Cinta Di Batas Mendung Yang Tak Berujung |
Bojonegoro :Cerita pendek yang sangat menyentuh " cinta di batas mendung tak berujung" ketikan demi ketikan jemari di atas tuuuttts laptopku sebaris dua baris dan tak terasa sudah satu halaman penuh dengan di temani se gelas caffe moccacino dan roti panggang my faforrit,keasikanku menulis dalam kamarku yaanggg eeemmmm ...
di luar mendung mulai jatuh dan rintik air hujan membentur kaca jendela kamarku .. sunyi dan sangat sunyi
Cinta Di Batas Mendung Yang Tak Berujung |
Reina, dari balik jendelanya
mengamati jutaan tetesan air hujan yang jatuh beramai-ramai sore itu. Dia
menikmatinya bersama dengan segelas moccacino ditangannya. Moccacino hangat
yang digenggamnya, cukup berhasil membuat moodnya kembali baik. Dan sepertinya
moccacino hangat itu juga mampu menghangatkan tubuhnya yang kedinginan karena
hujan diluar.
“sampai kapan kau mau berdiri depan jendela seperti itu?” tanya pria itu. “kau
tidak sedang patah hati kan?” lanjutnya sambil menghampiri Reina yang sedang
berdiri depan jendela.
Reina hanya tersenyum lalu mengacuhkan pria itu.
“Haaa, kenapa dia? ” keluh pria itu.
Di meja, Reina kembali menatap layar laptopnya, kemudian ia melanjutkan tugas
yang diberi oleh dosennya lusa lalu.
2 jam berlalu, hujan sepertinya sudah mengering diluar sana. Reina merasa
inilah waktu yang tepat untuk kembali ke rumah. Ia takkan kehujanan hari ini.
Selain sudah terlalu larut untuk meneteskan airnya, sepertinya awan lelah
menangis dari tadi. Segeralah ia berkemas, kemudian jalan keluar dari gedung
kampusnya.
Malam ini sudah pukul 22:30, tidak ada lagi orang-orang di gedung itu, kecuali
penjaga gedung kampus dan keluarganya. Pria yang tadi menggodanya sewaktu di
perpustakaan, ia sudah pergi duluan, setengah jam yang lalu, sebelum Reina
memutuskan untuk pulang.
Dia jalan menuju ke rumah, sendirian, ahh tidak. Dia berdua dengan bayangannya.
Malam ini dingin sekali, mungkin efek dari turunnya hujan tadi. Reina lupa
membawa jaket hangatnya. Karena itulah, Reina harus kuat menahan dinginnya
malam ini.
“haa.. apa ini?” tangan Reina menadang keatas. Sepertinya awan ingin menangis
lagi. segeralah ia menepi, mencari tempat untuk meneduh. Ia tak ingin kehujanan
lagi malam ini. “Hah, kalau setiap pulang ke rumah hujan-hujanan, bisa menurun
daya imunku. Tidak! Aku tidak mau sakit.” Keluhnya dalam hati.
Saat ia meneduh di tepi jalan, beberapa kali ia melihat pasangan kekasih
berlari bersama. Sebagian besar dari mereka mencari tempat berteduh, tapi ada
juga yang justru sengaja bermain lari-larian ditengah derasnya hujan. “Hahh,
seperti anak TK saja. Sudah larut padahal, tapi kenapa mereka masih saja
berkeliaran? APA INGIN MEMBUATKU IRI? Hem.” JENGKEL DALAM HATI”
Dan sepertinya, hujan malam ini enggan berhenti. Sudah hampir 1jam ia berdiri
ditepi itu untuk meneduh, tapi tidak dilihatnya tanda-tanda hujan akan
berhenti. Hari semakin larut, hanya tinggal beberapa menit saja, tengah malam.
Tapi Reina masih saja di tepi jalan itu. Seperti menunggu seseorang, tapi bukan
seseorang. Melainkan menunggu sang awan berhenti menangis.
Berbicara menunggu, sama halnya seperti mengharap sesuatu. Entah itu apa atau
siapa. Yang jelas, menunggu adalah hal yang sangat membosankan. Reina takkan
mengulanginya. Tapi sepertinya, ia akan mengulangnya. Tidak akan terulang, jika
ia memutuskan untuk bergerak pergi dari sana. Hingga pada akhirnya, ia
memutuskan untuk menerobos saja hujan malam ini. ia berfikir, hujan malam ini
tidak berujung.
Sesampainya di rumah, ia benar-benar basah. Tanpa babibu, ia langsung pergi ke
kamar mandi dan membersihkan dirinya agar tidak menjadi penyakit di kemudian
hari. Tak peduli itu pukul berapa, mau sedingin apa airnya, yang penting hujan
hari ini tidak menjadikannya sulit di kemudian hari.
Selesai membersihkan dirinya, ia melemparkan tubuhnya di atas kasur. Ia
siap-siap untuk tidur, agar besok ia tidak telat ke acara tersebut. Dan malam
ini, ia tidur dengan nyenyak.
*kriiiiiiiiiing.. kriiiiiing..kriiiiiiiiing*
Alarm Reina berbunyi. Sulit rasanya ia membuka mata. Mungkin itu efek karena ia
tidur pagi. Bukan malam lagi, karena sudah lebih dari larut malam.
5 menit selang alarm menyala, dering ponsel Reina berbunyi. Dengan mata yang
susah dibuka, ia meraba-raba dan meraih handphonenya, ketika didapatnya, “Pagi
sayang.. aku rindu kamu. Bisa kita ketemu?” Suara laki-laki dari diseberang
sana, berhasil membuat mata Reina terbuka sempurna.
“hah?” jawab Reina kaget. Ia melihat dari balik ponselnya, melihat nama penelpon
yang dengan tiba-tiba saja menelponnya. Ya, dia Firman. Lelaki yang membuatnya
menunggu. Dan Firman juga yang telah membuat Reina untuk tidak lagi menunggu.
“Re, kamu masih disana?” suara itu menyadarkan Reina dari lamunannya.
“kamu masih menyimpan nomor ponselku? Aku kira ke reset. Jadi kamu lupa
menghubungiku.” Ketusnya.
“Maaf Re, kamu tau kan bagaimana dunia aku?” katanya memelas.
“eum..”
“jangan marah, sayang. Kita janjian jam 10 ketemu tempat biasa ya?” katanya.
“kenapa harus janjian? Kenapa engga kamu aja yang jemput aku? Lagi pula...”
Reina belum selesai bicara, Firman memotongnya.
“aku gak bisa lama-lama. Aku harus nganter mama berobat.”
“oh, gitu. Yasudah, aku juga engga bisa. Hari ini aku harus menghadiri berbagai
macam event. Lain kali saja kita bertemunya.” Kata Reina kesal.
“Yah, kok gitu sih yang. Aku kan.....”
Reina sepertinya tidak ingin mendengarkan alasan Firman. Bukannya tak percaya,
tapi Reina ingin Firman sedikit lebih peka. Reina muak dengan hubungan mereka
belakangan ini. belum lagi masalah Firman mendua, yang tak pernah Reina ungkit
selama ini. Reina hanya ingin Firman menjadi seperti dulu, selalu
memprioritaskan Reina diatas segalanya. Tidak ada istilah dunianya, atau apalah
itu. Reina juga enggan berdebat panjang diponsel. Lagi pula, jika di
perdebatkan, sudah pasti Firman yang terlebih dahulu mengakhirinya. Jadi,
sebelum itu terjadi, Reina lah yang terlebih dahulu melakukannya.
“sudah ya, aku ada janji jam 9. Atur aja lagi jadwal bertemu kita. Sepertinya
duniamu jauh lebih menarik dibanding aku. Sampai ketemu (bila kamu nekat untuk
menemuiku hari ini).” katanya kepada Firman lalu mengakhiri teleponnya.
“oke teman-teman BumFM, satu lagi lagu yang bakal Reina puterin buat kamu kamu
semua, ini lagu untuk orang kesayangan Reina, sampai ketemu besok, masih di
stasiun radio dan jam yang sama, Reina pamit, selamat siang, selamat menjalani
aktivitas, check this out...”
Selesai sudah tugas Reina sebagai penyiar radio siang ini.
“Are you okay?” tanya salah seorang teman penyiar Reina, sekaligus sahabatnya
semenjak SMP, Gina.
“eum..” Reina hanya menganggukkan kepalanya dan memasang wajah yang meyakinkan
bahwa ia tidak apa-apa.
“Jadi jam berapa acaranya?” tanya Gina.
“Acara apa?” Reina justru balik bertanya.
“Haaa.. Konser bandnya Bayu, gebetan lo itu..” Ledek Gina.
“Ohh.” Jawab Reina santai. Gina pun memasang muka bingung.
“Apa? Gebetan gue? Ngaco lo! Gue masih pacar sahnya Firman nih! Ish.” Ketus
Reina.
“euumm.. Berarti kalo lo pacar sahnya, foto cewe yang waktu itu lo kasih liat
ke gue, itu pacar tidak sahnya Firman?”
“he eum..” Reina mengangguk.
“tapi, Firman ngelakuin hal yang sama loohh ke cewe itu kaya waktu Firman
nembak lo. Berarti pacar sahnya juga kan?” ledek Gina.
“Ginaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa” rengek Reina.
“Hahahaaaa.. Ya lagi elo sibuk banget nungguin Firman. Firman aja disana engga
nungguin lo. Capedeh.”
“Gue udah engga nunggu Firman kok. Gue udah moveon!”
“Moveon? TEORI! Kalo lo udah moveon, tanda lope lope dibelakang nama kontak
Firman lo apus dong. Bila perlu, sekalian aja nomornya, orangnya juga, elo apus
deh tuh dari hidup lo.” Ketus Gina.
“engga semudah mengedipkan mata Giii. Semua butuh proses, moveon juga butuh
yang namanya proses. Yang instan itu cuma mie indomie.”
“oke okee.. tapi....” belum Gina menyelesaikan omongannya, Reina justru pergi
meninggalkannya.
“gue duluan, ada janji, bye..” pamit Reina.
“Haaaa.. anak itu..” kesal Gina.
Sesampainya di luar gedung, sepertinya awan ingin menangis lagi. Benar saja,
baru 3 kali melangkah, air hujan pun berjatuhan. “halaahh, lagi lagi ujan.”
Kesal Reina sambil berlari menepi mencari tempat untuk berteduh.
Siang ini ia kembali menunggu. Menunggu untuk sang hujan. Reina sangat benci
melakukan ini. karena, kata “menunggu” itu mengingatkan ia kepada sosok laki-laki
yang menjadi kesayangannya. Sosok kesayangan yang harus segera dilupakan. Agar
sakitnya tidak berkepanjangan. Reina juga ingin hidup tenang, Reina ingin
melakukan hal yang sama seperti Firman. Reina ingin dengan dan atau tanpa
Firman, Reina baik-baik saja. namun pada kenyataannya, TIDAK. Melupakan Firman
itu sama saja bunuh diri. sakitnya justru berkepanjangan.
Sambil menunggu hujan berlalu, Reina menatap layar ponselnya. Di gambar
pembukanya, masih gambar Reina dan Firman. Ia mengamatinya, sambil membatin
“tadi pagi kamu bilang, kamu rindu aku. Aku jauh lebih rindu sama kamu Man.”
Tetesan air selain air hujan itu melintas lagi di pipi Reina.
“lagu terakhir yang bakal Bayu nyanyiin buat teman-teman disini. Terimakasih
sudah mau datang, terlebih lagi perempuan yang duduk di dekat jendela sana.
lagu ini Bayu buat sendiri khusus untuk dia..”
Reina hanya menoleh, lalu melontarkan senyuman ke arah Bayu. Lalu? Menatap lagi
ke arah jendela. Entah apa yang Reina fikirkan kala itu. Tapi, Bayu berhasil
menyanyikan lagu ciptaannya yang dibuat untuk Reina dengan sangat sempurna dan
memukau. Bayu merona di depan panggung sana. tepuk tangan para penonton kafe
itu membuktikan bahwa penampilan penutup Bayu sangatlah menghibur. Di tambah
lagi reaksi Reina yang duduk disebelah sana. Reina tersenyum dan bertepuk
tangan seakan Reina setuju dengan para penonton kala itu.
“sederhana tapi sangat memukau. Kamu terlihat sangat hebat Bay malam ini. aku
sangat menikmati lagu terakhirmu tadi.” Puji Reina kepada Bayu.
“Ahh.. kamu bisa saja. itu juga berkat kamu Rei.. Aku jadi lebih bersemangat
malam ini.” jawab Bayu.
“tidak Bay.. Kamu memang berbakat dalam bidang ini. inilah dunia kamu. Aku
bukan apa-apa Bay.”
“sstt.. Rei..” kata Bayu sambil mendekatkan jari telunjuknya ke bibir Reina
guna menghentikan semua perkataan yang keluar dari mulut Reina.
“ini memang bakatku, tapi ini bukan duniaku. Duniaku adalah kamu, kamu sumber
semangatku. Bagaimana bisa kamu ini bukan apa-apa? aku menempatkan kamu
dibagian paling penting dalam hidupku. Sudah berapa kali Rei, aku menjelaskan
semua perasaan aku ke kamu? Aku sayang kamu.” Katanya.
Bayu mendekatkan bibirnya ke kening Reina. Tapi, Reina menghindar.
“engga Bay, engga boleh. Aku masih punya status sama yang lain. Lagi pula aku
gamau nyakitin perasaan kamu. Aku gamau kamu kecewa karena sikap aku yang acuh
tak acuh sama kamu. Aku udah berusaha baik ke kamu, aku udah usaha buat
mengada-adakan perasaan itu, tapi tetep Bay, aku gabisa. Firman terlalu sulit
untuk aku hapus dalam hidup aku. Jangan tanya kenapa, tapi yang jelas untuk
kesekian kalinya aku menolak kamu. Maaf..” kata Reina dan kemudian ia pergi
meninggalkan Bayu disana.
Diluar kafe, ternyata awan menangis lagi. sepertinya awan sedang galau akut.
Hingga air yang selalu dijatuhkannya ke bumi tak ada ujungnya. Dan untuk
kesekian kalinya Reina kehujanan. Tapi kali ini, Reina tidak peduli, mau
sekuyup apa dia nanti. Dia perlu menenangkan fikirannya. Mungkin dibawah
derasnya hujan, ia bisa setidaknya sedikit saja tenang.
Tak ada yang salah sebenarnya dari Bayu. Dia baik, berbakat, pengertian,
perhatian, dan sangat tidak pantas untuk ditolak. Tapi, entah kenapa Reina
justru lebih memilih mempertahankan Firman, yang jelas-jelas sudah mendua.
Sesampainya Reina di rumah, ia benar-benar basah karena hujan. Seperti biasa,
tanpa babibu dia langsung membersihkan dirinya. Setelah membersihkan dirinya,
ia berniat untuk segera memejamkan matanya dan beristirahat. Meski belum
terlalu larut malam, tapi suasana dingin karena efek hujan diluar sangatlah
mendukung untuk memejamkan mata dan beristirahat sampai esok hari.
Tapi sebelum ia benar-benar nyenyak, tiba-tiba saja dering ponselnya berbunyi.
Disana, dilihatnya nama kontak yang memanggilnya adalah Firman. “sudahkah ia
bosan dengan dunianya hingga akhirnya dia sadar bahwa ia membutuhkanku?!” ketus
Reina dalam hati.
“apa?” jawab Reina.
“kamu udah di rumah?”
“udah, kenapa?”
“bisa keluar sebentar? Ada bintang loh” rayu Firman.
“bintang? Ngaco! Sekarang kan lagi hujan” jawab Reina sambil menghampiri pintu
dan kemudian membukanya.
Betapa terkejutnya Reina, ternyata didepan pintu rumah, disana Firman berdiri
seorang diri dengan membawa sebuket bunga Lily putih kesukaan Reina.
“Happy Anniversary untuk yang ke 5 bulan sayaang. Sekarang aku bisa dengan
jelas melihat bintang itu.”
Reina masih belum percaya, bahwa yang berdiri di depannya itu adalah Firman.
Reina hampir lupa kalo hari ini adalah hari anniversary hubungan mereka yang ke
lima bulan. Tidak ada kata selain kata bahagia yang Reina tau untuk sekarang
ini. ia hanya mampu menutup mulutnya dengan tangan dan mata berkaca-kaca. Reina
bahagia, sangat sangat sangat bahagia. Reina merasa kebahagiaan yang dulu
hilang, kini kembali pulang.
“Man, ini beneran kamu kan?” tanya Reina meyakinkan. “Aku engga sedang bermimpi
kan Man?”
“engga sayang. Ini beneran aku. Aku datang karena aku ingin melihat bintangku
dari dekat. Aku rindu kamu.” Katanya meyakinkan Reina bahwa Reina tidak sedang
bermimpi malam ini.
Sekejap, tanpa berkata apa-apa lagi, Reina langsung memeluk Firman. Dan Reina
sekarang ada didekapan Firman. Reina menangis bahagia didekapan Firman.
Sampai-sampai Reina lupa mempersilakan Firman masuk ke dalam. padahal dingin
diluar sangatlah menusuk tulang.
“sampai kapan kita mau berpelukan seperti ini Re? Kamu tau, ini dingin sekali.”
Perkataan Firman itu menyadarkan Reina. Dan kemudian segeralah Reina
mempersilakan Firman masuk ke dalam rumah.
Sesampainya mereka didalam, Firman memberikan surprise bertubi-tubi untuk
Reina. Berawal dari sebuket bunga Lily, menyanyikan lagu favorit mereka berdua
sambil bermain gitar, memberi bingkisan kecil yang berisi kalung emas putih
berbentuk hati, dan menemani Reina sepanjang malam hingga Reina tidur nyenyak
malam ini.
“Semalam itu....” Reina berhenti bicara dan memperhatikan jendela. Ia jalan
menuju jendela dan membuka tirainya. “ternyata hujan benar-benar galau akut.
Padahal semalam aku bahagia sekali. Kali ini kita tidak senasib seperjuangan,
langit. Aku sudah kehilangan awan mendungku dan sekarang awan mendung itu
berganti menjadi pelangi. Selamat pagi...” cerianya pagi ini.
Hari ini Reina terlihat lebih baik dari hari sebelumnya. Rona bahagia
diwajahnya sangat terlihat jelas. Rasanya seperti ia akan hidup untuk
selama-lamanya. Begitu hebatnya sosok seorang Firman. Ia mampu menyulap
hari-hari Reina yang hampir mendung setiap harinya menjadi hari yang penuh
dengan warna dan pelangi. Mungkin itulah salah satu alasan kenapa Reina tidak
bisa menghapus Firman begitu saja.
“Semalam Firman pulang jam berapa ya?” fikirnya sambil mengotak-atik ponselnya.
Ia berniat untuk menghubungi Firman guna menanyakan itu.
“Nuuttt..
Halloo, Reina ya?” sapa seorang perempuan dari seberang sana.
“Ini siapa ya?” jawab Reina kebingungan. Ia melihat layar ponselnya lagi guna
memastikan bahwa ia tidak salah sambung. “benar ah aku menghubungi nomor
Firman..” batin Reina.
Ada kekhawatiran yang tiba-tiba muncul. Reina menjadi sangat khawatir lagi
ketika didengarnya suara jeritan perempuan memanggil nama Firman.
Berulang-ulang. Kemudian terdengar suara tangis perempuan yang mengangkat
telepon Reina.
“Maaf, ini siapa ya? itu siapa yang berteriak? Firman kenapa? Ini siapa? Kenapa
suaranya seperti orang menangis? Haloo.. haloooo?” tanya Reina dengan paniknya.
Reina tidak mendapatkan semua jawaban atas pertanyaan tadi. Reina hanya disuruh
perempuan itu untuk segera ke rumah Firman. Tanpa fikir panjang, Reina langsung
pergi kesana.
Diperjalanan, Reina mencoba menghubungi Gina, sahabatnya. Namun, tidak bisa. Ia
bingung harus apa. bukannya ia takut untuk pergi kesana sendirian, tapi Reina
ingin Gina mengetahuinya. Atau jangan-jangan Gina sudah tau?
Sesampainya Reina di kediaman Firman, ia mengiyakan firasat buruknya itu.
“Kenapa jadi seperti ini? apa ini akibat karena aku terlalu menyombongkan diri?
apa ini? mereka semua kenapa? Kenapa berpakaian gelap seperti itu? dimana
Firman? Apa dia ikut-ikutan memakai pakaian-pakaian gelap itu?” batin Reina
sambil melewati satu per satu orang yang ada di sekitar rumah Firman.
Sesampainya didalam, bibir Reina menjadi kaku, tubuh Reina serasa sangat lemas,
kaki seperti tidak lagi mampu menopang berat tubuh, matanya mulai berair,
hidung mulai memerah, Reina sadar akan satu hal, Firman tidak ikut memakai
pakaian-pakaian gelap itu, melainkan Firmanlah yang membuat mereka mengenakan
pakaian itu.
Tidak ada lagi yang Reina ingat setelah kejadian tadi. Reina terkulai lemas
karena itu. Reina menangis sangat keras. Ia belum bisa menerima kenyataan.
Reina kehilangan Firman selama-lamanya.
“Semalam kamu bilang, kamu janji gak akan ninggalin aku lagi. kamu janji
bakalan mengganti semua waktu yang aku buang karena terlalu sibuk menunggu
kamu. Kamu janji untukkk.... Lihat sekarang Man, lagi-lagi kamu ingkari janji
kamu. Lagi-lagi aku kecewa karena kamu. Aku mungkin akan sangat marah Man jika
kamu masih bernafas depan aku sekarang. Tapi aku bisa apa? aku gamau Man
ngeliat kamu terbujur kaku kaya gini. Aku sayang kamu Maaannnnn..”
“Rei.. Udaahh.. Percuma kamu nangis kaya gini. Gaakan pernah ngubah kehendak
Tuhan..” kata Gina menenangkan Reina.
Diruang dimana hanya ada Reina dan Gina, seorang perempuan menghampiri mereka.
Buat Reina, wajah perempuan ini sudah tidak asing. Pernah melihat atau mungkin
bertemu tapi entah dimana. Reina tidak terlalu mempermasalahkannya. Kali ini
Reina sedang kacau. Tak ada yang Reina fikirkan selain kenyataan bahwa Firman
telah meninggalkannya.
“Maaf kak, hanya ini yang Mas Firman tinggalkan untuk kakak sebelum beliau
pergi.” Kata perempuan itu sambil menyodorkan secarik kertas. Sepertinya surat
wasiat.
“”Dear Reina sayang,
aku tau kamu pasti akan membaca surat ini. surat ini bukan surat wasiat. Aku
menulis surat ini hanya untuk mengakui bahwa aku benar-benar menyayangimu. Aku
tau kamu pernah dengar kabar soal aku yang mendua. Demi TUHAN, selama aku
menghembuskan napasku hingga akhir napasku hembuskan, aku hanya menyayangimu.
Tidak, aku tidak pernah mendua sayang. Wanita yang waktu itu kamu perlihatkan
gambarnya kepada Gina adalah adik sepupuku.
Pengakuan selanjutnya adalah Bayu. Ia adalah sahabat baikku. Maaf aku tidak
memberitau tentangnya ke kamu. Karena setelah aku di diagnosis dokter karena
penyakit terkutukku ini, aku rasa aku perlu dia untuk menjaga kamu. Maka selama
ini, aku membiarkannya untuk mencuri hati kamu. Tapi ternyata, bukan hati kamu
yang tercuri olehnya. Hatinya lah yang tlah tercuri olehmu. Kamu kira aku tidak
marah akan hal itu? Aku marah sekali Re. Tapi, penyakit terkutukku ini
benar-benar mengutukku sehingga aku benar-benar harus mengalah oleh waktu. Aku
berfikir, Bayu lebih bisa sering ada didekat kamu dibanding aku.
Lalu duniaku, maaf Re.. kamu tau sebelumnya, bahwa duniaku itu adalah kamu. Aku
hanya tidak ingin membebani fikiran kamu. Aku hanya ingin kamu fokus kepada
tugasmu sebagai seorang mahasiswi. Biarlah aku sendirian yang menahan sakit
karena obat-obatan ini.
Maaf juga untuk janji terakhirku Re.. Aku tau kamu pasti sangat marah, dan bila
aku ada dihadapanmu sekarang, pasti kamu sudah mencaci makiku.
Hanya satu yang perlu kamu ingat Re, aku selalu ada bersama kamu. Langkahmu,
hatimu, dan fikiranmu.””
Reina tidak henti-hentinya menangis. Entah apa yang dia rasakan sekarang.
Menyesal? Marah? Yang Reina tau, semua ini adalah salahnya. Reina yang tak
pernah mau mendengar alasan yang selalu Firman ingin katakan. Andai saja Reina
menunggu dengan mencari tau sesuatu. Pasti rasa sesaknya takkan sesakit itu.
“Semalam itu bagaikan mimpi indah sepanjang musim hujan. Andai aku bisa
menghentikan waktu saat itu, aku tak pernah ingin kejadian hari ini...” sesal
Reina.