salahkah aku memilih cinta |
Pada pertengahan april 2014 merupakan waktu yang begitu rentan bagi saya. Hati dan pikiran saya tercurah pada satu hal yang tidak pasti. Ya, saya menyadari bahwa saya sedang mengalami jatuh cinta sekaligus patah hati. Tapi, jatuh cinta saya kali ini sangat berbeda. Pengalaman baru untuk diri saya sebagai seorang wanita biasa.
Baru dua hari yang lalu saya dan
dia saling jujur masalah perasaan. Semalam kita pun kembali membicarakannya
penuh keseriusan. Ya, kami berdua sama-sama tahu bahwa kami menginginkan
keseriusan yang jelas dalam sebuah hubungan. Mengingat usia kami yang tidak
lagi remaja. Saya yang sebentar lagi menginjak 21 tahun dan dia yang akan
menginjak 24 tahun. Umur yang cukup matang untuk ke tahap yang lebih serius.
Sayangnya, setiap hal yang kami
inginkan tidak berjalan mulus. Berulang kali dia bertanya dan berusaha ingin
mendapatkan jawaban dari saya atas pertanyaan, "Kamu yakin mau sama aku?
Aku bukan pria baik-baik. Sedangkan kamu adalah wanita baik-baik,"
"Ya, aku yakin," jawab
saya sambil menerka-nerka ada rahasia apa di balik pertanyaan yang ia ajukan.
"Tolok ukur baik tidaknya seseorang dilihat berdasarkan penilaian
masing-masing orang. Buat aku, kamu baik," tambahku berusaha meyakinkan.
"Kamu cantik dan
baik," ujarnya perlahan seraya menghela napas panjang. "Rasanya aku
nggak pantas mendapatkan kamu. Kamu terlalu baik. Kamu masih polos, lugu dan
aku hanya takut nantinya malah mengecewakanmu atau menyakitimu."
Hening, saya hanya terdiam.
Kemudian dia melanjutkan,
"Aku yakin pria yang bisa mendapatkan kamu adalah pria yang beruntung.
Pria yang baik, pria yang sholeh, pria yang sejajar dengan kamu. Jarang loh,
masih ada wanita sebaik dan secantik kamu saat ini. Kamu wanita baik-baik yang
masih bisa menjaga diri kamu. Kalau aku jadi sama kamu, aku hanya takut nggak
bisa menjaga kamu."
"Tidak bisa menjaga dalam
arti apa?"
"Ya, kamu mengertilah. Kita
sudah dewasa. Aku takut tidak bisa menjaga yang satu itu."
"Okay, I know it. Tapi kamu
masih punya kesempatan untuk berubah."
"Ya, tapi hingga saat ini
aku belum berubah. Aku masih sama. Aku takut suatu saat aku kumat dan aku takut
menyakiti kamu."
"Tapi aku yakin, setiap
pria pasti pernah melakukan hal yang tidak baik dan nanti ada saatnya ketika
mereka benar-benar berada pada satu titik bahwa ia akan berhenti. Setiap orang
bisa berubah dan itu semua kembali pada diri kamu sendiri."
"Iya, aku tau itu. Tapi aku
takut kumat."
"Kamu cuma takut pada
bayanganmu sendiri."
"Ya, iya sih."
Jawabnya dengan nada putus asa.
"Kamu jangan merasa diri
kamu serendah itu. Kita semua sama di mata Tuhan. Kita punya derajat yang sama
sebagai manusia. Hanya saja perilaku yang membedakan. Masa lalu kamu, biarlah
kamu simpan. Kalau kamu berkata seperti itu, apa kamu nggak pernah berpikir
bisa mendapatkan wanita baik-baik?"
"Setahu aku, jodoh itu
merupakan cerminan dari diri kita. Apa yang telah aku lakukan, aku perbuat
selama ini terlalu buruk. Suatu saat aku akan mendapatkan wanita yang merupakan
cerminan dari diriku."
Aku kembali menyanggah dan
rasanya tidak adil jika ia harus berbicara seperti itu. Seolah-olah ia merasa
pesimis pada hidupnya sendiri. "Tapi apakah pria buruk tidak memiliki
kesempatan untuk mendapatkan wanita baik?"
"Aku nggak tahu."
"Kamu pernah sadar nggak,
Tuhan punya rahasia ketika Dia mempertemukan seseorang ke dalam hidup orang
itu?"
"Maksudnya?"
"Maksudnya Tuhan punya
rahasia mengapa aku dan kamu dipertemukan. Kita nggak tahu apa tujuan Tuhan
telah mempertemukan aku dan kamu. Tuhan punya cara dan rencananya sendiri.
Biasanya dari cara dan rencananya itu Tuhan memberikan jawaban. Tapi kita nggak
tau apa jawaban di balik semua itu."
"Oh iya, jadi masih misteri
ya. No one knows."
"Ya, itulah. Jadi kamu
nggak perlu pesimis sama hidup kamu. Nggak semua pria buruk tidak bisa
mendapatkan wanita baik."
"Iya..." jawabnya
menggantung ragu-ragu.
"Dari pertama kenal, kamu
sendiri nyaman nggak sama aku?"
"Nyaman, nyaman banget.
Kamu wanita baik-baik yang aku kenal. Kamu itu baik banget."
"Dan, baru kali ini aku
menemukan orang yang takut memacari aku karena masa lalu, sikap dan perilakunya
yang nggak baik."
"Maaf ya, kalau aku bilang
kayak gitu. Aku cuma mau jujur aja sama kamu. Biar kamu tahu pahitnya
dulu."
"Iya, nggak apa-apa. Aku
malah sangat menghargai kamu dengan mengatakan yang sebenarnya."
Percakapan kami berjalan ringan
begitu saja. Diawali dengan membicarakan pekerjaan hingga diakhiri percakapan
serius mengenai hidup dan masa depan. Walaupun rasanya sedih tapi saya harus
bisa menerima kenyataan dan menerima kekhawatiran dia. Saya harus bisa mengerti
meskipun Tuhan telah menciptakan rasa ini di hati saya. Dan…, yang kulakukan masih sama, setiap kali kami berjalan
bersama, kuambil beberapa langkah mundur darinya, dan, kulihat dirinya, aku
tersenyum sekaligus sedih.
Ya, mungkin kami lebih cocok
sebagai teman baik dan teman untuk saling berbagi cerita tentang pengalaman
hidup. That's all.
***
0 komentar :
Posting Komentar