Tampilkan postingan dengan label SUFI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SUFI. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 11 Oktober 2014

on 1 comment

MEREDAM GELISAH HATI

   Dalam hidup pastinya kita sering di dera masalah kadang bertubi tubi
jikalau kita tak bisa menghadapinya pasti akan sangat merugi dan untuk saat ini gendhis menyadur beberapa langkah/cara menyiasati bagai mana cara menghilangkan rasa gelisah untuk mencapai ketenangan batin
''come''

1. Pertama, memiliki ilmu yang benar.
2. Kedua, kita harus yakin kepada Allah Swt.
3. Ketiga, kuasai diri dengan sebaik-baiknya.
4. Keempat, sempurnakan ikhtiar untuk mendapatkan pertolongan-Nya.

   Mengapa kebanyakan dari kita mendefinisikan masalah berupa kesenjangan antara harapan dengan kenyataan yang terjadi. LEBIH dari itu, harusnya dalam hidup seorang mukmin segala apa yang terjadi dalam kehidupan ini diposisikan semata-mata atas kehendak-Ny

Di mana pun dan kapan pun kita hidup, masalah dan tantangan akan selalu datang menjemput. Hidup adalah inheren, sekaligus identik, dengan masalah dari tantangan itu sendiri. Kalau kita menghadapinya dengan hati tegar dan ikhlas, semua masalah itu akan sirna. Kalau kita tertelikung dengan masalah, sesungguhnya bukan masalah itu sendiri sebagai masalah.

Yang menjadi masalah adalah cara kita sendiri yang salah dalam menghadapi masalah. (Maman Manhuri; 1997). Bagi sebagian orang kegelisahan hati itu muncul didasari oleh perilaku kita yang belum sampai ke tingkat yakin akan sangat dekatnya pertolongan Allah. Artinya segala persoalan dan kesulitan yang ada dan menimpa kita –sekecil apapun—justru seringkali membuahkan rasa cemas dan gudah gulana yang membuat gelisah hatinya.

Kondisi hati yang gelisah akan berdampak pada persepsi menyikapi hari demi hari hidupnya dengan aneka keluh kesah, amarah, dan perilaku yang serba salah. Lebih jauh kondisi ini menyebabkan hidup terasa sumpek, mumet, rumit, dan membuat sakit kepala menghinggapi kita.

Kesannya, segala yang tersaji di hadapan kita, terasa semakin membebani hati dan pikirannya. Pentingnya Meredam Gelisah Hati. Keberadaan masalah dalam hidup adalah sesuatu yang wajar. Namun, manakala sikap kita yang tidak tepat dalam menghadapi dan memposisikan masalah tersebut, maka inilah sebenarnya yang menjadi awal munculnya penyakit gelisah hati. Adanya gelisah hati dalam hidup kita, bila tidak hati-hati tentu tidak jarang akan menjadi jalan yang terbentang bagi terjerumusnya ke jurang maksiat.

Sehingga bukannya diri ini terhindar atau melupakan segala petaka gelisah hati, justru malah menambah berat beban langkah hidupnya. Inilah buah dari salah sikap dan perilaku kita dalam memaknai masalah kegelisahan hati. Untuk itu, sedini mungkin setiap kita sudah seharusnya belajar untuk meredam setiap masalah yang dapat memunculkan gelisah hati. Inilah kunci awal untuk mencapai ketentraman hidup.

Dengan demikian, dalam hidup manusia sangat diperlukan adanya perilaku meredam gelisah hati. Pentingnya meredam gelisah hati ini, tidak lain didasarkan pada kenyataan bahwa perasaan cemas, gelisah, keluh kesah, dan amarah jelas tidak akan mengubah apa pun, malahan justru akan menyengsarakan hati dalam jurang kegelisahan berikutnya.

Dan lebih parah lagi, ia hanya akan membuat dirinya semakin jauh dari pertolongan Allah Naudzubillah. Jadi, alangkah ruginya bagi mereka yang tidak mampu menikmati hidup lantaran terbelenggu gembok-gembok perasaan cemas, khawatir, tegang dan pikiran kalut yang merupakan penyubur hadirnya kegelisahan hati seseorang. Atas dasar itulah, barangkali mengapa Abdullah Gymnastiar, dalam bukunya “Mengatasi Kecemasan” mengungkapkan bahwa rasa cemas, khawatir, tegang, dan pikiran kalut seringkali membuat hidup tertekan dan tidak nikmat. Sungguh rugi orang yang tidak mampu menikmati hidup lantaran terbelenggu perasaan-perasaan ini.

Jika anda tidak mau menjadi ahli stres dan ingin menikmati hidup, maka anda harus mencari jalan keluarnya. Kiat Meredam Gelisah Hati Menghadapi berbagai persoalan hidup dan kehidupan ini, menurut Dr.H.Muslim Nasution (2002) selalu menjadikan batin seseorang gelisah, tak tenang, dan tak tentu arah. Terkadang, yang membuat itu terjadi bukan hanya hal-hal yang bersifat cobaan atau derita, tetapi juga hal-hal yang berbentuk kenikmatan dan kebahagiaan. Artinya apa pun bentuk problematika/kejadian hidup yang terjadi pada kita, mestinya direspon dengan sikap yang tenang dan tentram. Lebih jelasnya, Allah menginformasikan dalam Alquran surat al-Hadiid; 23, yang artinya: “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu…” Di sini masalahnya tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk menggapai sikap terbiasa tenang dan tentram dalam setiap kali menghadapi segala persoalan hidup. Namun demikian, bukan pula berarti menjadi sesuatu hal yang tidak mungkin dicapainya.

Tapi, yang jelas terciptanya sikap jiwa yang senantiasa tenang dan tentram merupakan buah ketekunan dari latihan dan kegigihan menggapainya. Untuk menjadikan jiwa seperti itu, Rasulullah pernah berwasiat kepada seorang sahabatnya, Abu Dzarr al-Ghiffari berikut ini. Abu Dzarr berkata, “Rasulullah berwasiat kepadaku tujuh hal: (1) agar menyayangi orang miskin dan mendekati mereka; (2) melihat orang yang lebih rendah dan lebih susah; (3) jangan melihat orang-orang lebih tinggi (kaya); (4) memelihara silaturahmi sekalipun terhadap orang yang memusuhimu; (5) memperbanyak zikir, mengucapkan ‘Tidak ada kemampuan dan daya kecuali dari Allah Swt’; (6) mengucapkan perkataan yang benar sekalipun terasa pahit; (7) tidak ambil peduli terhadap celaan orang lain asal dalam melakukan yang diperintahkan Allah Swt.” Hal-hal tersebut diterjemahkan Muslim Nasution berupa keharusan menyayangi orang miskin; melihat orang yang di bawah, jangan melihat orang yang di atas; tetap menjaga silaturahmi; banyak mengucapkan “Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah”; mengatakan yang hak (benar) sekalipun pahit; tidak ambil peduli terhadap orang lain asalkan yang kita lakukan benar-benar karena Allah; dan tidak mengemis kepada orang lain. Ketujuh arahan sikap tersebut, bila kita aplikasikan dalam perilaku keseharian, maka dapat menjadi upaya preventif dalam meredam gelisah hati seseorang.

Dan lebih dari itu, kalau kita cermati dari beberapa keterangan sebenarnya ada beberapa kiat yang bisa kita lakukan untuk meredam gelisah hati ini.

Pertama, memiliki ilmu yang benar.

Ilmu adalah modal awal untuk dapat meredam kegelisahan hati seseorang. Janganlah sekali-kali bermimpi dapat hidup tenang dan bahagia (baca: terbebas dari gelisah hati) sekiranya belum memiliki ilmu yang benar untuk mengarungi jalan hidup yang tidaklah lurus dan bersih dari berbagai kendala.

Adapun ilmu tersebut adalah ilmu Allah Swt berupa Alquran dan as-Sunnah. Dalam sebuah hadits dinyatakan, pada suatu ketika datanglah seseorang kepada Ibnu Mas’ud ra, untuk meminta nasihat. “Wahai Ibnu Mas’ud,” ujarnya. “Berilah nasihat yang dapat dijadikan obat bagi jiwaku yang sedang dilanda kecemasan dan kegelisahan. Dalam beberapa hari ini aku merasa tidak tentram. Jiwaku selalu gelisah dan pikiran pun terasa kusut masai. Makan tak enak, tidur pun tak nyenyak.” Mendengar hal itu, Ibnu Mas’ud kemudian menasihatinya. “Kalau penyakit seperti itu yang menimpamu, maka bawalah hatimu mengunjungi tiga tempat, yaitu ke tempat orang yang membaca Alquran, kau baca Alquran atau dengarkanlah baik-baik orang yang membacanya; atau pergilah ke majelis pengajian yang mengingatkan hati kepada Allah; atau carilah waktu dan tempat yang sunyi, kemudian ber-khalwat-lah untuk menyembah-Nya.

Misalnya di tengah malam buta, ketika orang-orang sedang tidur nyenyak, engkau bangun mengerjakan shalat malam, memohon ketenangan jiwa, ketentraman pikiran, dan kemurnian hati kepada-Nya. Seandainya jiwamu belum juga terobati dengan cara ini, maka mintalah kepada Allah agar diberi hati yang lain karena hati yang kau pakai itu bukanlah hatimu.” Setelah orang itu kembali ke rumahnya, diamalkanyalah nasihat Ibnu Mas’ud tersebut. Dia pergi mengambil air wudlu. Setelah itu, diambilnya Alquran, kemudian dibacanya dengan hati yang khusyuk. Selesai membaca Alquran, ternyata jiwanya berubah menjadi sejuk dan tentram. Pikirannya pun menjadi tenang, sedangkan kegelisahannya hilang sama sekali.

Kedua, kita harus yakin kepada Allah Swt.

Sebagian dari kita manakala gelisah hati datang, ternyata amat sibuk dengan pikiran yang mencemaskan perbuatan-perbuatan makhluk dan mengharapkan datangnya bantuan makhluk. Padahal secara nyata, tidak ada satu pun yang dapat menimpakan mudharat atau mendatangkan manfaat, selain dengan ijin-Nya. Allah berfirman, “Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya, kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu maka tiada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yunus [10]: 107). Dengan demikian, setiap pilar-pilar kejadian yang menimpa kita sebenarnya akan menjadi sarana yang paling tepat untuk bermunajat kepada Allah, sehingga membuat kita semakin ingat pada-Nya, taqarrub dan tidak pernah bisa lupa kepada-Nya.

Perilaku seperti itulah sebenarnya rahasia ketenangan dan kebahagiaan sejati di dunia yang insya Allah akan menjadi bekal kebahagiaan yang kekal di hakerat nanti. Allah berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingat, hanya degan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram. Orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 28-29).

Ketiga, kuasai diri dengan sebaik-baiknya.
Adanya suatu persoalan hidup dirasakan pahit dan amat berat, maka sebetulnya semua itu semata-mata karena kita belum mampu memahami hikmah di balik kejadian tersebut. Oleh karena itu, bilamana datang suatu kejadian yang mencemaskan, segeralah kuasai diri dengan sebaik-baiknya. Jangan menyiksa diri dengan pikiran yang diada-adakan atau mempersulit diri, sehingga semakin menyiksa. Artinya janganlah sedikitpun terbesit dalam pola pikir kita sesuatu anggapan bahwa rencana kita lebih baik daripada rencana-Nya. Untuk itu, ketika kegelisahan hati muncul dalam hidup keseharian, maka hendaknya kita saat itu pula ingat akan firman Allah dalam QS. Al-Baqarah [2]: 216, yang artinya: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah Maha Mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.”

Keempat, sempurnakan ikhtiar untuk mendapatkan pertolongan-Nya.

Dalam hidup ini harus kita yakini bahwa setiap segala kejadian tentu atas ketentuan-Nya. Artinya manakala kegelisahan hati mendera kita, maka segeralah kembalikan segala urusan kepada Allah. Hujamkan keyakinan dalam hati akan kesempurnaan pertimbangan dan kasih sayang-Nya serta segera bulatkan tekad bahwa Allah-lah satu-satunya pemberi jalan keluar dalam hidup ini. Langkah selanjutnya, setelah hati dan keyakinan kita bulat, segeralah pula bulatkan ikhtiar untuk memburu pertolongan Allah dengan amalan-amalan yang dicintai-Nya. Kekuatan ikhtiar ini merupakan kesempurnaan akan kekuatan manusia untuk mengatasinya. Hal ini seperti diingatkan Allah dalam QS. Ar-Ra’d [13]: 11, yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sehingga mereka mengubah nasibnya sendiri. Apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya. Dan sekali-kali tidak ada perlindungan bagi mereka selain Dia.” Menggapai Ketentraman Hidup Adanya usaha untuk meredam gelisah hati, sebetulnya merupakan salah satu ikhtiar kita dalam menggapai kondisi ketentraman hidup.

Namun demikian, usaha tersebut belumlah lengkap bila tidak kita dukung dengan perilaku keseharian lain yang dapat mencapai hasil maksimal menuju nuansa ketentraman hidup manusia. Paling tidak ada empat perilaku keseharian yang dapat kita lakukan untuk mendukung menggapai ketentraman hidup itu. Pertama, memiliki kemampuan dalam mengendalikan hati dengan cara membangun ketrampilan berupa mengelola hati menuju kesuciannya. Menurut As-Sayyid bin Abdul Maqshud, kesucian hati adalah poros kehidupan (perilaku) seseorang. Bila hati bersemayam di atas kebenaran, maka selamatlah seluruh anggota badan dengan tetap berada di jalan kebenaran dan kebaikan. Kedua, hindari perasaan-perasaan minor berkait dengan kegelisahan hati. Yakni dengan melakukan penilaian secara jujur atas apa keuntungan dari sikap yang memperpanjang kegelisahan hati itu. Artinya sepanjang kita hanya mempersoalakan kenapa gelisah hati itu menimpa kita tanpa bersikap jujur untuk segera melakukan instrospeksi dan mencari jalan keluarnya, maka yakinlah bahwa itu hanya membuahkan penderitaan berkepanjangan dan merugikan diri sendiri.

Ketiga, menghindari perilaku yang menyebabkan terjadinya gelisah hati. Ketentraman hidup dapat tercapai bila kita mampu untuk mencegah dan menghindari segala sesuatu perbuatan yang memicu munculnya gelisah hati. Keempat, niatkan segala perilaku hidup dengan ikhlas. Dengan melakukan perilaku ikhlas terhadap amalan-amalan yang telah dilakukan walaupun tampak kecil dan sepele dengan cara terus menerus, justru akan dapat membuahkan ketenagan batin, sehingga insya Allah akan membuahkan pula suasana kehidupan yang sejuk, lapang dan indah mengesankan. Akhirnya hadirnya gelisah hati dalam hidup sudah seharusnya kita redam untuk menggapai ketentraman. Dan jadikanlah gelisah hati yang menimpa kita itu sebagai ladang amal dalam meningkatkan keimanan kita kepada Allah Swt. Amin. Wallahu’alam.***

Daftar Pustaka Abdullah Gymnastiar. “Kunci Ketenangan Batin

Senin, 30 Desember 2013

on Leave a Comment

KH Abdul Manan Muncar Banyuwangi



Kiai Jadug dari Banyuwangi
Nama KH Abdul Manan adalah nama yang tidak asing lagi bagi kebanyakan penduduk di wilayah kab Banyuwangi Jawa Timur, khususnya desa Sumberas Muncar Banyuwangi. Kiai ini dikenal sebagai kiai ”jadug” alias jago gelut melawan berandalan dan perampok pada waktu itu.


KH Abdul Manan merupakan putra kedua dari KH Moh Ilyas yang berasal dari Banten dan Umi Kultsum, yang berasal dari Jatirejo, Kandangan (Kediri). Lahir di desa Grampang, Kab Kediri pada tahun 1870. Saat berusia 1 tahun, ia dibawa KH Moh Ilyas pindah dari Grempol ke desa Ngadirejo Kecamatan Kandangan, Kab Kediri.

KH Moh Ilyas di Ngadirejo kemudian membuka pondok pesantren ala kadarnya. Selepas mendapat didikan dari sang ayahanda, KH Moh Ilyas, Abdul Manan juga “nyantri” ke beberapa pondok pesantren di Jawa Timur. Saat berusia sekitar 12 tahun ia masuk pondok pesantren Keling atau lebih masyhur dikenal Pondok Pesantren Ringin Agungyang diasuh oleh Mbah KH Nawawi. Sekalipun usianya masih kecil, ia mendapat didikan langsung dari Mbah Nawawi, sehingga saat ia menjadi santrinya ia banyak dikenal sebagai “santri pemberani”. Dimana hanya orang dewasa saja yang semestinya mengaji dengan Mbah Kyai Nawawi, namun ia sudah mengeyamnya sejak pertama kali masuk pesantren.

Lepas dari pondok pesantren Ringin Agung, ia kemudian melanjutkan ke pondok pesantren Gerompol yang tidak lain adalah pondok pesantren neneknya sendiri. Di pondok gerompol, ia banyak menimba ilmu hikmah dan ia dikenal sebagai jago gelut alias ahli jadug karena sering melawan kalangan berandalan dan perampok yang sering merajalela di daerah tersebut. Bahkan ia pernah berhadapan dengan lima puluh berandalan sekaligus dan ia melawan mereka dengan sendirian dan dari sekian banyak berandalan itu dapat di brantasnya dengan mudah karena ia memang memeiliki jurus-jurus silat yang pernah ia pelajari di Pondok Pesantren Grompol.

Puas mempelajari ilmu hikmah dan silat di pondok Gerompol, ia kemudian melalang buana keberbagai pondok pesantren untuk memperdalam ilmu-ilmu agama Islam. Dikalangan santri biasa disebut sebagai “santri kalong” karena mondoknya hanya sebentar saja. Beberapa pondok pesantren yang pernah dirambah oleh KH Abdul Manan diantaranya adalah Pondok Pesantren KH Abas di daerah Wlingi (Blitar), Pondok Pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo), Pondok Pesantren Gayam (Jombang), Pondok Pensatren Tegalsari (Ponorogo) dan terakhir ia mondok dengan KH Kholil Al Bankalani (Bangkalan, Madura) atau yang biasa disapa dengan pangilan Mbah Cholil Bangkalan.

Lepas mendapat didikan dari Mbah Cholil ia kemudian melanjutkan belajar ke Mekkah dan belajar dengan ulama-ulama Indonesia yang ada di Mekah dan juga beberapa rubath yang ada di sana selama 9 tahun. Sepulangnya dari tanah suci, KH Abdul Manan kembali ke daerah asalnya yakni desa Jatirejo, Kandangan, Kab Kediri untuk membantu orang tuanya menularkan ilmu-ilmu yang sudah didapatnya kepada santri-santri KH Moh Ilyas. KH Abdul Manan menikah dengan seorang putri dari dusun Sumberbiru Puhrejo, Pare (Kediri) bahkan sampai membangun pondok kecil. Namun karena KH Abdul Manan tidak cocok dengan tempat itu, akhirnya ia furqoh (cerai) dengan istrinya dengan status belum punya putra dan ia akhirnya kembali ke Jatirejo, Kandangan (Kediri).

Di Jatirejo, rupanya ia tidak betah juga karena rasa ghirah (semangat) untuk berta’alum (mencari ilmu) masih sedemikian tinggi. Akhirnya ia kembali mondok ke pesantren Jalen Genteng (Banyuwangi) yang saat itu diasuh oleh KH Abdul Basyar. Karena usianya paling tua, di Pondok Jalen ia diangkat menjadi kepala pondok atau banyak orang bilang lurahnya Pondok. Tak selang beberaqpa lama kemudian, ia diambil menantu oleh KH Abdul Basyar dengan dinikahkan dengan salah satu putrinya yakni Siti Asmiyatun. Pernikahan beliau dengan Siti Asmiyatun binti Abdul Basyar ia dikaruniai duabelas putra yakni Nyai Siti Robi’ah Askandar, Tabsyrul Anam, Ma’ariful Waro, Rofiqotuddarri, Nuryatun, Ma’rifatun, Khosyi’atun, Kamaludin, Abdul Malik Luqoni, Mutamimmah, Munawarroh dan Zubaidah.

Pada masa penjajahan Jepang, istrinya yakni Nyai Asmiyatun wafat. Ia kemudian menikah lagi dengan Hj Umtiyatun (Jalen) dan dari istri keduanya ia dikaruniai 9 putra-putri yakni Ny Asliyatun, Moh Soleh, KH Fahruddin, Moh Dalhar, Ny St Aisyah, Dewi, Dafi’ul Bala’, Ny Mariyati dan KH Toha Muntaha. Tahun 1929 Ia pindah dari Jalen ke Berasan dan mendirikan pondok pesantren Minhajut Thullab. Sedangkan pondok pesantren Jalen diteruskan olehh adik iparnya yakni Nyai Mawardi.

Mulai membangun Pondok
Sebelum memilih daerah Berasan, ia sebelumnya berkeliling mulai dari Kalibaru, Silir, Pesanggrahan, Tamansari dan Berasan. Ternyata dari sekian tempat yang dijelajahi akhirnya terpilih daerah Berasan. Itu pun atas isyaroh dari KH Cholil Canggan Genteng, Banyuwangi agar memilih daerah Berasan menjadi sentral peantren yang akan ia rintis. Awalnya, ia berangkat ke Berasan dengan tujuh teman santri dari Jalen dan bertemu dengan warga desa Badegan, Rogojampi (Banyuwangi) yang juga adalah pemilik tempat yang akan dijadikan lokasi pondok pesantren yakni H Sanusi. Pemilik tanah dan dan rumah di desa Berasan itu (H Sanusi-red) akhirnya mau menjual rumah dan tanahnya kepada KH Abdul Manan.

Tepat tahun 1932, KH Abdul Manan berserta keluarga dan diikuti oleh 12 santrinya, resmi boyongan dari Jalen menuju Berasan dan mulai membangun pondok pesantren. Awal berdiri pondok pesantren hanya berupa sebuah rumah dan musola kecil dan bangunan pondok bambu yang beratap daun alang-alang, sangat memprihationkan. Semakin lama, santri mulai berdatangan dari berbagai daerah, bahkan mulai kerepotan menampung jumlah santri, sehingga ia menambah jumlah lokasi pondok dengan membeli sebagaian tanah penduduk setempat sekaligus membuat bangunan masjid dan bangunan kamar-kamar pondok pesantren yang permanen.

Masa penjajahan Jepang dan Kolonial
KH Abdul Manan terkenal sangat gigih melawan penjajah Jepang dan Belanda. Banyak kyai di Banyuwangi pada masa penjajahan Jepang dan Belanda yang menderita karena ditangkap oleh penjajah. Akan tetapi berkat lindungan Allah SWT, KH Abdul Manan dapat lolos dari tiap jeratan penjajah. Pada masa itu, beliau diungsikan oleh para santri dan masyarakat di rumah-rumah penduduk. Nasib nahas memang banyak menimpa Kyai-Kyai besar pada masa penjajahan yang berhasil ditangkap oleh penjajah seperti KH Manshur (Sidoresmo), Kyai Moh Ilyas, KH Askandar dan masih banyak lagi karena melawan penjajahan Kumpeni Belanda. Lepas dari penjajahan Belanda, dan Indonesia telah merdeka, ia tetap mengajar di pesantren.

Tepat tahun 1945 ia membangun sebuah gedung yang bisa menampung banyak jamaah untuk mengaji, yakni gedung “Jam’iyyah al Ishlah” atau populer dengan jam’iyyah gedong. Pada waktu itu, memang Pondok Pesantren Minhajut Thullab belum ada sistem pendidikan serupa dengan pendidikan sekolah-sekolah, yang ada hanya sistem pengajian-pengajian ala pesantren sepereti sorogan, bandongan , khitobah dll. Baru pada tahun 1947 mulai dibuka sekolah bnermateri khusus pendidikan agama atau madrasah diniyah yang dibimbing oleh KH Suyuthi. Pada tahun 1951 dibuka sekolah setingkat Madrasah Ibtidaiyah yakni MI Miftahul Mubtadin. Baru pada tahun 1976 didirikan mulai dari tingkat kanak-kanak (TK Khodijah), MTs Miftahul Mubtadin dan SMA Al Hikmah.

KH Abdul Manan adalah sosok ulama yang soleh dan zuhud. Beliau mendidik putra putrinya di rumahnya dan kemudian anak-anaknya ia pondokan ke berbagai pesantren lain. Beliau dikenal sangat teliti dengan pendidikan anak-anaknya dan para santri bahkan juga masyarakat dimana bila sudah jam 20.00 mereka diwajibkan untuk istirahat (tidur). Beliau adalah seorang yang aktif dan disiplin dengan apapun tugas. Memang awalnya beliau mendidik dan memberi pengajian kepada putra-putranya, santri dan masyarakat sendirian, belum punya tenaga pengajar dari kalangan santri. Namun setelah santri-santri sudah mampu mengajar dan mengaji, mereka dianjurkan untuk memberikan pengajian kepada santri-santri di bawahnya.

Uniknya, para santri atau tenaga pengajar yang ada di pondok Minhajut Tulab tidak dibayar dengan uang. Namun mereka dijamin dan dicukupi dalam kebutuhan makan sehari-hari, ada yang makan di ndalemnya Mbah Kyai dan ada juga yang sebagian makan di rumahnya orang-orang desa yang diberi garapan berupa sawah atau kebun dari tanah KH Abdul Manan. Keseharian beliau adalah seorang Kiai dan seorang petani. Sedang dibidang pertanian cukup dipercayakan kepada orang lain. Beliau juga dikenal sebagai pedagang yang sukses. Cara beliau memasarkan daganagannya, beliau cukup dirumah. Kalau ada orang yang ingin menjual barangnya mereka datang ke rumah Mbah KH Abadul Manan. Sedangkan kalau beliau menjualnya cukup dipasarkan oleh orang-orang yang dapat dipercaya.

Rotan Bertuah Setelah Indonesia merdeka, justru ada peristiwa yang lebih kejam lagi yakni pemberontakan 30 September 1965 oleh Partai Komunis Indonesia (Gerakan 30 S PKI). Kekejaman dan komunis lebih kejam lagi, banyak kyai dan santri menjadi korban PKI. Melihat tindakan seperti itu, ia bersama santri dan penduduk tidak tinggal diam. KH Abdul Manan mengutus beberapa santri untuk mencari beberapa batang rotan (Kayu penjalin) dan dijadikan azimat untuk melawan PKI.

Rotan-rotan itu oleh KH Abdul Manan setelah didoakan di pergunakan oleh para santri dan masyarakat untuk melawan dan melumpuhkan orang-orang PKI yang masih sering berkeliaran di daerah Banyuwangi. Khasiat rotan itu juga bahkan dapat membakar rumah-rumah penduduk PKI cukup dengan memukulkannya. Tidak hanya rotan yang dapat di asma’ oleh KH Abdul Manan, banyak orang yang datang sambil membawa barang kesayangannya untuk didoakan oleh beliau, seperti cincin, sorban, peci dll.

Kelebihan dan kejadugan KH Abdul Manan bukanlah sesuatu yang didapat secara instan, tetapi buah dari riyadhah sejak ia berusia muda. Saat masih menimba ilmu di pondok pesantren ia sering melakukan puasa mutih, ngrowot. Saat belajar di Mekah selama 9 tahun ia juga berpuasa secara terus menerus, kecuali 2 hari yang diharamkan untuk tidak berpuasa yakni hari Idul Fitri dan hari Idhul Adha (2 hari Idul Adha). Bahkan tak jarang ia hanya berbuka hanya sebutir kurma dan minumnya juga hanya segelas air zam-zam.

Amalan-amalan yang ia lakukan dari usia muda sampai menjelang wafat lewat memperbanyak puasa semata-semata demi keberhasilan dan kebaikan beliau untuk memperihatini (laku prihatin) agar anak –anak dan santrinya kelak dapat menjadi orang yang berhasil serta berguna bagi masyarakat banyak. KH Abdul Manan wafat pada hari Jumat Kliwon menjelang Subuh 15 Syawal 1399 H (1979 M) dan di makamkan masih di sekitar pondok pesantren Minhajut Thulab, Sumberberas, Muncar, Banyuwangi (Jawa Timur)
on Leave a Comment

UWAIS AL QORNI


TAK TERKENAL DI BUMI, TERKENAL DI LANGIT
Pada zaman Nabi Muhammad SAW, ada seorang pemuda bermata biru, rambutnya merah, pundaknya lapang panjang, berpenampilan cukup tampan, kulitnya kemerah-merahan, dagunya menempel di dada selalu melihat pada tempat sujudnya, tangan kanannya menumpang pada tangan kirinya, ahli membaca Al Qur’an dan menangis, pakaiannya hanya dua helai sudah kusut yang satu untuk penutup badan dan yang satunya untuk selendangan, tiada orang yang menghiraukan, tak dikenal oleh penduduk bumi akan tetapi sangat terkenal di langit. Dia, jika bersumpah demi Allah pasti terkabul. Pada hari kiamat nanti ketika semua ahli ibadah dipanggil disuruh masuk surga, dia justru dipanggil agar berhenti dahulu dan disuruh memberi syafa’at, ternyata Allah memberi izin dia untuk memberi syafa’at sejumlah qobilah Robi’ah dan qobilah Mudhor, semua dimasukkan surga tak ada yang ketinggalan karenanya.Dia adalah “Uwais al-Qarni”. Ia tak dikenal banyak orang dan juga miskin, banyak orang suka menertawakan, mengolok-olok, dan menuduhnya sebagai tukang membujuk, tukang mencuri serta berbagai macam umpatan dan penghinaan lainnya.Seorang fuqoha’ negeri Kuffah, karena ingin duduk dengannya, memberinya hadiah dua helai pakaian, tapi tak berhasil dengan baik, karena hadiah pakaian tadi diterima lalu dikembalikan lagi olehnya seraya berkata :“Aku khawatir, nanti sebagian orang menuduh aku, dari mana kamu dapatkan pakaian itu, kalau tidak dari membujuk pasti dari mencuri”.Pemuda dari Yaman ini telah lama menjadi yatim, tak punya sanak famili kecuali hanya ibunya yang telah tua renta dan lumpuh. Hanya penglihatan kabur yang masih tersisa. Untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari, Uwais bekerja sebagai penggembala kambing. Upah yang diterimanya hanya cukup untuk sekedar menopang kesehariannya bersama Sang ibu, bila ada kelebihan, ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti keadaannya.Kesibukannya sebagai penggembala domba dan merawat ibunya yang lumpuh dan buta, tidak mempengaruhi kegigihan ibadahnya, ia tetap melakukan puasa di siang hari dan bermunajat di malam harinya Uwais al-Qarni telah memeluk Islam pada masa negeri Yaman mendengar seruan Nabi Muhammad SAW. yang telah mengetuk pintu hati mereka untuk menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang tak ada sekutu bagi-Nya. Islam mendidik setiap pemeluknya agar berakhlak luhur. Peraturan-peraturan yang terdapat di dalamnya sangat menarik hati Uwais, sehingga setelah seruan Islam datang di negeri Yaman, ia segera memeluknya, karena selama ini hati Uwais selalu merindukan datangnya kebenaran.Banyak tetangganya yang telah memeluk Islam, pergi ke Madinah untuk mendengarkan ajaran Nabi Muhammad SAW secara langsung. Sekembalinya di Yaman, mereka memperbarui rumah tangga mereka dengan cara kehidupan Islam. Alangkah sedihnya hati Uwais setiap melihat tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka itu telah “bertamu dan bertemu” dengan kekasih Allah penghulu para Nabi, sedang ia sendiri belum.Kecintaannya kepada Rasulullah menumbuhkan kerinduan yang kuat untuk bertemu dengan sang kekasih, tapi apalah daya ia tak punya bekal yang cukup untuk ke Madinah, dan yang lebih ia beratkan adalah sang ibu yang jika ia pergi, tak ada yang merawatnya.Di ceritakan ketika terjadi perang Uhud Rasulullah SAW mendapat cedera dan giginya patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya. Kabar ini akhirnya terdengar oleh Uwais. Ia segera memukul giginya dengan batu hingga patah. Hal tersebut dilakukan sebagai bukti kecintaannya kepada beliau SAW, sekalipun ia belum pernah melihatnya.Hari berganti dan musim berlalu, dan kerinduan yang tak terbendung membuat hasrat untuk bertemu tak dapat dipendam lagi. Uwais merenungkan diri dan bertanya dalam hati, kapankah ia dapat menziarahi Nabinya dan memandang wajah beliau dari dekat ? Tapi, bukankah ia mempunyai ibu yang sangat membutuhkan perawatannya dan tak tega ditingalkan sendiri, hatinya selalu gelisah siang dan malam menahan kerinduan untuk berjumpa.Akhirnya, pada suatu hari Uwais mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinya dan memohon izin kepada ibunya agar diperkenankan pergi menziarahi Nabi SAW di Madinah. Sang ibu, walaupun telah uzur, merasa terharu ketika mendengar permohonan anaknya. Beliau memaklumi perasaan Uwais, dan berkata:“Pergilah wahai anakku ! temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa, segeralah engkau kembali pulang”.Dengan rasa gembira ia berkemas untuk berangkat dan tak lupa menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkan serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi. Sesudah berpamitan sambil menciumi sang ibu, berangkatlah Uwais menuju Madinah yang berjarak kurang lebih empat ratus kilometer dari Yaman. Medan yang begitu ganas dilaluinya, tak peduli penyamun gurun pasir, bukit yang curam, gurun pasir yang luas yang dapat menyesatkan dan begitu panas di siang hari, serta begitu dingin di malam hari, semuanya dilalui demi bertemu dan dapat memandang sepuas-puasnya paras baginda Nabi SAW yang selama ini dirindukannya.Tibalah Uwais al-Qarni di kota Madinah. Segera ia menuju ke rumah Nabi SAW, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam. Keluarlah sayyidatina ‘Aisyah r.a., sambil menjawab salam Uwais. Segera saja Uwais menanyakan Nabi yang ingin dijumpainya. Namun ternyata beliau SAW tidak berada di rumah melainkan berada di medan perang.Betapa kecewa hati sang perindu, dari jauh ingin berjumpa tetapi yang dirindukannya tak berada di rumah. Dalam hatinya bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi SAW dari medan perang. Tapi, kapankah beliau pulang ? Sedangkan masih terngiang di telinga pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman,” Engkau harus lekas pulang”.Karena ketaatan kepada ibunya, pesan ibunya tersebut telah mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi SAW. Ia akhirnya dengan terpaksa mohon pamit kepada sayyidatina ‘Aisyah r.a. untuk segera pulang ke negerinya. Dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi SAW dan melangkah pulang dengan perasaan haru.Sepulangnya dari perang, Nabi SAW langsung menanyakan tentang kedatangan orang yang mencarinya. Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa Uwais al-Qarni adalah anak yang taat kepada ibunya. Ia adalah penghuni langit (sangat terkenal di langit). Mendengar perkataan baginda Rosulullah SAW, sayyidatina ‘Aisyah r.a. dan para sahabatnya tertegun. Menurut informasi sayyidatina ‘Aisyah r.a., memang benar ada yang mencari Nabi SAW dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama.Rosulullah SAW bersabda : “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia (Uwais al-Qarni), perhatikanlah, ia mempunyai tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya.”Sesudah itu beliau SAW, memandang kepada sayyidina Ali k.w. dan sayyidina Umar r.a. dan bersabda : “Suatu ketika, apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah do’a dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit dan bukan penghuni bumi”.Tahun terus berjalan, dan tak lama kemudian Nabi SAW wafat, hingga kekhalifahan sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. telah di estafetkan Khalifah Umar r.a. Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi SAW. tentang Uwais al-Qarni, sang penghuni langit. Beliau segera mengingatkan kepada sayyidina Ali k.w. untuk mencarinya bersama.Sejak itu, setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, beliau berdua selalu menanyakan tentang Uwais al-Qorni, apakah ia turut bersama mereka. Diantara kafilah-kafilah itu ada yang merasa heran, apakah sebenarnya yang terjadi sampai-sampai ia dicari oleh beliau berdua. Rombongan kafilah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka.Suatu ketika, Uwais al-Qorni turut bersama rombongan kafilah menuju kota Madinah. Melihat ada rombongan kafilah yang datang dari Yaman, segera khalifah Umar r.a. dan sayyidina Ali k.w. mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais turut bersama mereka. Rombongan itu mengatakan bahwa ia ada bersama mereka dan sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, beliau berdua bergegas pergi menemui Uwais al-Qorni.Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, Khalifah Umar r.a. dan sayyidina Ali k.w. memberi salam. Namun rupanya Uwais sedang melaksanakan sholat. Setelah mengakhiri shalatnya, Uwais menjawab salam kedua tamu agung tersebut sambil bersalaman. Sewaktu berjabatan, Khalifah Umar segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada ditelapak tangan Uwais, sebagaimana pernah disabdakan oleh baginda Nabi SAW. Memang benar ! Dia penghuni langit.Dan ditanya Uwais oleh kedua tamu tersebut, siapakah nama saudara ?“Abdullah”, jawab Uwais.Mendengar jawaban itu, kedua sahabatpun tertawa dan mengatakan : “Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya ?”Uwais kemudian berkata: “Nama saya Uwais al-Qorni”.Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. Akhirnya, Khalifah Umar dan Ali k.w. memohon agar Uwais berkenan mendo’akan untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada khalifah:“Sayalah yang harus meminta do’a kepada kalian”.Mendengar perkataan Uwais, Khalifah berkata:“Kami datang ke sini untuk mohon do’a dan istighfar dari anda”.Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais al-Qorni akhirnya mengangkat kedua tangannya, berdo’a dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar r.a. berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais, untuk jaminan hidupnya.Segera saja Uwais menolak dengan halus dengan berkata : “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi.Setelah kejadian itu, nama Uwais kembali tenggelam tak terdengar beritanya.Tapi ada seorang lelaki pernah bertemu dan di tolong oleh Uwais , waktu itu kami sedang berada di atas kapal menuju tanah Arab bersama para pedagang, tanpa disangka-sangka angin topan berhembus dengan kencang. Akibatnya hempasan ombak menghantam kapal kami sehingga air laut masuk ke dalam kapal dan menyebabkan kapal semakin berat.Pada saat itu, kami melihat seorang laki-laki yang mengenakan selimut berbulu di pojok kapal yang kami tumpangi, lalu kami memanggilnya. Lelaki itu keluar dari kapal dan melakukan sholat di atas air. Betapa terkejutnya kami melihat kejadian itu.“Wahai waliyullah,” Tolonglah kami !” tetapi lelaki itu tidak menoleh.Lalu kami berseru lagi,” Demi Zat yang telah memberimu kekuatan beribadah, tolonglah kami!”Lelaki itu menoleh kepada kami dan berkata: “Apa yang terjadi ?”“Tidakkah engkau melihat bahwa kapal dihembus angin dan dihantam ombak ?”tanya kami.“Dekatkanlah diri kalian pada Allah ! ”katanya.“Kami telah melakukannya.”“Keluarlah kalian dari kapal dengan membaca bismillahirrohmaanirrohiim!”Kami pun keluar dari kapal satu persatu dan berkumpul di dekat itu. Pada saat itu jumlah kami lima ratus jiwa lebih. Sungguh ajaib, kami semua tidak tenggelam, sedangkan perahu kami berikut isinya tenggelam ke dasar laut. Lalu orang itu berkata pada kami ,”Tak apalah harta kalian menjadi korban asalkan kalian semua selamat”.“Demi Allah, kami ingin tahu, siapakah nama Tuan ? ”Tanya kami.“Uwais al-Qorni”. Jawabnya dengan singkat.Kemudian kami berkata lagi kepadanya, ”Sesungguhnya harta yang ada di kapal tersebut adalah milik orang-orang fakir di Madinah yang dikirim oleh orang Mesir.” “Jika Allah mengembalikan harta kalian. Apakah kalian akan membagi-bagikannya kepada orang-orang fakir di Madinah?” tanyanya.“Ya,”jawab kami.Orang itu pun melaksanakan sholat dua rakaat di atas air, lalu berdo’a. Setelah Uwais al-Qorni mengucap salam, tiba-tiba kapal itu muncul ke permukaan air, lalu kami menumpanginya dan meneruskan perjalanan. Setibanya di Madinah, kami membagi-bagikan seluruh harta kepada orang-orang fakir di Madinah, tidak satupun yang tertinggal.Beberapa waktu kemudian, tersiar kabar kalau Uwais al-Qorni telah pulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat dia akan dimandikan tiba-tiba sudah banyak orang yang berebutan untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya. Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburnya. Di sana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya.Dan Syeikh Abdullah bin Salamah menjelaskan, “ketika aku ikut mengurusi jenazahnya hingga aku pulang dari mengantarkan jenazahnya, lalu aku bermaksud untuk kembali ke tempat penguburannya guna memberi tanda pada kuburannya, akan tetapi sudah tak terlihat ada bekas kuburannya. (Syeikh Abdullah bin Salamah adalah orang yang pernah ikut berperang bersama Uwais al-Qorni pada masa pemerintahan sayyidina Umar r.a.)Meninggalnya Uwais al-Qorni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak dikenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais adalah seorang fakir yang tak dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, di situ selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu. Penduduk kota Yaman tercengang.Mereka saling bertanya-tanya : “Siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais al-Qorni ? Bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya hanyalah sebagai penggembala domba dan unta ? Tapi, ketika hari wafatmu, engkau telah menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal. Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang di turunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamannya. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya siapa “Uwais al-Qorni” ternyata ia tak terkenal di bumi tapi menjadi terkenal di langit.
on Leave a Comment

ROBI'AH AL ADAWIAH


Seberkas cahaya memancar dari bayi yang baru saja dilahirkan tanpa bantuan siapa-siapa. “Ya Allah,” seru Ismail, “anakku, Rabiah, telah datang membawa sinar yang akan menerangi alam di sekitarnya.” Lalu Ismail menggumam, “Amin.” Tetapi berkas cahaya yang membungkus bayi kecil itu tidak membuat keluarganya terlepas dari belitan kemiskinan....
----------

Pada suatu hari seorang lelaki datang kepada Rabiah dan bertanya, “Saya ini telah banyak melakukan dosa. Maksiat saya bertimbun melebihi gunung-gunung. Andaikata saya bertobat, apakah Allah akan menerima tobat saya?” “Tidak,” jawab Rabiah dengan suara tegas. Pada kali yang lain seorang lelaki datang pula kepadanya. Lelaki itu berkata, “Seandainya tiap butir pasir itu adalah dosa, maka seluas gurunlah tebaran dosa saya. Maksiat apa saja telah saya lakukan, baik yang kecil maupun yang besar. Tetapi sekarang saya sudah menjalani tobat. Apakah Tuhan menerima tobat saya?” “Pasti,” jawab Rabiah tak kalah tegas. Lalu ia menjelaskan, “Kalau Tuhan tidak berkenan menerima tobat seorang hamba, apakah mungkin hamba itu tergerak menjalani tobat? Untuk berhenti dari dosa, jangan simpan kata “akan” atau “andaikata” sebab hal itu akan merusak ketulusan niatmu.”

Memang ucapan sufi perempuan itu seringkali menyakitkan telinga bagi mereka yang tidak memahami jalan pikirannya. Ia seorang mistisi yang sangat tinggi derajatnya dan tergolong kelompok sufi periode awal. Ia memperkaya literatur Islam dengan kisah-kisah pengalaman mistiknya dalam sajak-sajak berkualitas tinggi.

Sesungguhnya ia lebih dikenal sebagai seorang pendiri ‘agama cinta’ (mahabbah) dan ia pun dikenang sebagai ‘ibu para Sufi besar’ (The Mother of the Grand Master). Siapa sebenarnya ia yang kepergiannya dielu-elukan kaum ‘suci’ itu? Tiada lain ia adalah tokoh wanita bernama Rabiah Basri atau lebih dikenal sebagai Rabiah Al Adawiyah Al Bashriyah, lahir pada tahun 713 M di Basrah (Irak), dari keluarga yang hina dina.

Sebagai anak keempat. Itu sebabnya ia diberi nama Rabiah. Bayi itu dilahirkan ketika orang tuanya hidup sangat sengsara meskipun waktu itu kota Bashrah bergelimang dengan kekayaan dan kemewahan. Tidak seorang pun yang berada di samping ibunya, apalagi menolongnya, karena ayahnya, Ismail, tengah berusaha meminta bantuan kepada para tetangganya.

Namun, karena saat itu sudah jauh malam, tidak seorang pun dari mereka yang terjaga. Dengan lunglai Ismail pulang tanpa hasil, padahal ia hanya ingin meminjam lampu atau minyak tanah untuk menerangi istrinya yang akan melahirkan. Dengan perasaan putus asa Ismail masuk ke dalam biliknya. Tiba-tiba matanya terbelak gembira menyaksikan apa yang terjadi di bilik itu.

Seberkas cahaya memancar dari bayi yang baru saja dilahirkan tanpa bantuan siapa-siapa. “Ya Allah,” seru Ismail, “anakku, Rabiah, telah datang membawa sinar yang akan menerangi alam di sekitarnya.” Lalu Ismail menggumam, “Amin.” Tetapi berkas cahaya yang membungkus bayi kecil itu tidak membuat keluarganya terlepas dari belitan kemiskinan. Ismail tetap tidak punya apa-apa kecuali tiga kerat roti untuk istrinya yang masih lemah itu. Ia lantas bersujud dalam salat tahajud yang panjang, menyerahkan nasib dirinya dan seluruh keluarganya kepada Yang Menciptakan Kehidupan.

Sekonyong-konyong ia seolah berada dalam lautan mimpi manakala gumpalan cahaya yang lebih benderang muncul di depannya, dan setelah itu Rasul hadir bagaikan masih segar-bugar. Kepada Ismail, Rasulullah bersabda, “Jangan bersedih, orang salih. Anakmu kelak akan dicari syafaatnya oleh orang-orang mulia. Pergilah kamu kepada penguasa kota Bashrah, dan katakan kepadanya bahwa pada malam Jumat yang lalu ia tidak melakukan salat sunnah seperti biasanya. Katakan, sebagai kifarat atas kelalaiannya itu, ia harus membayar satu dinar untuk satu rakaat yang ditinggalkannya.

Ketika Ismail mengerjakan seperti yang diperintahkan Rasulullah dalam mimpinya, Isa Zadan, penguasa kota Bashrah itu, terperanjat. Ia memang biasa mengerjakan salat sunnah 100 rakaat tiap malam, sedangkan saban malam Jumat ia selalu mengerjakan 400 rakaat. Oleh karena itu, kepada Ismail diserahkannya uang sebanyak 400 dinar sesuai dengan jumlah rakaat yang ditinggalkannya pada malam Jumat yang silam. Itulah sebagian dari tanda-tanda karamah Rabiah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan dari kota Bashrah, yang di hatinya hanya tersedia cinta kepada Tuhan. Begitu agungnya cinta itu bertaut antara hamba dan penciptanya sampai ia tidak punya waktu untuk membenci atau mencintai, untuk berduka atau bersuka cita selain dengan Allah.

Ismail dan istrinya meninggal ketika Rabiah masih kecil. Begitu pula ketiga kakak Rabiah, meninggal ketika wabah kelaparan melanda kota Basrah. Dalam kesendirian itu, akhirnya Rabiah jatuh ke tangan orang yang kejam, yang lalu menjualnya sebagai budak belian dengan harga sangat murah. Majikan barunya pun tak kalah bengisnya dibandingkan dengan majikan sebelumnya.

Setelah bebas, Rabiah pergi ke tempat tempat sunyi untuk menjalani hidup dengan bermeditasi, dan akhirnya sampailah ia di sebuah gubuk dekat Basra. Di sini ia hidup bertapa. Sebuah tikar butut, sebuah kendil dari tanah, dan sebuah batu bata, adalah harta yang ia punyai dan teman dalam menjalani hidup kepertapaan.

Praktis sejak saat itu, seluruh hidupnya hanya ia abdikan pada Allah swt. Berdoa dan berzikir adalah hiasan hidupnya. Saking sibuknya mengurus ‘akhirat’, ia lalai dengan urusan duniawi, termasuk membangun rumah tangga. Meski banyak pinangan datang, termasuk dari gubernur Basra dan seorang suci mistis terkenal, Hasan Basri, Rabiah tetap tak tertarik untuk mengakhiri masa lajangnya. Hal ini ia jalani hingga akhir hayatnya, pada tahun 801 M.

Dalam perjalanan kesufian Rabiah, kesendirian, kesunyian, kesakitan, hingga penderitaan tampak lumer jadi satu; ritme heroik menuju cinta kepada Sang Ada (The Ultimate Being). Tak heran jika ia ‘merendahkan manusia’ dan mengabdi pada dorongan untuk meraih kesempurnaan tertinggi. Ia jelajahi ranah mistik, yang jadi wilayah dalam dari agama, hingga mendapatkan eloknya cinta yang tidak dialami oleh kaum Muslim formal.

Menjadi Sufi dalam perjalanan Rabiah adalah “berlalu dari sekadar Ada menjadi benar benar Ada”. Sufisme Rabiah merupakan pilihan dari jebakan-jebakan ciptaan yang tak berguna. Karena demikian mendalam cintanya kepada Allah, Rabiah sampai tidak menyisakan sejengkal pun rasa cintanya untuk manusia. Sufyan Tsauri, seorang Sufi yang hidup semasa dengannya, sempat terheran-heran dengan sikap Rabiah. Pasalnya, Sufyan pernah melihat bagaimana Rabiah menolak cinta seorang pangeran yang kaya raya demi cintanya kepada Allah. Dia tidak tergoda dengan kenikmatan duniawi, apalagi harta.

Cinta Rabiah tak dapat disebut sebagai cinta yang mengharap balasan. Justru, yang dia tempuh adalah perjalanan mencapai ketulusan. Sesuatu yang dianggap sebagai ladang subur bagi pemuas rasa cintanya yang luas, dan sering tak terkendali tersebut. Lewat sebuah doa yang mirip syair, ia berujar, “Jika aku menyembah-Mu karena takut pada api neraka maka masukkan aku di dalamnya! Dan jika aku menyembah-Mu karena tamak kepada surga-Mu, maka haramkanlah aku daripadanya! Tetapi jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu, maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku kesempatan untuk melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu.”

Perjalanan hidup Rabiah diwarnai dengan kekaribannya dengan situasi yang penuh keterbatasan; tinggal bersama kedua orang tua dan saudara saudaranya, dijual sebagai budak, menghamba pada tuannya hingga dibebaskan dari perbudakan, lalu hidup mengembara. Periode pertama ini dikenal sebagai periode asketik Rabiah.

Fariduddin al-Attar menceritakan dalam kitab Taz-kiratul Auliya bahwa Rabiah pandai sekali meniup seruling. Untuk jangka waktu tertentu ia menopang hidupnya dengan bermain musik. Namun, kemudian ia memanfaatkan kepandaiannya untuk mengiringi para sufi yang sedang berzikir dalam upayanya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Selain itu ia mengunjungi masjid-masjid, dari pagi sampai larut malam. Namun, lantaran ia merasa dengan cara itu Tuhan tidak makin menghampirinya, maka ditinggalkannya semua itu.

Ia tidak lagi meniup seruling, dan ia tidak lagi mendatangi masjid-masjid. Ia menghabiskan waktu dengan beribadah dan berzikir. Periode yang kedua ini disebut sebagai periode Sufi, suatu periode tatkala Rabiah telah mencapai mahabbattullah (cinta pada Allah) sampai meninggal dan dipuji sebagai Testimony of Belief (Bukti Keimanan).

Doris Lessing, seorang pengamat perjalanan hidup Rabiah, memberi kesimpulan bahwa sufisme tokoh wanita ini adalah bentuk sufisme cinta. Sejenis sufisme yang menempatkan cinta (mahabbah) sebagai panggilan jiwanya. Sufisme yang tak bermaksud larut dalam ekstatik (gairah yang meluap) serta tak berdimensi pemujaan atau pemuliaan dan metode-metode tambahan yang penuh dengan sakramen.

Kendati demikian, pengalaman Rabiah adalah pengalaman orang suci yang sulit ditiru oleh awam. Memahami Rabiah sangat sulit. Seperti masa hidupnya, Rabiah tampaknya jauh dari kita. Selain itu, kesempurnaan yang menyertainya tak mungkin dapat ditandingi oleh orang-orang biasa.

Apa yang dilakukan Rabiah dalam hidupnya sebetulnya adalah ikhtiar untuk membiasakan diri ‘bertemu’ dengan pencipta-Nya. Di situlah ia memperoleh kehangatan, kesyahduan, kepastian, dan kesejatian hidup. Sesuatu yang kini sangat dirindukan oleh manusia modern. Karena itu, menjadi pemuja Tuhan adalah obsesi Rabiah yang tidak pernah mengenal tepi dan batas. Tak heran jika dunia yang digaulinya bebas dari perasaan benci. Seluruhnya telah diberikan untuk sebuah cinta.

Meskipun hidup Rabiah seperti berlangsung linear dan konstan, seluruh energi hidupnya dia abdikan untuk cinta, Rabiah memberi tahu kepada kita bahwa hidup memang tidak sederhana, seperti yang dijalaninya. Hidup itu begitu rumit, kadang kadang ada kemesraan dan kadang-kadang ada kehidmatan bertahta.

Rabiah wafat dengan meninggalkan pengalaman sufistik yang tak terhingga artinya. Hikmah yang ditinggalkan sangat berharga dan patut kita gali sebagai ‘makrifat’ hidup.

Menarik kita simak beberapa doa Rabiah yang dipanjatkan pada waktu larut malam, di atas atap rumahnya: “O Tuhanku, bintang-bintang bersinar gemerlapan, manusia telah tidur nyenyak, dan raja-raja telah menutup pintunya, tiap orang yang bercinta sedang asyik masyuk dengan kesayangannya, dan di sinilah aku sendirian bersama Engkau.”

Jika fajar telah merekah dan serat-serat cahaya menebari cakrawala, Rabiah pun berdoa dengan khusyuk, “Ya, illahi. Malam telah berlalu, dan siang menjelang datang. Aduhai, seandainya malam tidak pernah berakhir, alangkah bahagianya hatiku sebab aku dapat selalu bermesra-mesra dengan-Mu. illahi, demi kemuliaan-Mu, walaupun Kautolak aku mengetuk pintu-Mu, aku akan senantiasa menanti di depan pintu karena cintaku telah terikat dengan-Mu.”

Lantas, jika Rabiah membuka jendela kamarnya, dan alam lepas terbentang di depan matanya, ia pun segera berbisik, “Tuhanku. Ketika kudengar margasatwa berkicau dan burung-burung mengepakkan sayapnya, pada hakikatnya mereka sedang memuji-Mu. Pada waktu kudengar desauan angin dan gemericik air di pegunungan, bahkan manakala guntur menggelegar, semuanya kulihat sedang menjadi saksi atas keesaan-Mu.

Tentang masa depannya ia pernah ditanya oleh Sufyan Tsauri: “Apakah engkau akan menikah kelak?” Rabiah mengelak, “Pernikahan merupakan kewajiban bagi mereka yang mempunyai pilihan. Padahal aku tidak mempunyai pilihan kecuali mengabdi kepada Allah.” “Bagaimanakah jalannya sampai engkau mencapai martabat itu?” “Karena telah kuberikan seluruh hidupku,” ujar Rabiah. “Mengapa bisa kaulakukan itu, sedangkan kami tidak?” Dengan tulus Rabiah menjawab, “Sebab aku tidak mampu menciptakan keserasian antara perkawinan dan cinta kepada Tuhan.
Gendhis savindra. Diberdayakan oleh Blogger.