Air Mata Kamisih….
Untuk artikel gendhis kali ini kita ke kecamatan semanding tuban:
sebelumnya gendhis minta maaf yang sebesar besarnya sana keluarga bapak ''LASIMANbukan bermaksud mencela atauapa pun, gendhis hanya pengen mengulas bahwa di daerah kita masihbanyak keluarga keluargayang kurang mampu yang perlu perhatian khususnya pemerintah bagaimana menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.
sekali lagi gendhis minta maaf dan terima kasih...
Dusun Sendang Pancur,
Desa Genaharjo, Kecamatan Semanding, Mentari masih garang
membakar bumi, Sejauh mata memandang, hanya hamparan tanah merah berbatu
yang tersaji. Tak tampak sebatang-pun tanaman selain tonggak-tonggak
pohon jagung dan hamparan huma itu.Namun tampaknya keadaan ini tidak seberapa memprihatikan
dibanding keadaan rumah berbilik bambu yang berdiri agak jauh dari
rumah-rumah lainnya itu. Bukan sebab rumah itu berdiri di tepian jurang
dan sedikit terpencil dengan akses jalan yang nyaris tak ada yang
membuat rumah milik Kamisih (50) itu lebih memprihatinkan.
Di rumah itu tinggal empat orang yang kesemuanya tidak
berdaya didera takdir buruk. Dari ke-empat penghuninya, hanya Kamisih
seorang yang agak sehat. Lasiman, Kepala Keluarganya, ayah Kamisih,
menyandang tumor. Sakini, ibunya, 25 tahun menderita katarak hingga
penglihatannya tak berfungsi lagi. Sementara Tuminah Asih (27), anak
Kamisih, hanya mampu tergolek di atas lantai tanah beralas tikar anyaman
zak bekas karung beras. “ Sejak lahir Tuminah sudah lumpuh,” terang
Kamisih.
Praktis hidup ketiga penghuni rumah itu sepenuhnya
bergantung pada Kamisih. Padahal untuk merawat Tuminah yang menderita
Acute Placid Paralysisi, atau lumpuh layu itu saja, waktu dan tenaga
Kamisih sudah terkuras.
Beruntung Tuhan memberi perempuan itu hati yang demikian
kuat sehingga derita yang luar biasa berat itu ditanggungnya. 27 tahun
Kamisih menanggung beban hidup seberat itu seorang diri.
Sampun,suaminya, telah berpulang ke haribaan Tuhan saat Tuminah masih
bermukim di rahimnya.
Tak ada sumber pendapatan. Sepetak kecil pekarangan di
samping rumahnya sama sekali tak bisa dijadikan sandaran. Selain luasnya
tak seberapa, sebagian tanahnya longsong karena saking lamanya tak
tergarap.
“ Bagaimana saya bisa menggarap pekarangan itu, Tuminah sama sekali tidak bisa saya tinggal. Mboke (Sakini) dan Pake (Lasiman)keadaannya ya seperti itu. Jadi ya seharian penuh saya harus di rumah,” kata Kamisih.
Untuk bisa bertahan hidup hingga sedemekian lamanya,
Kamisih keluarganya total berharap dari kemurahan hati orang-orang di
sekitarnya. Jagung, beras dan kadang lauk sering diterima Kamisih dari
tetangga sekitarnya, terlebih saat musim panen. Selebihnya, tak ada.
Tetapi Tuhan tak akan memberi ujian tanpa batas akhir.
Kamisih saat ini bisa bernafas sedikit lega. Rumah tempat tinggalnya
sudah jauh lebih nyaman dibanding sebelumnya. Atap bukan lagi anyaman
daun siwalan, tapi telah berganti genting tanah. Dindingnya, meski tetap
dari anyaman bambu, tetapi sudah tidak bolong-bolong lagi.
Tiang-tiangnya pun sudah berdiri tegak.
Setahun lalu rumah ini nyaris roboh karena
tiang-tiangnya telah keropos termakan usia. “ Pak RT dan warga bergotong
royong memperbaikinya,” kata Kamisih.
Kamisih tidak berharap lebih lagi. Ia mengaku sudah
sangat pasrah dengan apa yang dianugerahkan Tuhan kepada keluarganya
ini. Bukan lantaran ia telah putus asa sebab keniscayaan melihat Tuminah
bisa sembuh dari penyakitnya hampir tak ada. Ia tahu betul penyakit
yang diderita Tuminah itu tak mudah disembuhkan, terlebih tanpa memiliki
biaya sepeserpun.
Ia hanya berharap Tuhan memberinya kekuatan dan usia
yang lebih panjang agar bisa terus menjalankan tugasnya merawat Tuminah
dan kedua orang tuanya itu. “ Kalau saya meninggal, terus bagaimana
nasib Tuminah…..” kata Kamisih dengan tatapan menerawang
0 komentar :
Posting Komentar