun, aku suh tahu tentang dia lebih banyak dari yang dia ceritakan barusan. Aku cuma tak mau konversasi ini cepat berakhir.

"Jangan terlalu yakin kalau akan ada pertemuan ketiga di antara kita." Entah. Kenapa aku begitu terkesan sombong dan menjengkelkan. Seperti bukan aku.

"Saya yakin. Sepulang kantor, besok, pukul tujuh malam, di tempat yang sama seperti halnya malam ini."

"Ya mudah-mudahan. Pulang yuk, udah pukul sepuluh malam" Ajakku, yang sudah menemui beberapa kantuk menghinggapi kelopak mata.

"Yuk."

Kami dipertemukan, tetapi di dalam keadaan di mana kami sedang tak saling jatuh cinta. Maksudku, aku yang jatuh cinta diam-diam, sendirian.wkwkwkwkwkk…


------

Sepulang kantor, mama meneleponku untuk segera pulang, mama minta ditemani sebab mbak siti sedang cuti pulang ke desanya. Jadi malam ini, aku tak singgah di Kedai Kopi, pun benakku bilang bahwa Aldo tak datang ke Kedai malam ini.

Pukul sepuluh malam. Led Blackberry-ku menyala merah. Ada yang mengirimiku pesan instan.

"Kak. Gue ketemu Lina lagi. Tadi sore kita jalan bareng. Ternyata dia nggak berubah ya, kekanak-kanakannya itu imut, selalu bikin gue gemes."

Ternyata Aldo, pesannya sudah terlanjur kubaca. Tak mungkin kuabaikan, biar seberapa besarnya mood-ku rusak tiba-tiba oleh isi pesannyayang straight to the point. 

"Duh, kalian lucunya. Semoga akur terus ya. Duh, gue jadi kangen kan sama kalian..." Balasku, sesak.

Bagaimana bisa dia masih ingat Lina dengan jelas, sedang denganku tidak sama sekali? Jawabannya sudah jelas, karena dia tak memperhatikanku.

"Ya mudah-mudahan kita bisa ketemu, lagian kan gue udah balik ke BJN. Lagi apa, Kak?"

Benar kan? Aldo tak ke Kedai malam ini. Sesore tadi dia bahkan jalan dengan Lina. Memang harusnya tak usah ada pertemuan ketiga sebagai Savindra dan Aldo lagi. Memang harusnya kupatahkan hatiku agar tak melulu dia yang menyinggahi benak. Sudahi, mudahi.

"Lagi nonton tv, nemenin mama. Soalnya mbak yang biasa temani mama lagi pulang kampung."

"Oh, yaudah Kak. Selamat nonton tv bareng mama. Salam buat mama kakak".

Chat terakhirnya tak kubaca. Cuma terlihat sebaris dari display utama notifikasi pesan. Kubiarkan tak terbaca sampai pagi.

-----

Kopi susu moccacino, ialah rutinitasku. Takkan kubiarkan hari-hariku kurang tanpanya. Kopi favoritku ialah kopi moccacino panas dengan dibubuhi sedikit gula. Kopi susu sedikit gula, ialah teman menulis gila. Kopi racikan Barista favoritku ialah Mas Dewa, Barista di Kedai Kopi yang biasa aku singgahi. Malam ini, aku singgah lagi. Tanpa sedikitpun berharap mata menemuinya. Malam ini, cuma mau menghabiskan dua cangkir kopi susu moccacino panas favoritku, sembari melepaskan asa yang kurekam dalam sebuah tulisan singkat. Malam ini, aku tak menggambar, sebab aku lupa membawa pulpen gambar.

"Hei, nggak menggambar?" Lagi-lagi Aldo.

"Lupa bawa drawing pen."

"Nih , aku punya. Tapi yang 0,05 mm. Aku selalu bawa di saku baju. Tapi nggak tau buat apa."

"Lagi males gambar."

"Hmmmm... Okay. Semalem nggak ke sini ya?"

Menyebalkan. Untuk apa dia menanyakan hal yang tak perlu ditanyakan. Iya, tak perlu, sebab dia sendiri bahkan tak datang.

"Seharusnya malam ini pertemuan kita yang keempat." Lanjutnya lagi, sebab aku masih diam.

"Semalam kamu ke sini? Aku nggak ke sini, soalnya ada urusan lain yang lebih penting."

Baru saja semalam aku mau melupakannya. Tapi lagi-lagi dia datang, seolah-olah membuka tangan, memberi harap untuk saling bisa menggenggam. Entah apa yang ada dipikiran lelaki yang satu ini. Hatinya ke mana-mana. Inginkan Lina, tapi seolah meminta hati dan perhatianku. Ini mengesalkan, harusnya kalau sudah ada Lina, tak usah bilang soal pertemuan kami.

"Saya nunggu sampai  pukul sepuluh. Habis itu pulang. Soalnya kamu nggak juga datang." Ucapnya, mengagetkan.

"Maumu apa?!" Emosiku tiba-tiba meledak.

"Saya nggak pernah merasa seyakin ini. Saya menyayangi kamu." Aldo makin membuatku semakin tak mengerti.

"Kita bahkan baru bertemu tiga kali. Jangan bicara sembarangan. Kamu bahkan nggak kenal aku." Sesak, aku menahan air mata. Bagaimana tak sesak, semalaman dia membicarakan Lina, sekarang bilang seperti itu dengan mudahnya.

"Saya sering memperhatikanmu, jauh sebelum bertemu denganmu ketika mobilmu kehabisan bensin. Saya sering memperhatikanmu di sini. Kamu menggunakan syal yang berbeda setiap harinya. Tiga warna yang kuingat, warna campur gelap dominan merah tua, warna campur gelap dominan biru tua, dan warna garis-garis hitam abu-abu yang berantakan. Kamu bisa menghabiskan dua sampai tiga gelas kopi moccacino panas sedikit manis, menggambar dan menulis dengan penuh serius, sendirian. Menghampirimu, sangat butuh keberanian yang cukup, sebab kamu terlalu penuh serius dengan imajimu, sampai tak menoleh ke arahku yang berada di depanmu, sedang memesan secangkir kopi yang sama denganmu. Saya selalu memilih untuk membawa kopinya, ialah sebab saya ingin menghampirimu, tetapi enggan merusak imajimu. Kemarin ialah waktu yang tepat buat saya membuka konversasi langsung sama kamu. Maaf, jadi saya yang cerewet, cuma sekadar mau menjelaskan apa yang selama ini ku rasakan." Jelasnya, yang sama sekali tak membuat semua jelas.

"Aku tanya maumu apa?! Aku tanya sekali lagi maumu apa?!" Air mata perlahan menetes. Aku berucap, lirih. Gemetaran.

Aldo terdiam.

"Kamu nggak bisa seenaknya mempermainkan perasaan orang lain. Lina, kemudian aku. Aku Gendhis, yang selalu kamu kirimi segala cerita-cerita tentang Lina dan kamu, tentang cinta kalian. Aku Gendhis, yang kadang hatinya mudah kecewa tiap kali kamu menceritakan dia. Aku Gendhis, yang berharap ketika itu kamu memanggil namaku, tetapi kamu malah berlalu, pun malah menanyakan namaku. Kamu tahu, aku penuh luka, dan aku ingin lupa!" Jelasku, masih berlirih.

"Kenapa harus luka? Kenapa harus kecewa?"

"Sebab aku mencintaimu!" Ucapku, refleks.

"Diam-diam?"

"Pikirmu?!"

"Kamu pikir, saya nggak mencintaimu, hah?!  Saya bingung harus melakukan apa ketika itu. Saya mana mungkin mendekatimu setelah saya memacari sahabatmu. Lina tak bisa membuat saya menyukaimu dengan seyakin ini. Saya bingung membuat konversasi denganmu di messenger memulainya dengan apa. Mungkin dengan itu, bisa membuat kita saling bertukar cerita lebih lama. Tapi saya malah melukai kamu." Jelas Aldo, meyakinkan.

"Aku nggak percaya." Balasku, singkat.

"Kamu harus percaya. Saya tahu kamu, Ira Rachmawaty Septya Putry Savindra. Saya jelas tahu namamu dari perpisahan sekolah waktu itu. Saya ada, dan saya yang memotretmu. Saya jelas hafal namamu. Soal waktu itu, saya cuma sekadar sengaja mencoba menjadi orang asing bagimu. Kamu tahu kenapa? Supaya kita bisa lebih banyak bicara, sampai larut. Cinta saya diam-diam. Tapi sekarang tidak. Sebab saya sudah mencoba mengungkapkannya."

"Aku bahkan lebih dulu mencintaimu diam-diam. Aku lebih dulu mengagumimu."

"Iya, setelah itu saya yang begitu menyukaimu. Diam-diam juga."

"Lalu?" Aku masih tak menyangka. Aku berasa sedang bermain dengan imajin di dunia fantasi liarku. Semoga ini benar, dan bukan sekadar ilusi.

"Saya mau kita."

"Maksudnya?" Aku masih keheranan.

"Segala kita, di semua cerita yang kamu buat. Bukan ilusi, bukan imajinasi. Kita, yang membuat ceritanya sendiri. Kita, yang menghidupi segala fantasimu. Gw sayang kamu."

"Aku juga sayang kamu."

Kami saling meyakinkan hati, di hadapan dua cangkir kopi hitam sedikit manis yang mendingin sendirinya, cangkir kopi milik kami.  Kami ialah dua yang sama; pecinta racikan kopi yang sama rasa, yang ternyata saling mencinta diam-diam, pun yang akhirnya cintanya bisa suarkan suara kejujuran dari masing-masing hati kami.

Malam itu, dia memelukku. Memberi tenang yang luar biasa candu; menenangkan, mendamaikan.

Sekarang, cinta kami tak lagi diam.

Teruntuk kalian yang cintanya bungkam, belajarlah bicara.jangan terus diam andai kalian semua di hinggapi rasa, utarakanlah biar tak ada penyesalan . 



 

Gendhis savindra. Diberdayakan oleh Blogger.