Malam terakhir ayah
dalam pandanganku adalah cerita konflik ,
karena dala hidup ini pasti di barengi dengan sifat Iri ,dengki ,ambisi ,itu sudah menjadi NAS
manusia ,sejak manusia terlahir di dunia ini ,konflik sepertinya sudah
lazim antar keluarga anak sama orang tua
,tetangga sama tetangga ,antar kampung ,bahkan kita tentu tak akan bisa lupa
agresi militer belanda dan jepang dan itu tercatat dalam sejarah nasional.
Konflik adalah masalah klasik banyak hal yang bisa memimbulkan suatu peristiwa ini.apalagi masa dewasa ini,di sini indonesia sudah banyak peristiwa konflik sampai membawa nyawa melayang contoh mesuji , konflik ambon ,sampit di kalimantan,institusi TNI vs POLRI dan sekarang lagi panas panasnya POLRI vs KPK
Krisis kepercayaan dan saling curiga seperti api memanaskan air di atas tungku rasa sensi yang overdosis dan banyak muatan politik kepentingan sudah seperti lada di campur cabe ,tuuu kan mbahas eaa sudah kemana mana ..udah capek bacanya yaa..padahal belum sampai pada nti ceritanya loooch ...mbosenin yaaa.. ya udah g usah di baca aj ceritanya ...Tuuuu kan katanya mbosenin tapi masih di baca juga ..
yaa udah aku anjutin niich tulisan .. di bilangin mbosenin g percayaa..ok come mulai ceritanya...takutnya bosen trus yang baca pada nangiss... capek baca ..hahahhaa..REAAADDDYYYY...
Takbir Bergema. batang–batang pohon dan dedaunan menari-nari riang dilangit yang masih terlihat gelap pekat. ramadan benar benar usai. Riuh suara takbir bergema di sekitar surau dan madrasah. Tempat para anak kecil melangkah gontai, riang mambawa mushaf Al Qur’an.
Beberapa anak
berlari-lari riang di jalan setapak, telanjang kaki. bermain kejar-kejaran
dibawah sinar gemintang. Sambil menyalakan batang kembang api. Mereka
menari-nari bak ilalang musim semi. Maklum suasana lebaran masin terasa. Masih
berlalu enam hari yang lalu. Besok adalah lebaran tujuh hari. Lebaran yang tak
mungkin aku lupa kan sampai kapanpun. Bahkan mungkin untuk selamanya.
Lebaran tujuh
hari kita kemana yach ?’’ tanya ku menggema. Sambil menatap mata teduh ayah.
Ayah memandangku lekat, ia tak mengatakan apa-apa. Mulutnya diam rapat. ’’kan
sayang ! kalo Cuma dirumah, satu tahun Cuma adanya satu kali’’ tanya ku mencoba
menjangkau alam fikiran bawah sadar ayah.
Ayah yang termangu duduk disampingku, usahaku berhasil. Ia kini balik menatapku dengan tatapan yang belum pernah aku temukan pijar disana. Menatap dengan sendu yang belum pernah aku cari dimana cahaya itu bersumber. Aku mencoba menjangkau, aku tahu mata itu tengah memikul sebuah bara. Aku lihat jelas disana, sungguh ada ! ’’Rembulan bersembunyi dimata ayah’’....
Ayah yang termangu duduk disampingku, usahaku berhasil. Ia kini balik menatapku dengan tatapan yang belum pernah aku temukan pijar disana. Menatap dengan sendu yang belum pernah aku cari dimana cahaya itu bersumber. Aku mencoba menjangkau, aku tahu mata itu tengah memikul sebuah bara. Aku lihat jelas disana, sungguh ada ! ’’Rembulan bersembunyi dimata ayah’’....
Liburan ?”
tanya ayah sambil menatapku. Aku hanya termangu mendengar pertanyaan yang tadi
kulontarkan pada ayah. ’’kau sudah tahu Rul, !’’ ayah menyiratkan pernyataan
yang tak aku mengerti. ’’maksud ayah ?’’ aku memutar kembali otakku mencari
tahu apa yang tadi ayah maksudkan. ’’keluarga kita !’’ ayah menatapku. Lamat.
Aku merasakan tatapan itu menyudut. Rembulan dimata ayah mengering. Diam, hal
yang hanya dapat aku lakukan saat aku tak tahu apa yang ada dalam pikran ayah
saat ini.
Ini yang membuatku makin lemah, saat dimana ayah menyinggung masalah keluarga yang selalu menjadi beban bagi ayah. Masalah yang sudah terjadi jauh sebelum aku lahir. ’’sudah bunuh saja dia, tak punya etika. Apa mau kamu?’’ Ucap paman sambil menyulutkan sebuah parang yang mengkilap. Seperti mata kuda. ’’jadi apa maukamu, ujar kerabat yang lain, aku disini punya wewenang bebas, tahu apa kamu soal kampung ini.
Kamu itu hanya anak kemarin sore, kencing saja masih dicelana.’’ Ujar kerabat ynag lain, ia mbah saudara ayah. ’’maksudnya bukan begitu, ini sudah jadi wewenangku sebagai kepala desa, kamu jangan ikut campur’’ ucap paman makin beringas. ’’tak peduli, aku yang akan mengurus aliran listrik didesa ini’’ yang lain berontak. ’’pyaasss...!!!’’ sebuah pukulan mendarat dikening paman, ia terjatuh, luka menyabit dikeningnya, darah terlihat segar. ’’kau berani?’’ sambil mempertahankan keseimbangannya. Ia memgmbil kembali parang yang tadi terjatuh.
Dan menggibaskannya keangkasa. Batang belukar terpotong, tercabik. Suasana tampak gaduh, sorot mata beberapa orang merah membara. Sebelum kemudian ayah yang melerai. Mata bening ayah meredah kemarahan mereka. Saat ayah masih muda. ’’tak sayang kah kalian pada anak anak kalian?’’ bibir yah terkatup katup. Setidaknya itulah yang sering ayah ceritakan padaku, berulang kali, masalah yang panjang hingga berbuntut pada perpecahan keluarga.
Pernah satu
kali ayah mau dibunuh karena ikut campur, bukan lagi masalah aliran listrik.
Tanah warisan yang menjadi rebutan, kalau tak juga mengalah, pastilah nyawa
sudah terpotong. sampai saat ini. aku tak mengerti banyak, namun inilah yang
terjadi. Munkin keluarga kami akan pernah jika saja saudara-saudara ayah tak
mengalah. entahlah, sampai kapan? bara itu kan berhenti menyulutkan api....
lebih baik kamu
dirumah rul, ayah tahu ! tapi cobalah kamu ingat, kalau bukan kita yang terus
menyambung silaturrahmi pada paman marijan dan keluarganya, ayah takut akan
timbul masalah yang dari duku belun juga mereda.’’Arul, mengerti yah’’ ucapku
menggema. ’’ia menatap wajah ayah lekat. Malam masih belum larut.
Rul, bawa ini untuk paman mu. Sampaikan salah ibu pada mereka’’ ucap ibu saat tangannya memberikan bingkisan berupa kue lebaran untuk diantarkan pada kerabat. Sembari memanaskan sepeda motor, ku lihat ayah yang tengah sibuk menyiapkan adonan bakso yang pagi ini akan ia jual. ’’Ayah tak ikutkerumah paman ?’’ ucapku singkat. Sambil menatap ayah yang tampak sibuk. ’’ini kan lebaran?’’ imbuhku lagi. Ayah kemudian menatapku.
Sudah, salam kan saja pada paman mu tadi aku sudah ketemu mereka saat acara selametan di mesjid, terutama paman marijan salam dari ayah, kalau lebaran ini para pembeli makin bayak, maklum masih ada sisa ketupat kemarin. Oh iya ayah juga tak bisa hadir dislametan rumah haji Ahmad. Kamu saja yang sempatkan hadir kesana. Ucap ayah sambil meneruskan pekerjaannya. Kustater sepeda motor. Segera berangkat ke rumah paman. Saat ayah masih sibuk menyelesaikan pekerjaannya.
Ku berhentiakn laju sepeda motor tepat di depan rumah muji, sahabatku. Muji adalah anak dari paman Marijan. aku berteman dengannya semenjak aku kecil. Terlebih disaat aku tahu hubungan yang tak baik antara orang tuaku dengan paman marijan. Aku mencoba menjalin hubungan yang baik dengan Muji. karena ia sudah aku anggap dengan saudaraku sendiri.
Aku memberikan bingkisan yang baru saja ibu titipkan padaku. ’’oh iya paman Marijan mana ?’’ tanya ku pada Muji. ’’och.. tadi ayah baru saja berangkat keacara slametan. memang kenapa ?’’tanyanya kemudian. ’’tak ada apa-apa, ayah baru saja nitip salam’’ ucapku singkat.
Matahari bergerak lambat, kepusar langit. Panas makin menjadi, entah kenapa perasaan ku tak enak. seperti ada sesuatu yang menyiratkan padaku akan terjadi sesuatu yang aku tak tahu pasti. Kualihkan pandangan ku keluar.. kulihat paman Marijan telah datang. Aku menghampirinya cepat. segara ku cium tangannya seraya menyampaikan salam yang sempat ayah sampaikan sebelum kau berangkat. Nampak wajah paman saat itu lesu, tatapannya tak seperti biasanya. tanpa mengatakan sesutu padaku ia masuk kedalam rumah.
Ya alloh ini kah perasaan tak enak yang baru saja menyerang tubuhku.’’ ucapku dalam hati. kutatap wajah sahabatku Muji tak menyiratkan sebuah reaksi. Ia memberi isyarat kepadaku agar maklum, mungkin itu yang ia maksudkan. ’’Halo ! bagaimana? sudah kau siapkan semuanya. Suara paman Marijan serak terdengar dari dalam rumah. Menelpon seseorang ’’pokoknya saat ini kita akhiri saja semuanya, aku sudah muak. Kau tahu, kades sialan itu telah
Mempermalukan aku depan orang banyak, tadi aku disrempetnya dengan mobil yang ia bawa, aku ingin menuntut balas, kalian laksanakan saja tugas kalian masing masing. Aku yang akan menanggung semuanya.’’ Suara itu menggema, paman Marijan pun mengakhiri percakapan nya dalam telephone tersebut. Ia segera keluar dengan membawa sebuah parang. Aku melihatnya dengan gelagat yang tak beres. Mata yang saat itu ia siratkan ada kebencian. Aku tahu sesuatu akan segera terjadi, entah apa aku tak tahu. Segera pula ku beranjak menstater motor dan meninggalkan rumah paman.
Aku berlari masuk kedalam rumah, mencari sesosok itu dalam setiap sudut. ’’kemana ayah ?’’ tanya ku pada ibu setelah aku tatap ayah tak besama gerobak bakso jualannya. ’’Kemana dia ?’’ tanya ku dalam hati lagi. Yang ku dapatkan hanya bayangan ibu. ’’ayahmu rul tadi ia pergi ! ibu sudah melarangnya untuk pergi tap ia tetap memaksa, ia membawa parangnya.’’
Ucap ibu dengan suara isak nya ynag mengiris hati. ’’Deeeggg !!’’ jantungku seakan berhenti berdetak, ’’apa yang akan terjadi?’’ pikiran ku melayang jauh. Tatapan ku kosong, perasaanku tak enak. Ayah pergi. Apa mungkin ini ada hubungannya dengan paman? Batinku bergejolak ’’tadi pak kades telpon ayah mu katanya dia dalam masalah. Mobilnya mogok ditengah jalan seberang jembatan desa’’ ucap ibu, nafasnya tertahan. nafasku juga terisak. tiba-tiba aku teringat akan tatapan ayah saat aku berangkat. ya Allloh, apa yang kan terjadi ...
Segera ku ambil air whudu, bergegas sholat dua rokaat, perasaan ku gusar, aku merindukan sebuah ketenangan, satu-satunya yang ada dibenakku adalah bayangan ayah saat ia menatapku malam itu. ’’kau harus jaga saudara-saudara mu Rul, kalian harus rukun, kalo sudah balik pondok jangan macem-macem sekolah yang benar, berbakti pada guru, dan jagan suka boros, kasihan ibumu, kasihan ja sendirian...’’ Ia sempat berucap malam itu. Sambil air mata nya menetes.aku tak tahu harus bagaiana...
Suara lolongan penduduk bergemuruh, seperti hantu yang turun siang bolong dari lagit. Ada pertengkaran besar. Semua nampak sibuk berlari, menuju termpat kerusuhan, ku langkahkan kaki cepat ketempat kejadian, yang ada dibenak ku hanya ayah.. ayah, moga tak terjadi apa-apa dengan mu !....
harap ku dalam
hati ...
Hari itu aku merasakan sunyi dalam keramaian. Ayah terbaring kaku. Aku tak yakin itu benar benar ayah ku, darah mengalir tak henti. Aku menatapnya dengan hati pilu, tatapan matanya beku, sinar yang biasa tersirat dalam kelopak mata nya kini tlah menghilang, ia telah tiada.
Dadaku sesak aku masih tak percaya. Malam itu adalah malam terakhir diamana kau menemukan rembulan bertengger dimatanya.
Konflik “berasal dari kata kerja latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.
Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.