Tangis pedihku pecah saat membaca pesan singkat darimu. Menusuk hati paling dalam. Kau hancurkan hati dan cintaku berserakan menjadi kenangan. Entah setan apa yang tengah merasukimu, hingga kau tega mengkhianati cintaku seperti ini.
Malam betapa hening, bagi Nadia, seperti malam-malam sebelumnya, meski berada di tengah hiruk-pikuk cafe dan tembang lagu yang dibawakan band yang sedang tampil begitu terdengar berisik. Hari itu, aku berjanji bertemu dengan Andy. Bulan bersinar pucat. Aku menunggunya dengan gelisah di sebuah café kecil, dengan harap – harap cemas. CopaCoffee. Ada sesuatu yang akan Revan bicarakan. Kami berjanji akan makan malam bersama. Tiga puluh menit sudah aku menunggunya.
Langkah denting piano memasuki café mungil itu. Revan, dengan setelan baju abu –abu terang dan jeans biru, dia melangkah menghampiri mejaku. Meja nomer lima.
“Kamu berubah, Van. Ada apa denganmu?”
“Aku tak berubah. Dia, yang berubah. Anggun.”
“Kamu tahu Anggun temanku, dan aku tak mungkin mengkhianatinya!”
“Kamu tinggal bilang, mau atau tidak jalani hubungan ini denganku?”
“Kamu tega, Van.”
Semua berawal dari pertemuan yang sederhana. Aku, kamu dan dia. Anggun mengenalkan Revan sebagai pacarnya pada suatu hari. Kami bersahabat, berangkulan dalam gelak tawa. Hingga aku tak percaya. Revan mulai berpaling dari Anggun.
Aku terdiam. Tapi aku juga tak bisa memungkiri, bahwa aku menikmati saat bersamamu tanpa Anggun. Menikmati menjadi kita. Menikmati cinta.
“Aku tak mau mencintai hati yang sudah dicintai sahabatku.”
“Kamu yakin?”
Pertanyaan sederhana yang sungguh membuat hatiku tersentak. Gemertak gigi penuh emosi menjadi musik penghibur hati. Sungguh aku belum yakin dengan hatiku. Aku menyanyangimu, tapi nuraniku tak bisa melukai perasaan sahabatku. Anggun. Dia yang sudah memperkenalkan kita. Aku harus memilih. Meninggalkan dan rela melepasmu. Atau bersamamu, merangkul indahnya cinta, meraih semua mimpi dunia yang telah kita susun bersama. Dan membunuh perasaan sahabatku.
Aku memaki dalam diam. Sial!.
Tangis pedihku pecah saat membaca pesan singkat darimu. Menusuk hati paling dalam. Kau hancurkan hati dan cintaku berserakan menjadi kenangan. Entah setan apa yang tengah merasukimu, hingga kau tega mengkhianati cintaku seperti ini.
Aku tak menyangka kau meninggalkan aku demi dia, kekasih barumu. Kau kekasih hatiku, sumber inspirasi puisi – puisiku. Telah membunuh hati dan mimpiku dengan tenang. Lalu terbang meninggalkan serpih kenangan dan melayang pergi dengan kekasih hati baru. Hati yang mencintai aku telah pergi. Tinggallah aku serupa titik dilangit yang kelam.
Ranting kering menggaruk angin musim kemarau. Kesendirian telah menjadi temanku malam ini. Hanya suara tikus yang bercicit dihalaman itu. Langkahnya ringan penari balet. Dia seperti tengah melukis sesuatu diudara. Dia mengepak – ngepakkan tangan seperti sedang terbang. Dia menari dengan langkah kaki yang canggung. Seolah – olah sedang memakai sepatu kaca. Ini pestanya, ini dunianya. Dunia dimana patah hati terjadi sebelum jatuh cinta.
Dia memanjat sebuah kursi, berpuisi diatas panggung. Meliuk – liukkan badannya. Dia tertawa, dunianya berkilau bintang seperti kunang – kunang. Membungkukkan badan, melambaikan gaun merah mudanya. Dia turun dari kursi, melangkah kesana – kemari menyalami para tamu, menyapa dan tersenyum manis sekali. Bersenandung dalam gempita kilau bintang laksana kunang – kunang.
Aku menatap dalam matanya. Dia cantik dalam balutan rasa malu – malu gaun merah mudanya. Menyadari kehadiranku dipestanya, Menyambut dan memelukku dalam – dalam. Aku cium pipinya. Hai semuanya! Pesta yang meriah! Dia bertepuk tangan, aku mengikutinya. Dia kembali kenebarkan senyum bahagia kepada tamu – tamunya. Mengharap banyak cinta.
Pesta belum usai, dia terus menari. Malam masih panjang karena matahari akan terlambat datang esok hari. Malam gemerlap pesta berhias kerlip ribuan kunang – kunang. Dia berdansa, menari berputar – putar. Senyumnya mengembang indah. Senyumku mengembang juga mengikuti tariannya. Berangkulan, terus berputar – putar mengikuti langkahnya. Kelelahan hingga aku jatuh terjerembab menindih tubuhnya.
Dia tertawa membahana memenuhi ruangan. Bangkit dan memanjangkan tangannya untukku. Kami berpelukan lagi. Kini, dia tertawa lepas diruang labis busa ini. Sudah lebih tiga bulan dia tertawa dan menari seperti ini. Pesta tiada akhir di ruangannya.
“Apakah dia bisa sembuh, Dok?”
“Tentu saja bisa, tapi butuh waktu agak lama. Dia sedang angat menikmati keadaannya seperti ini sekarang.”
“Apa yang membuatnya bisa seperti ini?”
“Dia bercita – cita menjadi seorang penulis. Penulis puisi tepatnya. Dia sangat pandai merangkai kata menjadi sangat indah dinikmati. Sudah banyak hasil karyanya yang dia tuangkan dalam sebuah blog. Belum ada yang dibukukan. Belum mempunyai kepercayaan diri untuk menerbitkan sebuah buku puisi. Dia senang sekali membacakan puisi – puisinya dipentas seni kebudayaan. Ada satu puisi yang sangat indah sekali yang sedianya akan dia hadiahkan pada kekasihnya saat ulang tahun. Tapi, tak disangka, sehari sebelum hari ulang tahun kekasihnya, mereka putus. Kekasihnya memutuskan jalinan kasih mereka lebih tepatnya. Belum sempat puisi itu diberikan. Dia sangat mencintai kekasihnya. Karena dia sampai mengorbankan persahabatannya demi mendapatkan cinta kekasihnya itu. Dia tak bisa terima cintanya ternodai dengan pengkhianatan kekasihnya. Entah bagaimana ceritanya hingga akhirnya dia telah menuntaskan hidup kekasihnya. Semua itu dia lakukan tanpa sadar, sampai sekarang. Dia masih menganggap bahwa kekasihnya masih bersamanya dan selalu menemaninya saat dia membacakan pusi – puisinya dipanggung. Makanya dia selalu kelihatan bahagia. Pengadilan memvonis dia mengalami gangguan jiwa”
Mahasiswa – mahasiswi kedokteran itupun mencatat apa yang perlu dicatat atas keterangan tentang pasien barusan.
“Dokter sangat mengetahui dengan detail tentang latar belakang pasien. Sepertinya dokter sudah cukup dekat dengannya, apakah dokter sudah mengenal sebelumnya?”
“Semua pasien yang kita tangani, kita harus jelas sudah mengetahui latar belakang penyebab sakitnya. Bagaimana kita bisa menolongnya jika kita tak tahu dari mana memulai menolongnya”
Dengan tersenyum simpul, aku meninggalkan tempat itu menuju ruanganku. Ruang praktikku di rumah sakit jiwa ini, yang berukuran 3 x 4. Sudah hampir dua tahun aku menjadi dokter muda dirumah sakit ini. Sampai akhirnya aku bertemu Nadia lagi. Iya, Nadia sahabatku yang telah merebut Revan kekasihku dulu. Tiga bulan lalu dengan keadaan yang sangat mengenaskan.
Entah karma atau de javu. Aku masih bersyukur, ternyata aku masih lebih kuat dibanding Nadia. Disaat keterpurukanku dulu, atas pengkhianatan kekasihku yang lebih memilih menjalin kasih dengan sahabatku sendiri dan mengecilkan arti cintaku. Aku juga hampir gila, mengutuk mereka berdua manusia terjahat yang pernah aku kenal.
Hingga akhirnya, ada tangan malaikat yang berhasil meraih tanganku untuk kembali kedunia yang nyata. Aditya, yang telah mengembalikan duniaku. Dunia yang seharusnya memang indah. Aku memandangi dua bingkai foto diatas mejaku.
Bingkai pertama bergambar foto saat kami masih bertiga, bersahabat, saling tertawa seakan ingin mengalahkan indahnya dunia. Tak terasa mataku mengembun olah air mata yang hampir jatuh. Indahnya mengenang masa – masa itu.
Aku mengalihkan pandangan ke bingkai satunya, berbentuk hati. Aku bersama malaikatku. Yang sudah satu tahun ini menemani hari – hariku. Aku tersenyum menatap foto itu. Tiba – tiba ada getaran dari ponsel di saku jas dokterku.
“Jangan lupa makan siangmu, sayang. Ingat, si kecil yang ada diperutmu juga butuh makan. Salam sayang dari suamimu, salam juga buat si kecil.”
Dunia kecilku yang laksana bianglala berhias pelangi seusai hujan, indah berputar menurut kehendak semesta.
0 komentar :
Posting Komentar