Tampilkan postingan dengan label CERITA MENYENTUH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CERITA MENYENTUH. Tampilkan semua postingan

Rabu, 15 Juli 2015

on Leave a Comment

Kalau Cinta Kenapa Harus Diam

kisah cinta remaja galau"kalau cinta kenapa harus diam

Beginikah rasanya mencintai secara diam diam.  Hanya melihat dari jauh  saja sudah sangat sangat bahagia. ya,aku kagum sekaligus tak ku sadari timbul percikan rasa cinta , aku merasakan sudah beberapa tahun ini secara diam-diam hatiku bergetar di saat melihat ataupun bahkan andai aku ada di dekatnya. Akan tetapi kenapa aku harus seperti ini, tak cuma diam. Terkadang dalam hati berteriak ‘Hayy…. kamu savindra ‘”kalau cinta kenapa harus diam “, karena aku dan dia sudah saling kenal, dan bahkan sering membuat konversasi yang menyenangkan, walau hanya sekadar melalui messenger.


Daniel aldo wijaya, ialah nama lengkapnya. Dia adik kelasku ketika SMA lalu. Kami cukup dekat, sebab dia berpacaran dengan sahabatku. Saat itu, aku tak jatuh cinta, cuma sekadar kagum akan kepandaiannya. Entah, buatku, lelaki yang pandai selalu mempunyai kharisma tersendiri, terlebih dia mampu bergaul dengan banyak orang. Kabar putusnya hubungan Aldo dengan Lina -sahabatku- tak memberi kebahagian tersendiri bagiku, sebab aku tak mungkin bisa membuatnya menoleh dan meminta hatinya. Cukup mencintainya saja, bukan untuk memiliki hatinya, ujar benakku.

Waktu berjalan. Siapa bilang waktu tak mempunyai kaki? Filsafat lama pasti sudah memikirkan tentang hal ini. Waktu berjalan dengan kaki bayangan, kaki yang tak terlihat oleh kasat mata manusia. Waktu ialah serupa cinta; cuma bisa dirasa. Waktu ialah harapan, setiap langkahnya bergerak ke depan, membawa angan dan ingin yang ditiupkan angin, berharap selalu tentang kebaikan. Waktu ialah serupa perempuan; tak mudah ditebak. Waktu terkadang baik; mendekatkan. Pun waktu terkadang jahat; memisahkan. 


Waktu memisahkan kami,…. Kami?! Ah, maksudku, aku yang mengharap kami, padahal seharusnya kubilang aku dan dia saja. Entah ketika dia mengetahui aku yang selalu menyebut aku dan dia ibarat kami, mungkin akan marah. Sebab memang tak pernah ada kami. Aku dan dia memang tak pernah punya cerita. Tapi pikirku, dia tak akan pernah tahu tentang rasa diam ini yang kupunya. Jadi, kuibaratkan kami saja. Masih berharap tentang waktu, masih berharap tentang kami.

Beberapa tahun yang lalu. Terakhir aku menemui matanya yang kucuri diam-diam ketika perpisahan sekolah. Dia mengucapkan salam perpisahan. Dan aku, cuma bisa membalas senyum. Ah, aku masih ingat senyumnya. Manis sekali.sweeettt …sweeetttt

"Kak, apa kabar lo? Kita udah lama banget nggak curhat-cuhatan. Sekarang kuliah di mana? Gue udah kuliah di Universitas XX. Bentar lagi balik ke Tuban. Aaaak Semester awal ngeselin ya Kak. Tapi kan untung gue pinter. Hehehehe..." 

Aku kaget. Satu menit yang lalu memikirkan dia, dia langsung mengirimiku pesan instan di Blackberry Messenger. Sesegera mungkin aku membalasnya.

"Alhamdulillah baik. Lo sendiri gimana? Gue kuliah di Tuban. Hahaha, lo masih nggak berubah ya, Do. Pinter, tapi sombong. Huh! Semoga lancar deh semesternyaa ya!", balasku.

"Gue kangen deh sama lo, Kak." Ucapnya, membuatku ge-er. Aku. Berharap. Lagi.

"Ciyeeee, ada yang kangen sama gue. Hehehehe." Balasku, penuh percaya diri.

"Iiiicsh, pede. Kak, gue ketemu Lina loh di sini. Dia makin cantik deh, Kak. Makin dewasa. Yaiyalah, Lina lebih tua dari gue. Namanya juga dulu macarin kakak kelas. Hahahaha. Kita ngobrol panjang lebar loh." Celotehnya lagi, menghancurkan harap, merusak mood. Jadi, dia membuat konversasi ini hanya untuk membicarakan yang tak terlalu penting buatku? Ah, Aldo selalu begitu. Harusnya aku tak usah berharap lagi tentangnya.

"Gue udah lama nggak ketemu dia. Hehehe, pasti lo seneng banget deh ketemu mantan. Ciyeeee. Eh Do, gue harus masuk kantor lagi. Lanjut nanti ya ngobrolnya. Byeeee!" Aku berbohong, sebab makin lama Dia membicarakan mantannya, mood-ku bisa semakin berantakan.

Lagi dan lagi, cuma bisa berharap. Memang tak seharusnya berharap secara terlalu. Memang seharusnya berpindah ke hati yang lain, tak melulu soal yang lalu. Sebab waktu berjalan.


"Ah, sial! Mobilku mogok! Kenapa begini sih?! Meeting-ku mulai setengah jam lagi." Gumamku, kesal. 

Pagi ini penuh sial. Minuman kotakku tumpah mengenai seragam, pun mobilku mogok di sembarang tempat, jalan yang jauh dari bengkel ataupun pom bensin. Ya, aku selalu menghindari jalan yang rawan kemacetan. Sebisa mungkin aku meminimalisir menggunakan jalan-jalan umum, aku lebih sering menggunakan jalan alternatif -jalan perkampungan yang masih bisa dilewati mobil satu arah-  agar bisa menghemat waktu. 

"Dasar cewek. Punya mobil tapi nggak ngerti mesin. Coba sini, saya lihat kenapa bisa mogok." Seorang lelaki berpengawakan tinggi kurus, berkulit putih, pun tampan ini mencoba menolongku tetapi dengan gayanya yang sok tahu. Huh! Tapi memang, aku tak mengerti soal mesin. Hehe.

"Mbak, ini sih bensinnya abis. Bentar deh, saya beliin bensin dulu ke depan." Ujarnya.

Sebentar. Aku mengenalinya. Ah iya! Aldo! Yang barusan mau menolongku dengan gayanya yang sok tahu itu ya cuma milik Aldo. Ini benar-benar kebetulan yang luar biasa. Waaah, hari ini ternyata bukan hari sialku. Sebab aku bertemu dengan orang yang selama ini aku harapkan untuk bertemu.

"Bensinnya udah saya isiin, Mbak. Lain kali, jangan sampe bensinnya habis gak bersisa. Kasihan mobilnya." Ucapnya, sambil menuju ke arah mobilnya yang kemudian bergegas untuk berlalu.

Dia tak mengenaliku. Sama sekali tidak. Kupikir, dia akan memanggil namaku, dan setelahnya kami bisa saling membuat konversasi langsung yang menyenangkan. Tapi nyatanya tidak. Dia tak mengenaliku. Ah, sial! Kupikir hari ini berubah jadi hari keberuntunganku, nyatanya tidak. Sikapnya tadi cuma membuatku diam, dan sedikit bengong.

"Mas, makasih!" Teriakku.

Hal tersebut menyadarkanku untuk segera melajukan lagi kendaraan roda empat yang dihadiahi Mamaku ketika aku berulangtahun di usia 19 tahun. Kembali ke dunia nyata, dan lupakan segara harap yang tak mungkin. Kepada hati yang penuh harap, logika harusnya siap menantangmu. Ah.

----

Di kedai kopi , pukul tujuh malam sepulang dari boutiqku. Aku melihatnya lagi. Dia, jelas tak melihatku. Sebab Kedai sedang ramai, dia mana mungkin menyadari keberadaanku. Dia memesan kopi hitam panas, di cup kecil, take away. Datang ke Kedai cuma sepuluh menit, kemudian berlalu. Hal ini ternyata terus berulang, sampai berlaku ke seminggu berikutnya. Sampai aku hafal betul kebiasaannya.

Ternyata kami berbeda. Dia meminum kopi selalu di mobil, sebagai teman tak ngantuk ketika mengendarai. Sedang aku, meminum moccacino sembari meluapkan hobi menulis dan menggambarku, sambil sesekali mencari wi-fi untuk sharing bersama teman-teman lain melalui sosial media, dan menghabiskan waktu berjam-jam. Sepeti halnya saat ini, kopi moccaku sudah di cangkir kedua, sketsaku sudah di lembar ketiga, pun cerpenku sudah di paragraf ke enam puluh dua.

Serasa ada yang memanggilku. Tetapi dengan panggilan "Hey!" Yang menurutku kurang begitu sopan. Ah iya, tak semua orang mengetahui namaku.

"Kita ketemu lagi. Udah dua kali aja kita ketemu. Ah iya, saya belum tahu nama kamu. Aku, Aldo. Daniel aldo wijaya." Dia menyodorkan tangannya, tanda perkenalan.

Aldo masih tak mengenaliku. Padahal di Blackberry Messenger aku begitu sering mengganti display picture menggunakan foto yang memang wajahku. Ah, mungkin memang dia tak pernah meng-enlarge display picture-ku di BBm. Dan seharusnya dia mengenaliku karena dulu kami sering bertemu. Huh. Tapi itu tentang beberapa tahun yang lalu. Mungkin aku yang banyak berubah, sedang dia, tidak.

"Gendhis Savindra, panggil Gendhis, atau Vindra." Sebenarnya ada sedikit kecewa, tapi tak kutunjukkan. Kemudian kusuguhi senyum yang beberapa orang bilang senyumku begitu manis. Sedikit PeDe boleh, kan? Oh ya, namaku Ira rachmawaty septya putry savindra. Di Blackberry Messenger, selalu kutulis  Gendhis S., Aldo tak akan pernah tahu S. di dalam namaku. Aku membiarkan dia tak tahu tentang aku yang sebenarnya, tapi aku tak sama sekali berbohong. Savindra memang benar namaku.

"Savindra kan nama cowok. Yaudah, karena kamu nggak sama sekali kelihatan kayak cowok, jadi gue panggil Gendhis  deh. Hmmmm, anak desain ya? Gambarnya bagus-bagus, lucu. Kalau yang gambarnya, cantik." Ucapnya, sambil sesekali melempar senyum yang disisipi tertawa kecil, ah, manis.

Aku serasa menjadi orang lain, yang begitu pendiam, yang begitu tak mau tertawa biar dia memberiku beberapa humor yang memang seperti terpaksa dan aneh. Entah, kenapa dia begitu sok akrab kepadaku.

"Ah enggak, cuma hobi aja kok."

"Penulis?"

"Cerpenis blogger."

"Aku nggak begitu suka baca."

"Aku pun."

"Kok suka nulis? Mana ada penulis yang nggak suka baca. Aneh." Gumamnya.

"Ada, aku."

"Kok bisa?" Aldo keheranan.

"Menulis itu merekam ingatan, mencatat keinginan, memainkan imajinasi, dan hidup di dunia fantasi. Nggak perlu suka baca, soalnya cuma tinggal berkhayal, buat dunia baru. Menulis itu membuat dunia sendiri, sedangkan membaca itu menonton dunia orang lain, dengan seolah-olah kita berperan dan hidup dalam tulisan itu."

"Kenapa kamu nggak suka baca?"

"Aku lebih suka nonton film. Nonton film dan baca buku itu ialah pilihan. Bagiku, aku harus memilih salah satu di antaranya. Kamu mau bilang aku aneh? Silahkan. Semua orang punya caranya sendiri untuk memilih apa yang disuka maupun tidak. Seperti halnya menggambar, aku nggak tahu teknik menggambar yang benar, pun menulis dengan kalimat rapi dan berbahasa tinggi, tapi selagi itu menyenangkan dan nggak merugikan diri sendiri, i lived on it."

"Kamu cerewet."

Apa? Cerewet?! Aku bahkan tak tertawa. Aku hanya menjelaskan apa yang dia pertanyakan. Aku ini sedang jadi pendiam, pendiam yang cuma menjawabi pertanyaan-pertanyaan dia yang seharusnya tak kujawab, yang tak begitu penting. Entah penjelasanku didengar atau tidak, seperti serasa menceritakan dongeng kepada bayi yang baru kemarin lahir, cuma dijawab "Oaaa... Oaaaa", huh.

Dasar wanita, mudah sekali kesal. Dengan dia bilang seperti itu, sudah merupakan tanda bahwa aku harus berhenti bicara. Aku diam.

Hening.

"Kok diem?"

"Tadi dibilang cerewet, giliran diem, ditanya 'kok diem?'. Hahaha." Aku meledek.

"Gue memperhatikan kok setiap kalimat yang kamu ucapkan. Gue paham. Kamu itu penulis dan penggambar yang masih malu untuk unjuk gigi. Yang terkadang selalu merendahkan diri dengan bilang cuma sekadar cerpenis, dan cuma sekadar suka menggambar yang tak bisa menggamar. Tapi kamu terlihat sebagai wanita yang segala bisa. Oh ya, gue bilang cerewet karena memang kenyataannya begitu. Cerewetmu tak menjengkelkan kuping gue. Malah gue senang dengernya. Nggak apa-apa cerewet asal berisi. Tuh kan, gara-gara kamu gue jadi ikut cerewet." Jelasnya, panjang lebar.

'Aldooo. Kenapa kamu tak menyadari sama sekali bahwa ini aku, kakak kelasmu dulu, yang begitu diam-diam megagumimu? Yang sedang dihadapanmu ini ialah yang selalu kamu panggil Kak Rachma. Ah, aku cuma bisa bergumam dalam hati, menunggu kamu menyadari dengan sendirinya.' Batinku.

"Oke, sekaang giliran kamu yang cerewet dan silahkan ceritakan tentang kamu. Tapi aku kasih waktu, lima menit."

"Udah kayak interview kerja ya. Huh. Yaudah. Nama gw Aldo umur 18 tahun. Dan gw sama sepertimu, nggak suka baca, dan lebih senang nonton film. Bedanya, kamu wanita, gw lelaki, dan gw nggak suka gambar. Gw lebih suka motret dan travel. Kalau film, gw suka sama Adam Sandler dan Jennifer Anniston. Segitu aja dulu deh, tentang gw, sisanya bisa gw ceritakan di pertemuan kita yang ketiga, nanti." 

Tanpa dia jelaskan pun, aku suh tahu tentang dia lebih banyak dari yang dia ceritakan barusan. Aku cuma tak mau konversasi ini cepat berakhir.

"Jangan terlalu yakin kalau akan ada pertemuan ketiga di antara kita." Entah. Kenapa aku begitu terkesan sombong dan menjengkelkan. Seperti bukan aku.

"Saya yakin. Sepulang kantor, besok, pukul tujuh malam, di tempat yang sama seperti halnya malam ini."

"Ya mudah-mudahan. Pulang yuk, udah pukul sepuluh malam" Ajakku, yang sudah menemui beberapa kantuk menghinggapi kelopak mata.

"Yuk."

Kami dipertemukan, tetapi di dalam keadaan di mana kami sedang tak saling jatuh cinta. Maksudku, aku yang jatuh cinta diam-diam, sendirian.wkwkwkwkwkk…


------

Sepulang kantor, mama meneleponku untuk segera pulang, mama minta ditemani sebab mbak siti sedang cuti pulang ke desanya. Jadi malam ini, aku tak singgah di Kedai Kopi, pun benakku bilang bahwa Aldo tak datang ke Kedai malam ini.

Pukul sepuluh malam. Led Blackberry-ku menyala merah. Ada yang mengirimiku pesan instan.

"Kak. Gue ketemu Lina lagi. Tadi sore kita jalan bareng. Ternyata dia nggak berubah ya, kekanak-kanakannya itu imut, selalu bikin gue gemes."

Ternyata Aldo, pesannya sudah terlanjur kubaca. Tak mungkin kuabaikan, biar seberapa besarnya mood-ku rusak tiba-tiba oleh isi pesannyayang straight to the point. 

"Duh, kalian lucunya. Semoga akur terus ya. Duh, gue jadi kangen kan sama kalian..." Balasku, sesak.

Bagaimana bisa dia masih ingat Lina dengan jelas, sedang denganku tidak sama sekali? Jawabannya sudah jelas, karena dia tak memperhatikanku.

"Ya mudah-mudahan kita bisa ketemu, lagian kan gue udah balik ke BJN. Lagi apa, Kak?"

Benar kan? Aldo tak ke Kedai malam ini. Sesore tadi dia bahkan jalan dengan Lina. Memang harusnya tak usah ada pertemuan ketiga sebagai Savindra dan Aldo lagi. Memang harusnya kupatahkan hatiku agar tak melulu dia yang menyinggahi benak. Sudahi, mudahi.

"Lagi nonton tv, nemenin mama. Soalnya mbak yang biasa temani mama lagi pulang kampung."

"Oh, yaudah Kak. Selamat nonton tv bareng mama. Salam buat mama kakak".

Chat terakhirnya tak kubaca. Cuma terlihat sebaris dari display utama notifikasi pesan. Kubiarkan tak terbaca sampai pagi.

-----

Kopi susu moccacino, ialah rutinitasku. Takkan kubiarkan hari-hariku kurang tanpanya. Kopi favoritku ialah kopi moccacino panas dengan dibubuhi sedikit gula. Kopi susu sedikit gula, ialah teman menulis gila. Kopi racikan Barista favoritku ialah Mas Dewa, Barista di Kedai Kopi yang biasa aku singgahi. Malam ini, aku singgah lagi. Tanpa sedikitpun berharap mata menemuinya. Malam ini, cuma mau menghabiskan dua cangkir kopi susu moccacino panas favoritku, sembari melepaskan asa yang kurekam dalam sebuah tulisan singkat. Malam ini, aku tak menggambar, sebab aku lupa membawa pulpen gambar.

"Hei, nggak menggambar?" Lagi-lagi Aldo.

"Lupa bawa drawing pen."

"Nih , aku punya. Tapi yang 0,05 mm. Aku selalu bawa di saku baju. Tapi nggak tau buat apa."

"Lagi males gambar."

"Hmmmm... Okay. Semalem nggak ke sini ya?"

Menyebalkan. Untuk apa dia menanyakan hal yang tak perlu ditanyakan. Iya, tak perlu, sebab dia sendiri bahkan tak datang.

"Seharusnya malam ini pertemuan kita yang keempat." Lanjutnya lagi, sebab aku masih diam.

"Semalam kamu ke sini? Aku nggak ke sini, soalnya ada urusan lain yang lebih penting."

Baru saja semalam aku mau melupakannya. Tapi lagi-lagi dia datang, seolah-olah membuka tangan, memberi harap untuk saling bisa menggenggam. Entah apa yang ada dipikiran lelaki yang satu ini. Hatinya ke mana-mana. Inginkan Lina, tapi seolah meminta hati dan perhatianku. Ini mengesalkan, harusnya kalau sudah ada Lina, tak usah bilang soal pertemuan kami.

"Saya nunggu sampai  pukul sepuluh. Habis itu pulang. Soalnya kamu nggak juga datang." Ucapnya, mengagetkan.

"Maumu apa?!" Emosiku tiba-tiba meledak.

"Saya nggak pernah merasa seyakin ini. Saya menyayangi kamu." Aldo makin membuatku semakin tak mengerti.

"Kita bahkan baru bertemu tiga kali. Jangan bicara sembarangan. Kamu bahkan nggak kenal aku." Sesak, aku menahan air mata. Bagaimana tak sesak, semalaman dia membicarakan Lina, sekarang bilang seperti itu dengan mudahnya.

"Saya sering memperhatikanmu, jauh sebelum bertemu denganmu ketika mobilmu kehabisan bensin. Saya sering memperhatikanmu di sini. Kamu menggunakan syal yang berbeda setiap harinya. Tiga warna yang kuingat, warna campur gelap dominan merah tua, warna campur gelap dominan biru tua, dan warna garis-garis hitam abu-abu yang berantakan. Kamu bisa menghabiskan dua sampai tiga gelas kopi moccacino panas sedikit manis, menggambar dan menulis dengan penuh serius, sendirian. Menghampirimu, sangat butuh keberanian yang cukup, sebab kamu terlalu penuh serius dengan imajimu, sampai tak menoleh ke arahku yang berada di depanmu, sedang memesan secangkir kopi yang sama denganmu. Saya selalu memilih untuk membawa kopinya, ialah sebab saya ingin menghampirimu, tetapi enggan merusak imajimu. Kemarin ialah waktu yang tepat buat saya membuka konversasi langsung sama kamu. Maaf, jadi saya yang cerewet, cuma sekadar mau menjelaskan apa yang selama ini ku rasakan." Jelasnya, yang sama sekali tak membuat semua jelas.

"Aku tanya maumu apa?! Aku tanya sekali lagi maumu apa?!" Air mata perlahan menetes. Aku berucap, lirih. Gemetaran.

Aldo terdiam.

"Kamu nggak bisa seenaknya mempermainkan perasaan orang lain. Lina, kemudian aku. Aku Gendhis, yang selalu kamu kirimi segala cerita-cerita tentang Lina dan kamu, tentang cinta kalian. Aku Gendhis, yang kadang hatinya mudah kecewa tiap kali kamu menceritakan dia. Aku Gendhis, yang berharap ketika itu kamu memanggil namaku, tetapi kamu malah berlalu, pun malah menanyakan namaku. Kamu tahu, aku penuh luka, dan aku ingin lupa!" Jelasku, masih berlirih.

"Kenapa harus luka? Kenapa harus kecewa?"

"Sebab aku mencintaimu!" Ucapku, refleks.

"Diam-diam?"

"Pikirmu?!"

"Kamu pikir, saya nggak mencintaimu, hah?!  Saya bingung harus melakukan apa ketika itu. Saya mana mungkin mendekatimu setelah saya memacari sahabatmu. Lina tak bisa membuat saya menyukaimu dengan seyakin ini. Saya bingung membuat konversasi denganmu di messenger memulainya dengan apa. Mungkin dengan itu, bisa membuat kita saling bertukar cerita lebih lama. Tapi saya malah melukai kamu." Jelas Aldo, meyakinkan.

"Aku nggak percaya." Balasku, singkat.

"Kamu harus percaya. Saya tahu kamu, Ira Rachmawaty Septya Putry Savindra. Saya jelas tahu namamu dari perpisahan sekolah waktu itu. Saya ada, dan saya yang memotretmu. Saya jelas hafal namamu. Soal waktu itu, saya cuma sekadar sengaja mencoba menjadi orang asing bagimu. Kamu tahu kenapa? Supaya kita bisa lebih banyak bicara, sampai larut. Cinta saya diam-diam. Tapi sekarang tidak. Sebab saya sudah mencoba mengungkapkannya."

"Aku bahkan lebih dulu mencintaimu diam-diam. Aku lebih dulu mengagumimu."

"Iya, setelah itu saya yang begitu menyukaimu. Diam-diam juga."

"Lalu?" Aku masih tak menyangka. Aku berasa sedang bermain dengan imajin di dunia fantasi liarku. Semoga ini benar, dan bukan sekadar ilusi.

"Saya mau kita."

"Maksudnya?" Aku masih keheranan.

"Segala kita, di semua cerita yang kamu buat. Bukan ilusi, bukan imajinasi. Kita, yang membuat ceritanya sendiri. Kita, yang menghidupi segala fantasimu. Gw sayang kamu."

"Aku juga sayang kamu."

Kami saling meyakinkan hati, di hadapan dua cangkir kopi hitam sedikit manis yang mendingin sendirinya, cangkir kopi milik kami.  Kami ialah dua yang sama; pecinta racikan kopi yang sama rasa, yang ternyata saling mencinta diam-diam, pun yang akhirnya cintanya bisa suarkan suara kejujuran dari masing-masing hati kami.

Malam itu, dia memelukku. Memberi tenang yang luar biasa candu; menenangkan, mendamaikan.

Sekarang, cinta kami tak lagi diam.

Teruntuk kalian yang cintanya bungkam, belajarlah bicara.jangan terus diam andai kalian semua di hinggapi rasa, utarakanlah biar tak ada penyesalan . 



 

Senin, 16 Februari 2015

on Leave a Comment

Sebuah Anugerah Yang Pernah Tuhan Berikan Padaku



Penulis kali ini akan menyajikan cerita seputar percintaan remaja,perjalanan hidup yang penuh cobaan,rasa kesedihan yang teramat sangat di balut senyuman dan keceriaan untuk orang di sekitarnya, karena itu adalah sebuah anugerah terindah yang Tuhan pernah berikan padaku.

Ini adalah kisah seorang gadis berusia 18 tahun, bernama Gendhis savindra. Dia adalah gadis yang baik hati, ceria, suka menolong dan ramah. Pada suatu hari Gendhis jatuh pingsan setelah olahraga. Awal mulanya karena Ia sakit perut.

Lalu Ia dibawa ke UKS untuk istirahat. Gendhis adalah anak bungsu, Ia memiliki kakak laki-laki bernama Rama. Mereka berdua bisa dibilang cukup akur, Rama sangat menyayangi Gendhis. Suatu hari…

Kak Rama, akhir-akhir ini kok Gendhis sering banget saking perut ya? Abis itu pingsan, Kata Gendhis

Perasaan kamu doing kali dek, makanya sarapan. Jawab Rama

Ih kakak mah, adek serius. Kan setiap hari  adek sarapan, ke sekolah juga bawa bekel kan. Rengek Gendhis

Yaudah sana bilang ke Mama biar periksa ke dokter. Kata Rama

Iya deh nanti sore Vin ke dokter ajak Mama. Kata Gendhis

Pada sore harinya…

Mamaaaa ayo berangkat. Kata Gendhis

Iya Ndhis sebentar Mama kan lagi dandan. Sahut Mama

Ih Mama ganjen ke dokter aja segala dandan, bilangin ke Papa nih. Hihi" Ledek Gendhis

Yeh nanti kan sekalian kita jalan-jalan, emang Gendhis ga mau jalan-jalan sama Mama? Kata Mama

Mau lah Ma, apalagi dijajanin banyak. Hehe Kata Gendhis

Dasar kamu, yaudah ayo berangkat." Ajak Mama

Sepanjang perjalanan Gendhis banyak bercerita tentang sekolahnya kepada Mamanya. Mamanya Gendhis adalah seorang pengelola toko pakaian . Sedangkan daddy Gendhis adalah seorang wira usahawan.

Dari segi ekonomi Gendhis termasuk gadis yang beruntung karena keperluaannya hampir semuanya bisa terpenuhi. Setelah berkendara selama 1 jam, akhirnya Gendhis sampai disebuah Rumah Sakit ternama di Surabaya. Setelah diperiksa Gendhis menunggu diluar. Lalu setelah itu…

Orangtua dari Gendhis savindra ? Panggil suster

Iya suster. Sahut Mamanya Gendhis

Mamanya Gendhis masuk ke dalam ruangan dokter, setelah 30 menit berbincang dengan dokter. Mamanya Gendhis keluar dengan kondisi lemas. Beliau menangis sedih.

Mom kenapa? Tanya Gendhis

Gapapa sayang.Jawab Mama

Mom ga mungkin ga kenapa-napa, Buktinya Mama nangis gitu.

Ndok cah ayu maafin Mama yoo. Kata Mama sambil memeluk Gendhis

Maaf kenapa lo Ma? Cerita dong.

Maafin Mama ga bisa jagain Gendhis baik-baik. Kata Mama

Ih Mama ngomong apa sih? Mom tuh selalu jagain Gendhis tau.

Gendhis sayang harus kuat ya nak.

ih Mama kenapa sih? Emang Gendhis sakit apa?

Gendhis…  sakit kanker Pankreas. Kata Mama dengan terbata bata  sambil memeluk erat Gendhis

Gendhis kena kanker Ma? Tanya Gendhis dengan muka sedih

Iyoo Ndok, maafin Mama ya ga bisa jagain Gendhis.

Udah ya Ma, Mama jangan sedih jangan nangis. Gendhis gapapa kok. Mom ga salah. Ini semua udah takdir Tuhan Ma, udah ya Mama nanti cantiknya ilang loh." Kata Gendhis

Gendhis ga sedih? Tanya Mama

Sedih sih tapi buat apa? Semua kan udah takdir. Mama, Gendhis laper patching kita makan terus belanja abis itu beliin Gendhis es krim deh. Hihihi…  yuk ah. Ajak Gendhis

Gendhis sangat terpukul mendengar tentang penyakitnya, tapi Ia berusaha untuk tidak memperlihatkan kesedihannya. Dia selalu ceria tanpa terlihat beban yang sedang Ia pikul. Pada suatu hari ada tetangga baru disebelah rumah Gendhis. Namanya Alvin, bisa dibilang secara fisik Alvin adalah idaman wanita.

Alvin dan Vin sudah saling berkenalan. Tak jarang mereka bermain bersama, untuk bersepeda atau sekedar mencari makan diluar. Alvin juga masuk disekolah yang sama dengan Gendhis.

Tak terasa sudah setahun terlewati oleh Gendhis.

Gendhis bersyukur masih bisa melewatkan satu tahun bersama orang-orang yang sangat Ia sayangi. Pada suatu malam saat kumpul keluarga…

Mama, Pa, Kak Rama Gendhis mau nanya dong. Kata Gendhis

Nanya apa sayang? Tanya Papa lembut

Kalo Gendhis punya pacar boleh ga? Tanya Gendhis

Hahaha gitu aja pake nanya sih dek. Ledek Kak Rama

Ramaaaa, adeknya kan lagi nanya. Boleh kok sayang. Emang cah ayu lagi naksir cowok?" Kata Mama

Iya Ma, Gendhis suka sama Alvin.

Alvin  juga bilang suka sama Gendhis. Tapi Gendhis bilang kalo mau ngajak pacaran Gendhis ga mau dia ngomong lewat sms maunya langsung. Hehe" Kata Gendhis

Yaudah asal Gendhis seneng ya gapapa. Kata Mama

Asiiiiiiik makasih Mama Papa Kak Rama. Aku sayang kalian semua.Kata Gendhis sambil memeluk keluarga kecilnya.

Keesokan harinya, setelah pulang sekolah Alvin mengajak Ndhis untuk pergi ke taman. Disana mereka duduk sambil makan es krim.

Gendhis, aku mau ngomong nih masalah yang kemarin. Kata Alvin

Ngomong aja, aku dengerin kok. Jawab Gendhis

Kamu mau ga jadi pacar aku?

Sebelumnya aku mau nanya dulu nih sama kamu.

Nanya apa ndhis?

Kamu beneran mau pacaran sama aku? Ga nyesel? Emang kamu sayang sama aku?

Yaampun Ndhis, yaiyalah kalo aku ga sayang mana mungkin aku mau kamu jadi pacar aku.

Alvin, aku sekarat. Aku sakit kanker Pankreas. Apa kamu ga malu pacaran sama aku?

Ndhis, aku sayang sama kamu tulus dari hati aku ga peduli kamu sakit atau engga. Ndis, sebelum kamu bilang ini. Mother kamu udah sering bilang setiap kali aku mau ajak kamu jalan.

Kalo gitu aku terima kamu. Tapi kamu harus janji ga akan sakitin aku ya.

Iya Ndhis." Kata Alvin sambil mencubit pipi Gendhis

Hari demi hari sudah dilewati, tidak terasa Gendhis kini sudah lulus SMA. Gendhis diterima di Perguruan Tinggi di daerahnya . Sedangkan Alvin diterima di Unesa .

Mereka menjalani hubungan jarak jauh, tapi tetap masih saling berkomunikasi. Pada suatu malam, Gendhis menangis di dalam kamarnya. Mother yang tidak sengaja mendengar, masuk kedalam kamar Gendhis.

ndok ,  ono' opo to cah ayu ? Tanya Mama lembut

Gapapa kok Ma. Jawab Gendhis

bocah ayu iku  ga boleh bohong mengko mundak ilang ayune .

Gendhis emang ga pernah bisa bohong ya sama Mama???.

Namanya juga anak Mama, ayo cerito karo Mama.bujuk Mama

Mama, Gendhis sedih. Tadi Gendhis abis Video Call sama Alvin.tapi Disana Alvin lagi fundamental sama temennya tapi kebanyakan cewek Ma.

teroskenek opo Gendhis sedih? Kalo Gendhis yakin Alvin sayang sama Gendhis yoo Gendhis ga usah sedih.

Bukan itu masalahnya Ma. Gendhis takut kalo suatu saat Gendhis harus pergi Alvin bakal lebih cepet ngelupain Gendhis.

Kok Gendhis iso ngomong koyo' ngono ta ndok?

Mama, umur ga ada yang tau kan? Gendhis masih bisa bertahan sampai sekarang aja itu udah bersyukur.

Gendhis sekarang bobo ya udah malem. Great night sayang,kata Mama sambil mencium kening Gendhis

Esok paginya Gendhis memutuskan untuk tidak berangkat kuliah.

Gendhis pergi mencari bahan pakaian, Gendhis belanja banyak sekali, Mulai dari bahan pakaian, makanan, dan barang-barang lainnya. Setelah itu Gendhis pergi ke tukang jahit dan meninggalkan bahan-bahan itu disana. Selebihnya belanjaannya Ia bawa pulang kerumah. Sampai dirumah…

Yaampun non, banyak banget bawaannya  kata Mbak Siti

Iyo Mbak, hehehehe. Mbak, tolong ambil kebaya yg di mobil deh.

Ini non kebayanya.

Nah yuuu'iii itu buat mbak ya dipake loh kalo ada acara.

non Gendhis beneran ini buat mbak?

Bener lah mbak. Udah yo Gendhis mau masuk dulu.

Makasih ya non.

Setelah selesai merapikan semua barang belanjaannya, Gendhis tertidur karena lelah. Sampai hari mulai pagi lagi. Gendhis bergegas mandi dan kembali membawa barang belanjaannya. Seperti biasa sebelum melakukan aktifitas, Gendhis memberitahu Alvin.

Kali ini Gendhis pergi ke kampus, Ia menemui beberapa teman baiknya. Satu every satu teman terbaiknya diberikan barang yang sudah Gendhis bawa. Setelah itu Gendhis bergegas pergi ke Panti Asuhan disana Ia berbagi keceriaan bersama anak-anak yatim piatu. Kemudian ke Panti Jompo.

Sampai yang tempat yang terakhir Ia kunjungi adalah sekolah darurat yang dikhususkan untuk anak-anak jalanan. Setelah semuanya selesai Gendhis bergegas kembali kerumah. Dirumah sudah gelap menandakan bahwa penghuninya sudah tidur. Gendhis masuk lewat pintu belakang. Tiba-tiba…

Gendhis, kamu darimana? Tanya Papa

Maaf Pa, Gendhis telat pulang tadi ada urusan.

Urusan apa? Emang kamu ga bisa ngabarin?

Handphone Gendhis mati Pa jadi ga bisa ngabarin.

Kamu tuh ga bisa banget ya dikhawatirin sama orangtua. Kalo kamu kambuh gimana siapa yang repot?kata Papa dengan nada mulai tinggi

Maafin Gendhis Pa.

Tiba-tiba Gendhis merasa perutnya mulai sakit, dia hanya bisa memegang perutnya. Papanya panik dan kemudian menggendong Gendhis masuk kedalam mobil. Semua penghuni rumah terbangun dan bergegas ke Rumah Sakit, Gendhis koma selama 3 hari sampai akhirnya dia sadar.

"Dad, maafin Gendhis ya,kata Gendhis

Maafin Papa sayang udah keras sama kamu."

Gapapa kok. Dad, Gendhis minta tolong ambilin baju yang ditukang jahit langganan kita boleh ga Pa?

Boleh sayang. Nanti sore Papa ambilin ya.

iya Pa, sekalian kabarin ke Alvin ya Pa. suruh kesini.

iya sayang.

Sorenya, setelah baju diambil, Papa  kembali ke Rumah Sakit.

Ndhis, ini baju siapa? Kok seragaman gini? Tanya Papa

Nanti kalo Alvin udah dateng Gendhis jelasin ya Pa.

Tak lama setelah itu Alvin datang dengan membawa satu basin bunga mawar merah kesukaan Gendhis. Pa Mama Kak Rama Alvin, aku mau kalian ganti baju ini sekarang. Nanti aku juga ganti, Pinta Gendhis

Buat apa Ndhis?tanya Kak Rama

Udah ih pake aja ga usah bawel. kata Gendhis

Udah seragam semua nih Ndhis.kata Kak Rama

Nah sekarang kita foto yoo... Gendhis sengaja bikin baju seragaman ini buat kita."

Setelah foto Gendhis meminta waktu untuk bicara berdua dengan Alvin. Gendhis meluapkan apa yang Ia rasakan saat jauh dari Alvin. Dari menahan rindu sampai Ia harus selalu menyimpan rasa was-was. Setelah itu Gendhis mengeluarkan sebuah kotak dan diberikannya kepada Alvin.

Alvin, ini jam yang kamu incer dari kemarin. Aku kemarin nyari ini susah juga loh, Kata Gendhis

Yaampun Ndhis kamu kenapa sih selalu kasih kejutan buat aku? Aku tuh ga bisa balesnya.

Aku ga butuh balesan kamu kok. Cukup liat kamu tersenyum karena aku itu udah jadi balesan yang terindah buat aku. Aku sayang sama kamu.

Gendhis aku juga sayang sama kamu." Kata Alvin sambil memeluk Gendhis

Setelah 7 hari dirawat akhirnya Gendhis diperbolehkan pulang. Gendhis diharuskan beristirahat all out. Karena bosan, saat Papa dan Mamanya pergi Gendhis memutuskan untuk pergi mencari udara segar diluar.

Tanpa Ia sadari hari sudah menjelang sore, Ia quip bergegas pulang. Sesampainya dirumah perutnya kembali mengalami sakit yang luar biasa, kali ini nafasnya play on words ikut terasa sesak. Lalu…  Bruk.. Gendhis pingsan.

Kak Rama yang mendengarnya langsung menggendong Gendhis masuk kedalam kamar. Setelah Papa dan Mamanya pulang Gendhis masih tidak sadarkan diri. Kemudian Alvin datang. Tak lama setelah itu sahabat-sahabatnya Gendhis juga datang, Tiga jam tidak sadarkan diri akhirnya Gendhis membuka matanya.

Ndok , kalo Gendhis mau pergi sekarang mom ikhlas sayang,dari pada Gendhis harus selalu ngerasa sakit.Kata Mama sambil menangis

Ndok..,gendok cah ayu  mau apa sayang? tanya Papa

Gendhis hanya diam dan menunjuk sebuah benda yang ada diatas mejanya. Benda itu adalah sebuah DVD.

Gendhis, kalo Gendhis udah ga kuat nahan rasa sakit Alvin ikhlas kok ngiklasin Gendhis pergi. Alvin janji akan tetep sayang sama Gendhis sampai kapan play on words. Gendhis itu cewek terbaik yang pernah Alvin temui didalam hidup Alvin,Kata Alvin sambil menangis

"Ndhis sayang kita ikhlas kok kalo Gendhis mau pergi sekarang. Kita juga ga tega liat Gendhis harus disuntik dan minum obat terus-terusan." Kata salah satu sahabat Gendhis

Dek kakak ikhlas kalo adek mau pergi. Kakak pesen adek sering-sering dateng ya kalo kakak lagi kangen Kata Kak Rama

gendok cah ayu mau dibantu sayang? Tanya Papa

Gendhis hanya mengangguk, kemudian Papa membacakan dua kalimat Syahadat. Dan…  Gendhis menghembuskan nafas terakhirnya. Semua yang ada disitu menangis histeris, terlebih Mamanya.
 

Gendhis langsung dimandikan kemudian dimakam kan. Duka yang dalam mengiri pemakaman gadis yang dikenal ceria itu. Seusai acara pemakaman dan pengajian, Papa Mama Kak Rama dan Anto sama-sama melihat DVD yang diberikan oleh Gendhis.

Disitu ada rekaman bagaimana dia membahagiakan orang-orang disekitarnya. Dan disitu Ia merekam dirinya sendiri untuk menyampaikan sesuatu.

Hai nama aku Gendhis, aku adalah gadis yang withering beruntung sedunia. Aku punya Mama Papa Kak Rama dan Pacar yang withering setia Alvin.


Kalian tau aku dilahirkan dengan tugas membahagiakan orang-orang disaat terakhirku. Kenapa aku bilang begitu? Karena saat ini aku sedang mengidap sakit kanker pancreas. Jangan sedih, karena aku ga sedih. Hihihi Aku mau berterima kasih pada semua orang yang sudah menyayangiku.


Tanpa kalian aku ga akan bisa sekuat sekarang ini, buat Mama Papa maaf karena kalian harus kehilangan gadis cantik yang super unyu ini. Huhu buat Kak Rama maaf ga bisa jailin kakak lagi. Dan untuk Alvin maaf ga bisa cemburu lagi sama kamu. Kalian semua adalah Anugerah terindah yang pernah Tuhan berikan  buat aku. Kalian itu semangat aku buat bertahan sampai titik ini.


Seandainya aku pergi jangan lupain aku ya. Karena aku withering ga bisa dilupain. Aku sayang sama kalian semua. Maafin aku kalo aku punya banyak salah byeeeeee.

Semua terharu oleh feature singkat yang Savindra buat khusus untuk mereka. Kini Vindra sudah tenang di alam sana. Tidak ada lagi sakit yang harus dia rasakan. Tidak ada lagi tawa ceria yang selalu Ia pancarkan. Yang ada hanyalah kenangan tentang Savindra.

Epolog

cerita keceriaan seorang anak gadis remaja yang dalam masa pubertas, sedang jatuhcinta ,otherwise known as tetapi di balik rasa ceria dan bahagianya dia menyimpan penyakit yang setiap waktu menjemput ajalnya,dia menyadari itu dan dia berusaha membuat bahagia orang yang berada di sekitarnya ,untuk dad ,mother ,kakak dan pacar sudah dia bersyukur bahwa mereka adalah sebuah anugerah yang pernah tuhan berikan pada 

on Leave a Comment

Aku Mencintaimu Suamiku

http://www.cahkenongo.blogspot.comAku mencintaimu suamiku aku memberi judul di kisah ini,cinta memang butuh kesabaran kisah ini bisa juga di buat untuk sebuah bahan renungan ,banyak cerita kisah kisah fiksi atau nyata yang betebaran di buku buku cerita atau di blog blog google,dari semua cerita  yang pernah kita baca kita bisa menarik sebuah kesimpulan dan menjadikannya sebuah refrensi .

Ini kisah nyata yang terkemas dalam sebuah cerita menyentuh ,bagai mana seorang isteri begitu besar pengorbanannya demi suami yang tidak tegas sebagai kepala rumah tangga,sang isteri yang begitu sabar menghadapi suami ,mertua dan semua keluarga dari sang suami yang begitu memusuhi wanita "penyabar ini "
aku gendhis savindra sebagai penulis mengucapkan do'a untuk sang aktor utama wanita dalam cerita ini semoga Allah selalu melimpahkan rahmat dan lindungan Arzy untuknya... Aamin...

Sampai dimanakah kita harus bersabar menanti cinta kita???hari itu aku dengannya berkomitmen untuk menjaga cinta kita..aku menjadi perempuan yg paling bahagia Pernikahan kami sederhana namun meriah Ia menjadi pria yang sangat romantis pada waktu itu.

Aku bersyukur menikah dengan seorang pria yang shaleh, pintar, tampan & mapan pula,ketika kami berpacaran dia sudah sukses dalam karirnya.

Kami akan berbulan madu di tanah suci, itu janjinya ketika kami berpacaran dulu..dan setelah menikah, aku mengajaknya untuk umroh ke tanah suci….aku sangat bahagia dengannya, dan dianya juga sangat memanjakan aku… sangat terlihat dari rasa cinta dan rasa sayangnya pada ku,banyak orang yang bilang kami adalah pasangan yang serasi. Sangat terlihat sekali bagaimana suamiku memanjakanku. Dan aku bahagia menikah dengannya.

Lima tahun berlalu sudah kami menjadi suami istri, sangat tak terasa waktu begitu cepat berjalan walaupun kami hanya hidup berdua saja karena sampai saat ini aku belum bisa memberikannya seorang malaikat kecil (bayi) di tengah keharmonisan rumah tangga kami,karena dia anak lelaki satu-satunya dalam keluarganya, jadi aku harus berusaha untuk mendapatkan penerus generasi baginya.
Alhamdulillah saat itu suamiku mendukungku…

Ia mengaggap Allah belum mempercayai kami untuk menjaga titipan-NYA.
Tapi keluarganya mulai resah. Dari awal kami menikah, ibu & adiknya tidak menyukaiku. Aku sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari mereka, namun aku selalu berusaha menutupi hal itu dari suamiku…

Didepan suami ku mereka berlaku sangat baik padaku, tapi dibelakang suami ku, aku dihina-hina oleh mereka…

Pernah suatu ketika satu tahun usia pernikahan kami, suamiku mengalami kecelakaan, mobilnya hancur, Alhamdulillah suami ku selamat dari maut yang hampir membuat ku kehilangannya.
Ia dirawat dirumah sakit pada saat dia belum sadarkan diri setelah kecelakaan. Aku selalu menemaninya siang & malam sambil kubacakan ayat-ayat suci Al – Qur’an.


Aku sibuk bolak-balik dari rumah sakit dan dari tempat aku melakukan aktivitas sosial ku, aku sibuk mengurus suamiku yang sakit karena kecelakaan.
Namun saat ketika aku kembali ke rumah sakit setelah dari rumah kami, aku melihat di dalam kamarnya ada ibu, adik-adiknya dan teman-teman suamiku, dan disaat itu juga.. aku melihat ada seorang wanita yang sangat akrab  mengobrol dengan ibu mertuaku. Mereka tertawa menghibur suamiku.
Alhamdulillah suamiku ternyata sudah sadar, aku menangis ketika melihat suami ku sudah sadar, tapi aku tak boleh sedih di hadapannya.

Kubuka pintu yang tertutup rapat itu  sambil mengatakan, “Assalammu’alaikum” dan mereka menjawab salam ku. Aku berdiam sejenak di depan pintu dan mereka semua melihatku. Suamiku menatapku penuh manja, mungkin ia kangen padaku karena sudah 5 hari mata nya selalu tertutup.

Tangannya melambai, mengisyaratkan aku untuk memegang tangannya erat. Setelah aku menghampirinya, kucium tangannya sambil berkata “Assalammu’alaikum”, ia pun menjawab salam ku dengan suaranya yg lirih namun penuh dengan cinta. Aku pun senyum melihat wajahnya.
Lalu.. Ibu nya berbicara denganku …

“Vin, kenalkan ini Desi teman Fikri”.
Aku teringat cerita dari suamiku bahwa teman baiknya pernah mencintainya, perempuan itu bernama Desi dan dia sangat akrab dengan keluarga suamiku. Hingga akhirnya aku bertemu dengan orangnya juga. Aku pun langsung berjabat tangan dengannya, tak banyak aku bicara di dalam ruangan tersebut,aku tak mengerti apa yg mereka bicarakan.

Aku sibuk membersihkan & mengobati luka-luka di kepala suamiku, baru sebentar aku membersihkan mukanya, tiba-tiba adik ipar ku yang bernama Dian mengajakku keluar, ia minta ditemani ke kantin. Dan suamiku pun mengijinkannya.
Kemudian aku pun menemaninya,tapi ketika di luar adik ipar ku berkata, ”lebih baik kau pulang saja, ada
kami yg menjaga abang disini ,kau istirahat saja. ”


Anehnya, aku tak diperbolehkan berpamitan dengan suamiku dengan alasan abang harus banyak beristirahat dan karena psikologisnya masih labil. Aku berdebat dengannya mempertanyakan mengapa aku tidak diizinkan berpamitan dengan suamiku. Tapi tiba-tiba ibu mertuaku datang menghampiriku dan ia juga mengatakan hal yang sama.

Nantinya dia akan memberi alasan pada suamiku mengapa aku pulang tak berpamitan padanya, toh suamiku selalu menurut apa kata ibunya, baik ibunya salah ataupun tidak, suamiku tetap saja membenarkannya. Akhirnya aku pun pergi meninggalkan rumah sakit itu dengan linangan air mata.
Sejak saat itu aku tidak pernah diijinkan menjenguk suamiku sampai ia kembali dari rumah sakit. Dan aku hanya bisa menangis dalam kesendirianku. Menangis mengapa mereka sangat membenciku.

Hari itu.. aku menangis tanpa sebab, yang ada di benakku aku takut kehilangannya, aku takut cintanya dibagi dengan yang lain.pagi itu, pada saat aku membersihkan pekarangan rumah kami, suamiku memanggil ku ke taman belakang, ia baru aja selesai sarapan, ia mengajakku duduk di ayunan favorit kami sambil melihat ikan-ikan yang bertaburan di kolam air mancur itu.


Aku bertanya, ”Ada apa papa memanggil mama?”


Ia berkata, ”Besok aku akan menjenguk keluargaku di Sabang”
Aku menjawab, ”Ia sayang.. aku tahu, aku sudah mengemasi barang-barang kamu di travel bag dan kamu sudah memeegang tiket bukan?”


“Ya tapi aku tak akan lama disana, cuma 3 minggu aku disana, aku juga sudah lama tidak bertemu dengan keluarga besarku sejak kita menikah dan aku akan pulang dengan mama ku”, jawabnya tegas.

“Mengapa baru sekarang bicara, aku pikir hanya seminggu saja kamu disana?“, tanya ku balik kepadanya penuh dengan rasa penasaran dan sedikit rasa kecewa karena ia baru memberitahukan rencana kepulanggannya itu, padahal aku telah bersusah payah mencarikan tiket pesawat untuknya.

”Mama minta aku yang menemaninya saat pulang nanti”, jawabnya tegas.

”Sekarang aku ingin seharian dengan kamu karena nanti kita 3 minggu tidak bertemu, ya kan?”, lanjut nya lagi sambil memelukku dan mencium keningku. Hatiku sedih dengan keputusannya, tapi tak boleh aku tunjukkan pada nya.

Bahagianya aku dimanja dengan suami yang penuh dengan rasa sayang & cintanya walau terkadang ia bersikap kurang adil terhadapku,aku hanya bisa tersenyum saja, padahal aku ingin bersama suamiku, tapi karena keluarganya tidak menyukaiku hanya karena mereka cemburu padaku karena suamiku sangat sayang padaku.


Kemudian aku
Karena ini acara sakral bagi keluarganya, jadi seluruh keluarganya harus komplit. Walaupun begitu, aku pun tetap tak akan diperdulikan oleh keluarganya harus datang ataupun tidak. Tidak hadir justru membuat mereka sangat senang dan aku pun tak mau membuat riuh keluarga ini.

Malam sebelum kepergiannya, aku menangis sambil membereskan keperluan yang akan dibawanya ke Sabang, ia menatapku dan menghapus airmata yang jatuh dipipiku, lalu aku peluk erat dirinya. Hati ini bergumam tak merelakan dia pergi seakan terjadi sesuatu, tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku hanya bisa menangis karena akan ditinggal pergi olehnya.

Aku tidak pernah ditinggal pergi selama ini, karena kami selalu bersama-sama kemana pun ia pergi.
Apa mungkin aku sedih karena aku sendirian dan tidak memiliki teman, karena biasanya hanya pembantu sajalah teman mengobrolku.

Hati ini sedih akan di tinggal pergi olehnya.
Sampai keesokan harinya, aku terus menangis.. menangisi kepergiannya. Aku tak tahu mengapa sesedih ini, perasaanku tak enak, tapi aku tak boleh berburuk sangka. Aku harus percaya apada suamiku. Dia pasti akan selalu menelponku.

Berjauhan dengan suamiku, aku merasa sangat tidak nyaman, aku merasa sendiri. Untunglah aku mempunyai kesibukan sebagai seorang aktivis, jadinya aku tak terlalu kesepian ditinggal pergi ke Sabang.
Saat kami berhubungan jarak jauh, komunikasi kami memburuk dan aku pun jatuh sakit. Rahimku terasa sakit sekali seperti di lilit oleh tali.

Tak tahan aku menahan rasa sakit dirahimku ini, sampai-sampai aku mengalami pendarahan. Aku dilarikan ke rumah sakit oleh adik laki-lakiku yang kebetulan menemaniku disana. Dokter memvonis aku terkena kanker mulut rahim stadium 3 aku menangis.. apa yang bisa aku banggakan lagi..

Mertuaku akan semakin menghinaku, suamiku yang malang yang selalu berharap akan punya keturunan dari rahimku.. namun aku tak bisa memberikannya keturunan. Dan kemudian aku hanya bisa memeluk adikku.
Aku kangen pada suamiku, aku selalu menunggu ia pulang dan bertanya-tanya, “kapankah ia segera pulang?” aku tak tahu..

Sementara suamiku disana, aku tidak tahu mengapa ia selalu marah-marah jika menelponku. Bagaimana aku akan menceritakan kondisiku jika ia selalu marah-marah terhadapku..
Lebih baik aku tutupi dulu tetang hal ini dan aku juga tak mau membuatnya khawatir selama ia berada di Sabang.

Lebih baik nanti saja ketika ia sudah pulang dari Sabang, aku akan cerita padanya. Setiap hari aku menanti suamiku pulang, hari demi hari aku hitung…

Sudah 3 minggu suamiku di Sabang, malam itu ketika aku sedang melihat foto-foto kami, ponselku berbunyi menandakan ada sms yang masuk kubuka di inbox ponselku, ternyata dari suamiku yang sms.
Ia menulis, “aku sudah beli tiket untuk pulang, aku pulangnya satu hari lagi, aku akan kabarin lagi”.
Hanya itu saja yang diinfokannya. Aku ingin marah, tapi aku pendam saja ego yang tidak baik ini. Hari yg aku tunggu pun tiba, aku menantinya di rumah.

Sebagai seorang istri, aku pun berdandan yang cantik dan memakai parfum kesukaannya untuk menyambut suamiku pulang, dan nantinya aku juga akan menyelesaikan masalah komunikasi kami yg buruk akhir-akhir ini.

Bel pun berbunyi, kubukakan pintu untuknya dan ia pun mengucap salam. Sebelum masuk, aku pegang tangannya kedepan teras namun ia tetap berdiri, aku membungkuk untuk melepaskan sepatu, kaos kaki dan kucuci kedua kakinya, aku tak mau ada syaithan yang masuk ke dalam rumah kami.
Setelah itu akupun berdiri langsung mencium tangannya tapi apa reaksinya..

Masya Allah.. ia tidak mencium keningku, ia hanya diam dan langsung naik keruangan atas, kemudian mandi dan tidur tanpa bertanya kabarku..aku hanya berpikir, mungkin dia capek. Aku pun segera merapikan bawaan nya sampai aku pun tertidur. Malam menunjukkan 1/3 malam, mengingatkan aku pada tempat mengadu yaitu Allah, Sang Maha Pencipta.


Biasa nya kami selalu berjama’ah, tapi karena melihat nya tidur sangat pulas, aku tak tega membangunkannya. Aku hanya mengeelus wajahnya dan aku cium keningnya, lalu aku sholat tahajud 8 rakaat plus witir 3 raka’at.aku mendengar suara mobilnya, aku terbangun lalu aku melihat dirinya dari balkon kamar kami yang bersiap-siap untuk pergi. Lalu aku memanggilnya tapi ia tak mendengar. Kemudian aku ambil jilbabku dan aku berlari dari atas ke bawah tanpa memperdulikan darah yg bercecer dari rahimku untuk mengejarnya tapi ia begitu cepat pergi.

Aku merasa ada yang aneh dengan suamiku. Ada apa dengan suamiku? Mengapa ia bersikap tidak biasa terhadapku?aku tidak bisa diam begitu saja, firasatku mengatakan ada sesuatu. Saat itu juga aku langsung menelpon kerumah mertuakudan kebetulan Dian yang mengangkat telponnya, aku bercerita dan aku bertanya apa yang sedang terjadi dengan suamiku. Dengan enteng ia menjawab, “Loe pikir aja sendiri!!!”. Telpon pun langsung terputus.

Ada apa ini? Tanya hatiku penuh dalam kecemasan. Mengapa suamiku berubah setelah ia kembali dari kota kelahirannya. Mengapa ia tak mau berbicara padaku, apalagi memanjakan aku.

Semakin hari ia menjadi orang yang pendiam, seakan ia telah melepas tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Kami hanya berbicara seperlunya saja, aku selalu diintrogasinya. Selalu bertanya aku dari mana dan mengapa pulang terlambat dan ia bertanya dengan nada yg keras. Suamiku telah berubah.
Bahkan yang membuat ku kaget, aku pernah dituduhnya berzina dengan mantan pacarku. Ingin rasanya aku menampar suamiku yang telah menuduhku serendah itu, tapi aku selalu ingat.. sebagaimana pun salahnya seorang suami, status suami tetap di atas para istri, itu pedoman yang aku pegang.

Aku hanya berdo’a semoga suamiku sadar akan prilakunya.


Dua tahun berlalu, suamiku tak kunjung berubah juga. Aku menangis setiap malam, lelah menanti seperti ini, kami seperti orang asing yang baru saja berkenalan,kemesraan yang kami ciptakan dulu telah sirna. Walaupun kondisinya tetap seperti itu, aku tetap merawatnya & menyiakan segala yang ia perlukan. Penyakitkupun masih aku simpan dengan baik dan sekalipun ia tak pernah bertanya perihal obat apa yang aku minum. Kebahagiaan ku telah sirna, harapan menjadi ibu pun telah aku pendam. Aku tak tahu kapan ini semua akan berakhir.

Bersyukurlah.. aku punya penghasilan sendiri dari aktifitasku sebagai seorang guru ngaji, jadi aku tak perlu meminta uang padanya hanya untuk pengobatan kankerku. Aku pun hanya berobat semampuku.
Sungguh.. suami yang dulu aku puja dan aku banggakan, sekarang telah menjadi orang asing bagiku, setiap aku bertanya ia selalu menyuruhku untuk berpikir sendiri. Tiba-tiba saja malam itu setelah makan malam usai, suamiku memanggilku.

“Ya, ada apa pa!” sahutku dengan memanggil nama kesayangannya “papa”.

“Lusa kita siap-siap ke Sabang ya.” Jawabnya tegas.

“Ada apa? Mengapa?”, sahutku penuh dengan keheranan.


Astaghfirullah.. suami ku yang dulu lembut tiba-tiba saja menjadi kasar, dia membentakku. Sehingga tak ada lagi kelanjutan diskusi antara kami.


Dia mengatakan ”Kau ikut saja jangan banyak tanya!!”
Lalu aku pun bersegera mengemasi barang-barang yang akan dibawa ke Sabang sambil menangis, sedih karena suamiku kini tak ku kenal lagi.


Dua tahun pacaran, lima tahun kami menikah dan sudah 2 tahun pula ia menjadi orang asing buatku. Ku lihat kamar kami yg dulu hangat penuh cinta yang dihiasi foto pernikahan kami, sekarang menjadi dingin.. sangat dingin dari batu es. Aku menangis dengan kebingungan ini. Ingin rasanya aku berontak berteriak, tapi aku tak bisa.

Suamiku tak suka dengan wanita yang kasar, ngomong dengan nada tinggi, suka membanting barang-barang. Dia bilang perbuatan itu menunjukkan sikap ketidakhormatan kepadanya. Aku hanya bisa bersabar menantinya bicara dan sabar mengobati penyakitku ini, dalam kesendirianku..
Kami telah sampai di Sabang, aku masih merasa lelah karena semalaman aku tidak tidur karena terus berpikir. Keluarga besarnya juga telah berkumpul disana, termasuk ibu & adik-adiknya. Aku tidak tahu ada acara apa ini..

Aku dan suamiku pun masuk ke kamar kami. Suamiku tak betah didalam kamar tua itu, ia pun langsung keluar bergabung dengan keluarga besarnya.baru saja aku membongkar koper kami dan ingin memasukkannya ke dalam lemari tua yg berada di dekat pintu kamar, lemari tua yang telah ada sebelum suamiku lahir tiba-tiba Tante Lia, tante yang sangat baik padaku memanggil ku untuk bersegera berkumpul diruang tengah, aku pun menuju ke ruang keluarga yang berada ditengah rumah besar itu, yang tampak seperti rumah zaman peninggalan belanda.

Kemudian aku duduk disamping suamiku, dan suamiku menunduk penuh dengan kebisuan, aku tak berani bertanya padanya.

Tiba-tiba saja neneknya, orang yang dianggap paling tua dan paling berhak atas semuanya, membuka pembicaraan.

“Baiklah, karena kalian telah berkumpul, nenek ingin bicara dengan kau Vindra”. Neneknya berbicara sangat tegas, dengan sorot mata yang tajam.

”Ada apa ya Nek?” sahutku dengan penuh tanya..

Nenek pun menjawab, “Kau telah bergabung dengan keluarga kami hampir 8 tahun, sampai saat ini kami tak melihat tanda-tanda kehamilan yang sempurna sebab selama ini kau selalu keguguran!!“.

Aku menangis.. untuk inikah aku diundang kemari? Untuk dihina ataukah dipisahkan dengan suamiku?
“Sebenarnya kami sudah punya calon untuk Fikri, dari dulu.. sebelum kau menikah dengannya. Tapi Fikri anak yang keras kepala, tak mau di atur,dan akhirnya menikahlah ia dengan kau.” Neneknya berbicara sangat lantang, mungkin logat orang Sabang seperti itu semua.

Aku hanya bisa tersenyum dan melihat wajah suamiku yang kosong matanya.

“Dan aku dengar dari ibu mertuamu kau pun sudah berkenalan dengannya”, neneknya masih melanjutkan pembicaraan itu.

Sedangkan suamiku hanya terdiam saja, tapi aku lihat air matanya. Ingin aku peluk suamiku agar ia kuat dengan semua ini, tapi aku tak punya keberanian itu.


Neneknya masih saja berbicara panjang lebar dan yang terakhir dari ucapannya dengan mimik wajah yang sangat menantang kemudian berkata, “kau maunya gimana? kau dimadu atau diceraikan?“
MasyaAllah.. kuatkan hati ini.. aku ingin jatuh pingsan. Hati ini seakan remuk mendengarnya, hancur hatiku. Mengapa keluarganya bersikap seperti ini terhadapku..

Aku selalu munutupi masalah ini dari kedua orang tuaku yang tinggal di pulau
kayu, mereka mengira aku sangat bahagia 2 tahun belakangan ini.


“Vin, jawab!.” Dengan tegas Ibunya langsung memintaku untuk menjawab.

Aku langsung memegang tangan suamiku. Dengan tangan yang dingin dan gemetar aku menjawab dengan tegas.

”Walaupun aku tidak bisa berdiskusi dulu dengan imamku, tapi aku dapat berdiskusi dengannya melalui bathiniah, untuk kebaikan dan masa depan keluarga ini, aku akan menyambut baik seorang wanita baru dirumah kami.”

Itu yang aku jawab, dengan kata lain aku rela cintaku dibagi. Dan pada saat itu juga suamiku memandangku dengan tetesan air mata, tapi air mataku tak sedikit pun menetes di hadapan mereka.
Aku lalu bertanya kepada suamiku, “papa siapakah yang akan menjadi sahabatku dirumah kita nanti, pa?”
Suamiku menjawab, ”Dia Desi!”

Aku pun langsung menarik napas dan langsung berbicara, ”Kapan pernikahannya berlangsung? Apa yang harus saya siapkan dalam pernikahan ini Nek?.”

Ayah mertuaku menjawab, “Pernikahannya 2 minggu lagi.”


”Baiklah kalo begitu saya akan menelpon pembantu di rumah, untuk menyuruhnya mengurus KK kami ke kelurahan besok”, setelah berbicara seperti itu aku permisi untuk pamit ke kamar.

Tak tahan lagi.. air mata ini akan turun, aku berjalan sangat cepat, aku buka pintu kamar dan aku langsung duduk di tempat tidur. Ingin berteriak, tapi aku sendiri disini. Tak kuat rasanya menerima hal ini, cintaku telah dibagi, Sakit. Diiringi akutnya penyakitku..

Apakah karena ini suamiku menjadi orang yang asing selama 2 tahun belakangan ini?

Aku berjalan menuju ke meja rias, kubuka jilbabku, aku bercermin sambil bertanya-tanya, “sudah tidak cantikkah aku ini?“

Ku ambil sisirku, aku menyisiri rambutku yang setiap hari rontok. Kulihat wajahku, ternyata aku memang sudah tidak cantik lagi, rambutku sudah hampir habis.. kepalaku sudah botak dibagian tengahnya.
Tiba-tiba pintu kamar ini terbuka, ternyata suamiku yang datang, ia berdiri dibelakangku. Tak kuhapus air mata ini, aku bersegera memandangnya dari cermin meja rias itu.

Kami diam sejenak, lalu aku mulai pembicaraan, “terima kasih papa, kamu memberi sahabat kepada ku. Jadi aku tak perlu sedih lagi saat ditinggal pergi kamu nanti! Iya kan?.”
Suamiku mengangguk sambil melihat kepalaku tapi tak sedikitpun ia tersenyum dan bertanya kenapa rambutku rontok, dia hanya mengatakan jangan salah memakai shampo.

Dalam hatiku bertanya, “mengapa ia sangat cuek?” dan ia sudah tak memanjakanku lagi. Lalu dia berkata, 


“sudah malam, kita istirahat yuk!“


“Aku sholat isya dulu baru aku tidur”, jawabku tenang.


Dalam sholat dan dalam tidur aku menangis. Ku hitung mundur waktu, kapan aku akan berbagi suami dengannya. Aku pun ikut sibuk mengurusi pernikahan suamiku ,aku tak tahu kalau Desi orang Sabang juga. Sudahlah, ini mungkin takdirku. Aku ingin suamiku kembali seperti dulu, yang sangat memanjakan aku atas rasa sayang dan cintanya itu.

Malam sebelum hari pernikahan suamiku, aku menulis curahan hatiku di laptopku.

Di laptop aku menulis saat-saat terakhirku melihat suamiku, aku marah pada suamiku yang telah menelantarkanku. Aku menangis melihat suamiku yang sedang tidur pulas, apa salahku? sampai ia berlaku sekejam itu kepadaku.

Aku save di mydocument yang bertitle Aku Mencintaimu Suamiku.

Hari pernikahan telah tiba, aku telah siap, tapi aku tak sanggup untuk keluar. Aku berdiri didekat jendela, aku melihat matahari, karena mungkin saja aku takkan bisa melihat sinarnya lagi. Aku berdiri sangat lama.. lalu suamiku yang telah siap dengan pakaian pengantinnya masuk dan berbicara padaku.


“Apakah kamu sudah siap?”


Kuhapus airmata yang menetes diwajahku sambil berkata :

“Nanti jika ia telah sah jadi istrimu, ketika kamu membawa ia masuk kedalam rumah ini, cucilah kakinya sebagaimana kamu mencuci kakiku dulu, lalu ketika kalian masuk ke dalam kamar pengantin bacakan do’a di ubun-ubunnya sebagaimana yang kamu lakukan padaku dulu. Lalu setelah itu..”, perkataanku terhenti karena tak sanggup aku meneruskan pembicaraan itu, aku ingin menagis meledak.


Tiba-tiba suamiku menjawab “Lalu apa Bunda?”
Aku kaget mendengar kata itu, yang tadinya aku menunduk seketika aku langsung menatapnya dengan mata yang berbinar-binar…


“Bisa papa ulangi apa yang papa ucapkan barusan?”, pintaku tuk menyakini bahwa kuping ini tidak salah mendengar,dia mengangguk dan berkata, ”Baik bunda akan papa ulangi, lalu apa bunda?”, sambil ia mengelus wajah dan menghapus airmataku, dia agak sedikit membungkuk karena dia sangat tinggi, aku hanya sedadanya saja.

Dia tersenyum sambil berkata, ”Kita liat saja nanti ya!”. Dia memelukku dan berkata, “bunda adalah wanita yang paling kuat yang papa temui selain mama”.

Kemudian ia mencium keningku, aku langsung memeluknya erat dan berkata, “papa, apakah ini akan segera berakhir? papa kemana saja? Mengapa papa berubah? Aku kangen sama papa? Aku kangen belaian kasih sayang papa? Aku kangen dengan manjanya papa? Aku kesepian papa? Dan satu hal lagi yang harus papa tau, bahwa aku tidak pernah berzina! Dulu.. waktu awal kita pacaran, aku memang belum bisa melupakannya, setelah 4 bulan bersama papa baru bisa aku terima, jika yang dihadapanku itu adalah lelaki yang aku cari.


Bukan berarti aku pernah berzina papa.” Aku langsung bersujud di kakinya dan muncium kaki imamku sambil berkata, ”Aku minta maaf papa, telah membuatmu susah”.Saat itu juga, diangkatnya badanku.. ia hanya menangis,Ia memelukku sangat lama, 2 tahun aku menanti dirinya kembali. Tiba-tiba perutku sakit, ia menyadari bahwa ada yang tidak beres denganku dan ia bertanya, ”bunda baik-baik saja kan?” tanyanya dengan penuh khawatir.

Aku pun menjawab, “bisa memeluk dan melihat papa kembali seperti dulu itu sudah mebuatku baik, Yah. Aku hanya tak bisa bicara sekarang“. Karena dia akan menikah. Aku tak mau membuat dia khawatir. Dia harus khusyu menjalani acara prosesi akad nikah tersebut.

Setelah tiba dimasjid, ijab-qabul pun dimulai. Aku duduk diseberang suamiku.
Aku melihat suamiku duduk berdampingan dengan perempuan itu, membuat hati ini cemburu, ingin berteriak mengatakan, “papa jangan...!!”, tapi aku ingat akan kondisiku,Jantung ini berdebar kencang saat mendengar ijab-qabul tersebut. Begitu ijab-qabul selesai, aku menarik napas panjang. Tante Lia, tante yang baik itu, memelukku. Dalam hati aku berusaha untuk menguatkan hati ini. Ya… aku kuat.

Tak sanggup aku melihat mereka duduk bersanding dipelaminan. Orang-orang yang hadir di acara resepsi itu iba melihatku, mereka melihatku dengan tatapan sangat aneh, mungkin melihat wajahku yang selalu tersenyum, tapi dibalik itu.. hatiku menangis.

Sampai dirumah, suamiku langsung masuk ke dalam rumah begitu saja. Tak mencuci kakinya desi. Aku sangat heran dengan perilakunya. Apa iya, dia tidak suka dengan pernikahan ini?Sementara itu Desi disambut hangat di dalam keluarga suamiku, tak seperti aku dahulu, yang di musuhi.

Malam ini aku tak bisa tidur, bagaimana bisa? Suamiku akan tidur dengan perempuan yang sangat aku cemburui.

Aku tak tahu apa yang sedang mereka lakukan didalam sana.

Sepertiga malam pada saat aku ingin sholat lail aku keluar untuk berwudhu, lalu aku melihat ada lelaki yang mirip suamiku tidur disofa ruang tengah. Kudekati lalu kulihat. Masya Allah.. suamiku tak tidur dengan wanita itu, ia ternyata tidur disofa, aku duduk disofa itu sambil menghelus wajahnya yang lelah, tiba-tiba ia memegang tangan kiriku, tentu saja aku kaget.

“bunda datang ke sini, papa pun tahu”, ia berkata seperti itu. Aku tersenyum dan megajaknya sholat lail. Setelah sholat lail ia berkata, “maafkan papa, papa tak boleh menyakiti bunda, bunda menderita karena ego nya papa. Besok kita pulang ke Jakarta, biar Desi pulang dengan mama, papa dan juga adik-adik papa”

Aku menatapnya dengan penuh keheranan.


Tapi ia langsung mengajakku untuk istirahat. Saat tidur ia memelukku sangat erat. Aku tersenyum saja, sudah lama ini tidak terjadi. Ya Allah.. apakah Engkau akan menyuruh malaikat maut untuk mengambil nyawaku sekarang ini, karena aku telah merasakan kehadirannya saat ini. Tapi.. masih bisakah engkau ijinkan aku untuk merasakan kehangatan dari suamiku yang telah hilang selama 2 tahun ini..


Suamiku berbisik, “Bunda kok kurus?”

Aku menangis dalam kebisuan. Pelukannya masih bisa aku rasakan.

Aku pun berkata, “papa kenapa tidak tidur dengan Desi?”

”Aku kangen sama kamu Bunda, aku tak mau menyakitimu lagi. Kamu sudah sering terluka oleh sikapku yang egois.” Dengan lembut suamiku menjawab seperti itu.

Lalu suamiku berkata, ”Bun, papa minta maaf telah menelantarkan bunda.. Selama papa di Sabang, papa dengar kalau bunda tidak tulus mencintai papa, bunda seperti mengejar sesuatu, seperti mengejar harta papa dan satu lagi.. papa pernah melihat sms bunda dengan mantan pacar bunda dimana isinya kalau bunda gak mau berbuat “seperti itu” dan tulisan seperti itu diberi tanda kutip (“seperti itu”).

papa ingin ngomong tapi takut bunda tersinggung dan papa berpikir kalau bunda pernah tidur dengannya sebelum bunda bertemu papa, terus papa dimarahi oleh keluarga papa karena papa terlalu memanjakan bunda”

Hati ini sakit ketika difitnah oleh suamiku, ketika tidak ada kepercayaan di dirinya, hanya karena omongan keluarganya yang tidak pernah melihat betapa tulusnya aku mencintai pasangan seumur hidupku ini.

Aku hanya menjawab, “Aku sudah ceritakan itu kan pa. Aku tidak pernah berzinah dan aku mencintaimu setulus hatiku, jika aku hanya mengejar hartamu, mengapa aku memilih kamu? Padahal banyak lelaki yang lebih mapan darimu waktu itu pa. Jika aku hanya mengejar hartamu, aku tak mungkin setiap hari menangis karena menderita mencintaimu.“

Entah aku harus bahagia atau aku harus sedih karena sahabatku sendirian dikamar pengantin itu. Malam itu, aku menyelesaikan masalahku dengan suamiku dan berusaha memaafkannya beserta sikap keluarganya juga.
Karena aku tak mau mati dalam hati yang penuh dengan rasa benci.


Keesokan harinya…

Ketika aku ingin terbangun untuk mengambil wudhu, kepalaku pusing, rahimku sakit sekali.. aku mengalami pendarahan dan suamiku kaget bukan main, ia langsung menggendongku.
Aku pun dilarikan ke rumah sakit..


Dari kejauhan aku mendengar suara zikir suamiku..aku merasakan tanganku basah..
Ketika kubuka mata ini, kulihat wajah suamiku penuh dengan rasa kekhawatiran.
Ia menggenggam tanganku dengan erat.. Dan mengatakan, ”Bunda, papa minta maaf…”
Berkali-kali ia mengucapkan hal itu.


Dalam hatiku, apa ia tahu apa yang terjadi padaku?
Aku berkata dengan suara yang lirih, ”pa, bunda ingin pulang.. bunda ingin bertemu kedua orang tua bunda, anterin bunda kesana ya, pa..”


“papa jangan berubah lagi ya! Janji ya, pa… !!! Bunda sayang banget sama papa.”
Tiba-tiba saja kakiku sakit sangat sakit, sakitnya semakin keatas, kakiku sudah tak bisa bergerak lagi.. aku tak kuat lagi memegang tangan suamiku. Kulihat wajahnya yang tampan, berlinang air mata.
Sebelum mata ini tertutup, kulafazkan kalimat syahadat dan ditutup dengan kalimat tahlil.


Aku bahagia melihat suamiku punya pengganti diriku..aku bahagia selalu melayaninya dalam suka dan duka..
Menemaninya dalam ketika ia mengalami kesulitan dari kami pacaran sampai kami menikah.
Aku bahagia bersuamikan dia.


Dia adalah nafasku,....untuk Ibu mertuaku :

“Maafkan aku telah hadir didalam kehidupan anakmu sampai aku hidup didalam hati anakmu, ketahuilah Ma.. dari dulu aku selalu berdo’a agar Mama merestui hubungan kami. Mengapa engkau fitnah diriku didepan suamiku, apa engkau punya buktinya Ma? Mengapa engkau sangat cemburu padaku Ma? Fikri tetap milikmu Ma, aku tak pernah menyuruhnya untuk durhaka kepadamu, dari dulu aku selalu mengerti apa yang kamu inginkan dari anakmu, tapi mengapa kau benci diriku. Dengan Desi kau sangat baik tetapi denganku menantumu kau bersikap sebaliknya.”


Setelah ku buka laptop, kubaca curhatan istriku.


papa, mengapa keluargamu sangat membenciku?
Aku dihina oleh mereka papa.
Mengapa mereka bisa baik terhadapku pada saat ada dirimu?
Pernah suatu ketika aku bertemu Dian di jalan, aku menegurnya karena dia adik iparku tapi aku disambut dengan wajah ketidaksukaannya. Sangat terlihat papa..
Tapi ketika engkau bersamaku, Dian sangat baik, sangat manis dan ia memanggilku dengan panggilan yang sangat menghormatiku. Mengapa seperti itu papa?Aku tak bisa berbicara tentang ini padamu, karena aku tahu kamu pasti membela adikmu, tak ada gunanya  pa..
Aku diusir dari rumah sakit.
Aku tak boleh merawat suamiku.
Aku cemburu pada Desi yang sangat akrab dengan mertuaku,Tiap hari ia datang ke rumah sakit bersama mertuaku.
Aku sangat marah..
Jika aku membicarakan hal ini pada suamiku, ia akan pasti membela Desi dan
ibunya..
Aku tak mau sakit hati lagi.
Ya Allah kuatkan aku, maafkan aku..
Engkau Maha Adil..
Berilah keadilan ini padaku, Ya Allah..
Papa  sudah berubah, papa sudah tak sayang lagi pada ku..
Aku berusaha untuk mandiri papa, aku tak akan bermanja-manja lagi padamu..
Aku kuat papa dalam kesakitan ini..
Lihatlah papa, aku kuat walaupun penyakit kanker ini terus menyerangku..
Aku bisa melakukan ini semua sendiri papa..
Besok suamiku akan menikah dengan perempuan itu.
Perempuan yang aku benci, yang aku cemburui.
Tapi aku tak boleh egois, ini untuk kebahagian keluarga suamiku.
Aku harus sadar diri.
papa, sebenarnya aku tak mau diduakan olehmu.
Mengapa harus Desi yang menjadi sahabatku?
papa.. aku masih tak rela.
Tapi aku harus ikhlas menerimanya.
Pagi nanti suamiku melangsungkan pernikahan keduanya.
Semoga saja aku masih punya waktu untuk melihatnya tersenyum untukku.
Aku ingin sekali merasakan kasih sayangnya yang terakhir. Sebelum ajal ini menjemputku.papa.. aku kangen papa..




Dan kini aku telah membawamu ke orang tuamu, Bunda..
Aku akan mengunjungimu sebulan sekali bersama Desi di Pulau Kayu ini.
Aku akan selalu membawakanmu bunga mawar yang berwana pink yang mencerminkan keceriaan hatimu yang sakit tertusuk duri.

Bunda tetap cantik, selalu tersenyum disaat tidur,bunda akan selalu hidup dihati papa.
Bunda.. Desi tak sepertimu, yang tidak pernah marah..
Desi sangat berbeda denganmu, ia tak pernah membersihkan telingaku, rambutku tak pernah di creambathnya, kakiku pun tak pernah dicucinya.

papa menyesal telah menelantarkanmu selama 2 tahun, kamu sakit pun aku tak perduli, hidup dalam kesendirianmu..seandainya papa tak menelantarkan Bunda, mungkin papa masih bisa tidur dengan belaian tangan Bunda yang halus.


Sekarang papa sadar, bahwa papa sangat membutuhkan bunda..


Bunda, kamu wanita yang paling tegar yang pernah kutemui.


Aku menyesal telah asik dalam ke-egoanku..



Bunda.. maafkan aku.. Bunda tidur tetap manis. Senyum manjamu terlihat di tidurmu yang panjang.
Maafkan aku, tak bisa bersikap adil dan membahagiakanmu, aku selalu meng-iyakan apa kata ibuku, karena aku takut menjadi anak durhaka.

Maafkan aku ketika kau di fitnah oleh keluargaku, aku percaya begitu saja.
Apakah Bunda akan mendapat pengganti ayah di surga sana?apakah Bunda tetap menanti papa disana? Tetap setia dialam sana tunggulah papa disana Bunda bisakan? Seperti Bunda menunggu papa di sini.. Aku mohon..

papa Sayang Bunda..

Maaf untuk nama, penulis punya inisiatif untuk "menyamarkan " akan tetapi tidak mengurangi isi dari cerita di atas semoga kita bisa mengambil pelajaran dari cerita di atas,..bagaimana menurut para guys dengan inti dari cerita ini,apakah anda mendukung  dengan sikap Vindra ??..bagaimana dengan sikap Fikri sebagai seorang suami ?? dan apakah di benarkan sikap orang tua fikri seperti itu ????..apa yang bisa para guys ambil dari panjangnya cerita di atas silahkan di renungkan dan di pilah,SALAM SANTUN

Gendhis savindra. Diberdayakan oleh Blogger.