Sabtu, 27 Februari 2016

on Leave a Comment

Cinta Di Batas Mendung Yang Tak Berujung


https://cahkenongo.blogspot.com
 Cinta Di Batas Mendung Yang Tak Berujung

Bojonegoro :Cerita pendek yang sangat menyentuh " cinta di batas mendung tak berujung" ketikan demi ketikan jemari di atas tuuuttts laptopku sebaris dua baris dan tak terasa sudah satu halaman penuh dengan di temani se gelas caffe moccacino dan roti panggang my faforrit,keasikanku menulis dalam kamarku yaanggg eeemmmm ...
di luar mendung mulai jatuh dan rintik air hujan membentur kaca jendela kamarku .. sunyi dan sangat sunyi



https://cahkenongo.blogspot.com
 Cinta Di Batas Mendung Yang Tak Berujung

Reina, dari balik jendelanya mengamati jutaan tetesan air hujan yang jatuh beramai-ramai sore itu. Dia menikmatinya bersama dengan segelas moccacino ditangannya. Moccacino hangat yang digenggamnya, cukup berhasil membuat moodnya kembali baik. Dan sepertinya moccacino hangat itu juga mampu menghangatkan tubuhnya yang kedinginan karena hujan diluar. 




“sampai kapan kau mau berdiri depan jendela seperti itu?” tanya pria itu. “kau tidak sedang patah hati kan?” lanjutnya sambil menghampiri Reina yang sedang berdiri depan jendela.


Reina hanya tersenyum lalu mengacuhkan pria itu.

“Haaa, kenapa dia? ” keluh pria itu.

Di meja, Reina kembali menatap layar laptopnya, kemudian ia melanjutkan tugas yang diberi oleh dosennya lusa lalu.

2 jam berlalu, hujan sepertinya sudah mengering diluar sana. Reina merasa inilah waktu yang tepat untuk kembali ke rumah. Ia takkan kehujanan hari ini. Selain sudah terlalu larut untuk meneteskan airnya, sepertinya awan lelah menangis dari tadi. Segeralah ia berkemas, kemudian jalan keluar dari gedung kampusnya.

Malam ini sudah pukul 22:30, tidak ada lagi orang-orang di gedung itu, kecuali penjaga gedung kampus dan keluarganya. Pria yang tadi menggodanya sewaktu di perpustakaan, ia sudah pergi duluan, setengah jam yang lalu, sebelum Reina memutuskan untuk pulang.

Dia jalan menuju ke rumah, sendirian, ahh tidak. Dia berdua dengan bayangannya. Malam ini dingin sekali, mungkin efek dari turunnya hujan tadi. Reina lupa membawa jaket hangatnya. Karena itulah, Reina harus kuat menahan dinginnya malam ini.

“haa.. apa ini?” tangan Reina menadang keatas. Sepertinya awan ingin menangis lagi. segeralah ia menepi, mencari tempat untuk meneduh. Ia tak ingin kehujanan lagi malam ini. “Hah, kalau setiap pulang ke rumah hujan-hujanan, bisa menurun daya imunku. Tidak! Aku tidak mau sakit.” Keluhnya dalam hati.

Saat ia meneduh di tepi jalan, beberapa kali ia melihat pasangan kekasih berlari bersama. Sebagian besar dari mereka mencari tempat berteduh, tapi ada juga yang justru sengaja bermain lari-larian ditengah derasnya hujan. “Hahh, seperti anak TK saja. Sudah larut padahal, tapi kenapa mereka masih saja berkeliaran? APA INGIN MEMBUATKU IRI? Hem.” JENGKEL DALAM HATI”

Dan sepertinya, hujan malam ini enggan berhenti. Sudah hampir 1jam ia berdiri ditepi itu untuk meneduh, tapi tidak dilihatnya tanda-tanda hujan akan berhenti. Hari semakin larut, hanya tinggal beberapa menit saja, tengah malam. Tapi Reina masih saja di tepi jalan itu. Seperti menunggu seseorang, tapi bukan seseorang. Melainkan menunggu sang awan berhenti menangis.

Berbicara menunggu, sama halnya seperti mengharap sesuatu. Entah itu apa atau siapa. Yang jelas, menunggu adalah hal yang sangat membosankan. Reina takkan mengulanginya. Tapi sepertinya, ia akan mengulangnya. Tidak akan terulang, jika ia memutuskan untuk bergerak pergi dari sana. Hingga pada akhirnya, ia memutuskan untuk menerobos saja hujan malam ini. ia berfikir, hujan malam ini tidak berujung.

Sesampainya di rumah, ia benar-benar basah. Tanpa babibu, ia langsung pergi ke kamar mandi dan membersihkan dirinya agar tidak menjadi penyakit di kemudian hari. Tak peduli itu pukul berapa, mau sedingin apa airnya, yang penting hujan hari ini tidak menjadikannya sulit di kemudian hari.

Selesai membersihkan dirinya, ia melemparkan tubuhnya di atas kasur. Ia siap-siap untuk tidur, agar besok ia tidak telat ke acara tersebut. Dan malam ini, ia tidur dengan nyenyak.


*kriiiiiiiiiing.. kriiiiiing..kriiiiiiiiing*

Alarm Reina berbunyi. Sulit rasanya ia membuka mata. Mungkin itu efek karena ia tidur pagi. Bukan malam lagi, karena sudah lebih dari larut malam.

5 menit selang alarm menyala, dering ponsel Reina berbunyi. Dengan mata yang susah dibuka, ia meraba-raba dan meraih handphonenya, ketika didapatnya, “Pagi sayang.. aku rindu kamu. Bisa kita ketemu?” Suara laki-laki dari diseberang sana, berhasil membuat mata Reina terbuka sempurna.

“hah?” jawab Reina kaget. Ia melihat dari balik ponselnya, melihat nama penelpon yang dengan tiba-tiba saja menelponnya. Ya, dia Firman. Lelaki yang membuatnya menunggu. Dan Firman juga yang telah membuat Reina untuk tidak lagi menunggu.

“Re, kamu masih disana?” suara itu menyadarkan Reina dari lamunannya.

“kamu masih menyimpan nomor ponselku? Aku kira ke reset. Jadi kamu lupa menghubungiku.” Ketusnya.

“Maaf Re, kamu tau kan bagaimana dunia aku?” katanya memelas.

“eum..”

“jangan marah, sayang. Kita janjian jam 10 ketemu tempat biasa ya?” katanya.

“kenapa harus janjian? Kenapa engga kamu aja yang jemput aku? Lagi pula...” Reina belum selesai bicara, Firman memotongnya.

“aku gak bisa lama-lama. Aku harus nganter mama berobat.”

“oh, gitu. Yasudah, aku juga engga bisa. Hari ini aku harus menghadiri berbagai macam event. Lain kali saja kita bertemunya.” Kata Reina kesal.

“Yah, kok gitu sih yang. Aku kan.....”

Reina sepertinya tidak ingin mendengarkan alasan Firman. Bukannya tak percaya, tapi Reina ingin Firman sedikit lebih peka. Reina muak dengan hubungan mereka belakangan ini. belum lagi masalah Firman mendua, yang tak pernah Reina ungkit selama ini. Reina hanya ingin Firman menjadi seperti dulu, selalu memprioritaskan Reina diatas segalanya. Tidak ada istilah dunianya, atau apalah itu. Reina juga enggan berdebat panjang diponsel. Lagi pula, jika di perdebatkan, sudah pasti Firman yang terlebih dahulu mengakhirinya. Jadi, sebelum itu terjadi, Reina lah yang terlebih dahulu melakukannya.

“sudah ya, aku ada janji jam 9. Atur aja lagi jadwal bertemu kita. Sepertinya duniamu jauh lebih menarik dibanding aku. Sampai ketemu (bila kamu nekat untuk menemuiku hari ini).” katanya kepada Firman lalu mengakhiri teleponnya.


“oke teman-teman BumFM, satu lagi lagu yang bakal Reina puterin buat kamu kamu semua, ini lagu untuk orang kesayangan Reina, sampai ketemu besok, masih di stasiun radio dan jam yang sama, Reina pamit, selamat siang, selamat menjalani aktivitas, check this out...”

Selesai sudah tugas Reina sebagai penyiar radio siang ini.

“Are you okay?” tanya salah seorang teman penyiar Reina, sekaligus sahabatnya semenjak SMP, Gina.

“eum..” Reina hanya menganggukkan kepalanya dan memasang wajah yang meyakinkan bahwa ia tidak apa-apa.

“Jadi jam berapa acaranya?” tanya Gina.

“Acara apa?” Reina justru balik bertanya.

“Haaa.. Konser bandnya Bayu, gebetan lo itu..” Ledek Gina.

“Ohh.” Jawab Reina santai. Gina pun memasang muka bingung.

“Apa? Gebetan gue? Ngaco lo! Gue masih pacar sahnya Firman nih! Ish.” Ketus Reina.

“euumm.. Berarti kalo lo pacar sahnya, foto cewe yang waktu itu lo kasih liat ke gue, itu pacar tidak sahnya Firman?”

“he eum..” Reina mengangguk.

“tapi, Firman ngelakuin hal yang sama loohh ke cewe itu kaya waktu Firman nembak lo. Berarti pacar sahnya juga kan?” ledek Gina.

“Ginaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa” rengek Reina.

“Hahahaaaa.. Ya lagi elo sibuk banget nungguin Firman. Firman aja disana engga nungguin lo. Capedeh.”

“Gue udah engga nunggu Firman kok. Gue udah moveon!”

“Moveon? TEORI! Kalo lo udah moveon, tanda lope lope dibelakang nama kontak Firman lo apus dong. Bila perlu, sekalian aja nomornya, orangnya juga, elo apus deh tuh dari hidup lo.” Ketus Gina.

“engga semudah mengedipkan mata Giii. Semua butuh proses, moveon juga butuh yang namanya proses. Yang instan itu cuma mie indomie.”

“oke okee.. tapi....” belum Gina menyelesaikan omongannya, Reina justru pergi meninggalkannya.

“gue duluan, ada janji, bye..” pamit Reina.

“Haaaa.. anak itu..” kesal Gina.

Sesampainya di luar gedung, sepertinya awan ingin menangis lagi. Benar saja, baru 3 kali melangkah, air hujan pun berjatuhan. “halaahh, lagi lagi ujan.” Kesal Reina sambil berlari menepi mencari tempat untuk berteduh.

Siang ini ia kembali menunggu. Menunggu untuk sang hujan. Reina sangat benci melakukan ini. karena, kata “menunggu” itu mengingatkan ia kepada sosok laki-laki yang menjadi kesayangannya. Sosok kesayangan yang harus segera dilupakan. Agar sakitnya tidak berkepanjangan. Reina juga ingin hidup tenang, Reina ingin melakukan hal yang sama seperti Firman. Reina ingin dengan dan atau tanpa Firman, Reina baik-baik saja. namun pada kenyataannya, TIDAK. Melupakan Firman itu sama saja bunuh diri. sakitnya justru berkepanjangan.

Sambil menunggu hujan berlalu, Reina menatap layar ponselnya. Di gambar pembukanya, masih gambar Reina dan Firman. Ia mengamatinya, sambil membatin “tadi pagi kamu bilang, kamu rindu aku. Aku jauh lebih rindu sama kamu Man.” Tetesan air selain air hujan itu melintas lagi di pipi Reina.


“lagu terakhir yang bakal Bayu nyanyiin buat teman-teman disini. Terimakasih sudah mau datang, terlebih lagi perempuan yang duduk di dekat jendela sana. lagu ini Bayu buat sendiri khusus untuk dia..”

Reina hanya menoleh, lalu melontarkan senyuman ke arah Bayu. Lalu? Menatap lagi ke arah jendela. Entah apa yang Reina fikirkan kala itu. Tapi, Bayu berhasil menyanyikan lagu ciptaannya yang dibuat untuk Reina dengan sangat sempurna dan memukau. Bayu merona di depan panggung sana. tepuk tangan para penonton kafe itu membuktikan bahwa penampilan penutup Bayu sangatlah menghibur. Di tambah lagi reaksi Reina yang duduk disebelah sana. Reina tersenyum dan bertepuk tangan seakan Reina setuju dengan para penonton kala itu.

“sederhana tapi sangat memukau. Kamu terlihat sangat hebat Bay malam ini. aku sangat menikmati lagu terakhirmu tadi.” Puji Reina kepada Bayu.

“Ahh.. kamu bisa saja. itu juga berkat kamu Rei.. Aku jadi lebih bersemangat malam ini.” jawab Bayu.

“tidak Bay.. Kamu memang berbakat dalam bidang ini. inilah dunia kamu. Aku bukan apa-apa Bay.”

“sstt.. Rei..” kata Bayu sambil mendekatkan jari telunjuknya ke bibir Reina guna menghentikan semua perkataan yang keluar dari mulut Reina.

“ini memang bakatku, tapi ini bukan duniaku. Duniaku adalah kamu, kamu sumber semangatku. Bagaimana bisa kamu ini bukan apa-apa? aku menempatkan kamu dibagian paling penting dalam hidupku. Sudah berapa kali Rei, aku menjelaskan semua perasaan aku ke kamu? Aku sayang kamu.” Katanya.

Bayu mendekatkan bibirnya ke kening Reina. Tapi, Reina menghindar.

“engga Bay, engga boleh. Aku masih punya status sama yang lain. Lagi pula aku gamau nyakitin perasaan kamu. Aku gamau kamu kecewa karena sikap aku yang acuh tak acuh sama kamu. Aku udah berusaha baik ke kamu, aku udah usaha buat mengada-adakan perasaan itu, tapi tetep Bay, aku gabisa. Firman terlalu sulit untuk aku hapus dalam hidup aku. Jangan tanya kenapa, tapi yang jelas untuk kesekian kalinya aku menolak kamu. Maaf..” kata Reina dan kemudian ia pergi meninggalkan Bayu disana.

Diluar kafe, ternyata awan menangis lagi. sepertinya awan sedang galau akut. Hingga air yang selalu dijatuhkannya ke bumi tak ada ujungnya. Dan untuk kesekian kalinya Reina kehujanan. Tapi kali ini, Reina tidak peduli, mau sekuyup apa dia nanti. Dia perlu menenangkan fikirannya. Mungkin dibawah derasnya hujan, ia bisa setidaknya sedikit saja tenang.

Tak ada yang salah sebenarnya dari Bayu. Dia baik, berbakat, pengertian, perhatian, dan sangat tidak pantas untuk ditolak. Tapi, entah kenapa Reina justru lebih memilih mempertahankan Firman, yang jelas-jelas sudah mendua.

Sesampainya Reina di rumah, ia benar-benar basah karena hujan. Seperti biasa, tanpa babibu dia langsung membersihkan dirinya. Setelah membersihkan dirinya, ia berniat untuk segera memejamkan matanya dan beristirahat. Meski belum terlalu larut malam, tapi suasana dingin karena efek hujan diluar sangatlah mendukung untuk memejamkan mata dan beristirahat sampai esok hari.

Tapi sebelum ia benar-benar nyenyak, tiba-tiba saja dering ponselnya berbunyi. Disana, dilihatnya nama kontak yang memanggilnya adalah Firman. “sudahkah ia bosan dengan dunianya hingga akhirnya dia sadar bahwa ia membutuhkanku?!” ketus Reina dalam hati.

“apa?” jawab Reina.

“kamu udah di rumah?”

“udah, kenapa?”

“bisa keluar sebentar? Ada bintang loh” rayu Firman.

“bintang? Ngaco! Sekarang kan lagi hujan” jawab Reina sambil menghampiri pintu dan kemudian membukanya.

Betapa terkejutnya Reina, ternyata didepan pintu rumah, disana Firman berdiri seorang diri dengan membawa sebuket bunga Lily putih kesukaan Reina.

“Happy Anniversary untuk yang ke 5 bulan sayaang. Sekarang aku bisa dengan jelas melihat bintang itu.”

Reina masih belum percaya, bahwa yang berdiri di depannya itu adalah Firman. Reina hampir lupa kalo hari ini adalah hari anniversary hubungan mereka yang ke lima bulan. Tidak ada kata selain kata bahagia yang Reina tau untuk sekarang ini. ia hanya mampu menutup mulutnya dengan tangan dan mata berkaca-kaca. Reina bahagia, sangat sangat sangat bahagia. Reina merasa kebahagiaan yang dulu hilang, kini kembali pulang.

“Man, ini beneran kamu kan?” tanya Reina meyakinkan. “Aku engga sedang bermimpi kan Man?”

“engga sayang. Ini beneran aku. Aku datang karena aku ingin melihat bintangku dari dekat. Aku rindu kamu.” Katanya meyakinkan Reina bahwa Reina tidak sedang bermimpi malam ini.

Sekejap, tanpa berkata apa-apa lagi, Reina langsung memeluk Firman. Dan Reina sekarang ada didekapan Firman. Reina menangis bahagia didekapan Firman. Sampai-sampai Reina lupa mempersilakan Firman masuk ke dalam. padahal dingin diluar sangatlah menusuk tulang.

“sampai kapan kita mau berpelukan seperti ini Re? Kamu tau, ini dingin sekali.” Perkataan Firman itu menyadarkan Reina. Dan kemudian segeralah Reina mempersilakan Firman masuk ke dalam rumah.

Sesampainya mereka didalam, Firman memberikan surprise bertubi-tubi untuk Reina. Berawal dari sebuket bunga Lily, menyanyikan lagu favorit mereka berdua sambil bermain gitar, memberi bingkisan kecil yang berisi kalung emas putih berbentuk hati, dan menemani Reina sepanjang malam hingga Reina tidur nyenyak malam ini.


“Semalam itu....” Reina berhenti bicara dan memperhatikan jendela. Ia jalan menuju jendela dan membuka tirainya. “ternyata hujan benar-benar galau akut. Padahal semalam aku bahagia sekali. Kali ini kita tidak senasib seperjuangan, langit. Aku sudah kehilangan awan mendungku dan sekarang awan mendung itu berganti menjadi pelangi. Selamat pagi...” cerianya pagi ini.

Hari ini Reina terlihat lebih baik dari hari sebelumnya. Rona bahagia diwajahnya sangat terlihat jelas. Rasanya seperti ia akan hidup untuk selama-lamanya. Begitu hebatnya sosok seorang Firman. Ia mampu menyulap hari-hari Reina yang hampir mendung setiap harinya menjadi hari yang penuh dengan warna dan pelangi. Mungkin itulah salah satu alasan kenapa Reina tidak bisa menghapus Firman begitu saja.

“Semalam Firman pulang jam berapa ya?” fikirnya sambil mengotak-atik ponselnya. Ia berniat untuk menghubungi Firman guna menanyakan itu.

“Nuuttt..
Halloo, Reina ya?” sapa seorang perempuan dari seberang sana.

“Ini siapa ya?” jawab Reina kebingungan. Ia melihat layar ponselnya lagi guna memastikan bahwa ia tidak salah sambung. “benar ah aku menghubungi nomor Firman..” batin Reina.

Ada kekhawatiran yang tiba-tiba muncul. Reina menjadi sangat khawatir lagi ketika didengarnya suara jeritan perempuan memanggil nama Firman. Berulang-ulang. Kemudian terdengar suara tangis perempuan yang mengangkat telepon Reina.

“Maaf, ini siapa ya? itu siapa yang berteriak? Firman kenapa? Ini siapa? Kenapa suaranya seperti orang menangis? Haloo.. haloooo?” tanya Reina dengan paniknya.

Reina tidak mendapatkan semua jawaban atas pertanyaan tadi. Reina hanya disuruh perempuan itu untuk segera ke rumah Firman. Tanpa fikir panjang, Reina langsung pergi kesana.

Diperjalanan, Reina mencoba menghubungi Gina, sahabatnya. Namun, tidak bisa. Ia bingung harus apa. bukannya ia takut untuk pergi kesana sendirian, tapi Reina ingin Gina mengetahuinya. Atau jangan-jangan Gina sudah tau?

Sesampainya Reina di kediaman Firman, ia mengiyakan firasat buruknya itu.

“Kenapa jadi seperti ini? apa ini akibat karena aku terlalu menyombongkan diri? apa ini? mereka semua kenapa? Kenapa berpakaian gelap seperti itu? dimana Firman? Apa dia ikut-ikutan memakai pakaian-pakaian gelap itu?” batin Reina sambil melewati satu per satu orang yang ada di sekitar rumah Firman.

Sesampainya didalam, bibir Reina menjadi kaku, tubuh Reina serasa sangat lemas, kaki seperti tidak lagi mampu menopang berat tubuh, matanya mulai berair, hidung mulai memerah, Reina sadar akan satu hal, Firman tidak ikut memakai pakaian-pakaian gelap itu, melainkan Firmanlah yang membuat mereka mengenakan pakaian itu.



Tidak ada lagi yang Reina ingat setelah kejadian tadi. Reina terkulai lemas karena itu. Reina menangis sangat keras. Ia belum bisa menerima kenyataan. Reina kehilangan Firman selama-lamanya.

“Semalam kamu bilang, kamu janji gak akan ninggalin aku lagi. kamu janji bakalan mengganti semua waktu yang aku buang karena terlalu sibuk menunggu kamu. Kamu janji untukkk.... Lihat sekarang Man, lagi-lagi kamu ingkari janji kamu. Lagi-lagi aku kecewa karena kamu. Aku mungkin akan sangat marah Man jika kamu masih bernafas depan aku sekarang. Tapi aku bisa apa? aku gamau Man ngeliat kamu terbujur kaku kaya gini. Aku sayang kamu Maaannnnn..”

“Rei.. Udaahh.. Percuma kamu nangis kaya gini. Gaakan pernah ngubah kehendak Tuhan..” kata Gina menenangkan Reina.

Diruang dimana hanya ada Reina dan Gina, seorang perempuan menghampiri mereka. Buat Reina, wajah perempuan ini sudah tidak asing. Pernah melihat atau mungkin bertemu tapi entah dimana. Reina tidak terlalu mempermasalahkannya. Kali ini Reina sedang kacau. Tak ada yang Reina fikirkan selain kenyataan bahwa Firman telah meninggalkannya.

“Maaf kak, hanya ini yang Mas Firman tinggalkan untuk kakak sebelum beliau pergi.” Kata perempuan itu sambil menyodorkan secarik kertas. Sepertinya surat wasiat.

“”Dear Reina sayang,
aku tau kamu pasti akan membaca surat ini. surat ini bukan surat wasiat. Aku menulis surat ini hanya untuk mengakui bahwa aku benar-benar menyayangimu. Aku tau kamu pernah dengar kabar soal aku yang mendua. Demi TUHAN, selama aku menghembuskan napasku hingga akhir napasku hembuskan, aku hanya menyayangimu. Tidak, aku tidak pernah mendua sayang. Wanita yang waktu itu kamu perlihatkan gambarnya kepada Gina adalah adik sepupuku.
Pengakuan selanjutnya adalah Bayu. Ia adalah sahabat baikku. Maaf aku tidak memberitau tentangnya ke kamu. Karena setelah aku di diagnosis dokter karena penyakit terkutukku ini, aku rasa aku perlu dia untuk menjaga kamu. Maka selama ini, aku membiarkannya untuk mencuri hati kamu. Tapi ternyata, bukan hati kamu yang tercuri olehnya. Hatinya lah yang tlah tercuri olehmu. Kamu kira aku tidak marah akan hal itu? Aku marah sekali Re. Tapi, penyakit terkutukku ini benar-benar mengutukku sehingga aku benar-benar harus mengalah oleh waktu. Aku berfikir, Bayu lebih bisa sering ada didekat kamu dibanding aku.
Lalu duniaku, maaf Re.. kamu tau sebelumnya, bahwa duniaku itu adalah kamu. Aku hanya tidak ingin membebani fikiran kamu. Aku hanya ingin kamu fokus kepada tugasmu sebagai seorang mahasiswi. Biarlah aku sendirian yang menahan sakit karena obat-obatan ini.
Maaf juga untuk janji terakhirku Re.. Aku tau kamu pasti sangat marah, dan bila aku ada dihadapanmu sekarang, pasti kamu sudah mencaci makiku.
Hanya satu yang perlu kamu ingat Re, aku selalu ada bersama kamu. Langkahmu, hatimu, dan fikiranmu.””

Reina tidak henti-hentinya menangis. Entah apa yang dia rasakan sekarang. Menyesal? Marah? Yang Reina tau, semua ini adalah salahnya. Reina yang tak pernah mau mendengar alasan yang selalu Firman ingin katakan. Andai saja Reina menunggu dengan mencari tau sesuatu. Pasti rasa sesaknya takkan sesakit itu.

“Semalam itu bagaikan mimpi indah sepanjang musim hujan. Andai aku bisa menghentikan waktu saat itu, aku tak pernah ingin kejadian hari ini...” sesal Reina.

0 komentar :

Posting Komentar

Gendhis savindra. Diberdayakan oleh Blogger.