Kamis, 19 Desember 2013

on Leave a Comment

AIR MATA IBU KAMISIH

Air Mata Kamisih….

Untuk artikel gendhis kali ini kita ke kecamatan semanding tuban:
sebelumnya gendhis minta maaf yang sebesar besarnya sana keluarga bapak ''LASIMAN
bukan bermaksud mencela atauapa pun, gendhis hanya pengen mengulas bahwa di daerah kita masihbanyak keluarga keluargayang kurang mampu yang perlu perhatian khususnya pemerintah bagaimana menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.
sekali lagi gendhis minta maaf dan terima kasih...

Dusun Sendang Pancur, Desa Genaharjo, Kecamatan Semanding, Mentari masih garang membakar bumi, Sejauh mata memandang, hanya hamparan tanah merah berbatu yang tersaji. Tak tampak sebatang-pun tanaman selain tonggak-tonggak pohon jagung dan hamparan huma itu.
Namun tampaknya keadaan ini tidak seberapa memprihatikan dibanding keadaan rumah berbilik bambu yang berdiri agak jauh dari rumah-rumah lainnya itu. Bukan sebab rumah itu berdiri di tepian jurang dan sedikit terpencil dengan akses jalan yang nyaris tak ada yang membuat rumah milik Kamisih (50) itu lebih memprihatinkan.

Di rumah itu tinggal empat orang yang kesemuanya tidak berdaya didera takdir buruk. Dari ke-empat penghuninya, hanya Kamisih seorang yang agak sehat. Lasiman, Kepala Keluarganya, ayah Kamisih, menyandang tumor. Sakini, ibunya, 25 tahun menderita katarak hingga penglihatannya tak berfungsi lagi. Sementara Tuminah Asih (27), anak Kamisih, hanya mampu tergolek di atas lantai tanah beralas tikar anyaman zak bekas karung beras. “ Sejak lahir Tuminah sudah lumpuh,” terang Kamisih.
Praktis hidup ketiga penghuni rumah itu sepenuhnya bergantung pada Kamisih. Padahal untuk merawat Tuminah yang menderita Acute Placid Paralysisi, atau lumpuh layu itu saja, waktu dan tenaga Kamisih sudah terkuras.
Beruntung Tuhan memberi perempuan itu hati yang demikian kuat sehingga derita yang luar biasa berat itu ditanggungnya. 27 tahun Kamisih menanggung beban hidup seberat itu seorang diri. Sampun,suaminya, telah berpulang ke haribaan Tuhan saat Tuminah masih bermukim di rahimnya.
Tak ada sumber pendapatan. Sepetak kecil pekarangan di samping rumahnya sama sekali tak bisa dijadikan sandaran. Selain luasnya tak seberapa, sebagian tanahnya longsong karena saking lamanya tak tergarap.

“ Bagaimana saya bisa menggarap pekarangan itu, Tuminah sama sekali tidak bisa saya tinggal. Mboke (Sakini) dan Pake (Lasiman)keadaannya ya seperti itu. Jadi ya seharian penuh saya harus di rumah,” kata Kamisih.
Untuk bisa bertahan hidup hingga sedemekian lamanya, Kamisih keluarganya total berharap dari kemurahan hati orang-orang di sekitarnya. Jagung, beras dan kadang lauk sering diterima Kamisih dari tetangga sekitarnya, terlebih saat musim panen. Selebihnya, tak ada.
Tetapi Tuhan tak akan memberi ujian tanpa batas akhir. Kamisih saat ini bisa bernafas sedikit lega. Rumah tempat tinggalnya sudah jauh lebih nyaman dibanding sebelumnya. Atap bukan lagi anyaman daun siwalan, tapi telah berganti genting tanah. Dindingnya, meski tetap dari anyaman bambu, tetapi sudah tidak bolong-bolong lagi. Tiang-tiangnya pun sudah berdiri tegak.
Setahun lalu rumah ini nyaris roboh karena tiang-tiangnya telah keropos termakan usia. “ Pak RT dan warga bergotong royong memperbaikinya,” kata Kamisih.
Kamisih tidak berharap lebih lagi. Ia mengaku sudah sangat pasrah dengan apa yang dianugerahkan Tuhan kepada keluarganya ini. Bukan lantaran ia telah putus asa sebab keniscayaan melihat Tuminah bisa sembuh dari penyakitnya hampir tak ada. Ia tahu betul penyakit yang diderita Tuminah itu tak mudah disembuhkan, terlebih tanpa memiliki biaya sepeserpun.
Ia hanya berharap Tuhan memberinya kekuatan dan usia yang lebih panjang agar bisa terus menjalankan tugasnya merawat Tuminah dan kedua orang tuanya itu. “  Kalau saya meninggal, terus bagaimana nasib Tuminah…..”  kata Kamisih dengan tatapan menerawang

0 komentar :

Posting Komentar

Gendhis savindra. Diberdayakan oleh Blogger.