Rabu, 19 Agustus 2015

on 1 comment

Tuban Yang Eksotik Terpancar Dari Keindahan Pantai Sowan


http://cahkenongo.blogspot.com
Pantai Sowan
Kita mengulang sejarah Tuban Dari jaman Raja Airlangga hingga kesultanan mataram pantai pesisir tuban sangat vital keberadaannya,hingga pada masa modern abad 21 ini tuban masih bias memberikan angin segar bagi sumbangan keindahan dalam hal pariwisata terutama dalam hal keindahan pantai yang asri alami dengan tumbuhan mangrove menghiasi bibir pantai.  Jika anda penyuka vacation saya sarankan untuk datang ke kabupaten tuban di kota ini terdapat banyak pantai yang indah nan eksotis, sunset nan jingga merona di saat senja, gerombolan mega laksana emas permata sangat luar biasa .. Tuban yang eksotis terpancar dari keindahan pantai sowan
Bila Anda menuju Tuban dari arah barat (Rembang, Jawa Tengah), tempat menarik yang akan Anda jumpai pertama kali di wilayah Kabupaten Tuban adalah Pantai Sowan. Pantai ini berada di area Perhutani KPH Tuban, tak jauh dari Jalur Pantai Utara Jawa (Pantura) tepatnya di Desa Sowan, Kecamatan Bancar, Kabupaten Tuban. Jaraknya sekitar 35 km dari pusat Kota Tuban. Selain pasir putih dan air lautnya yang biru, daya tarik Pantai Sowan adalah suasananya yang masih sangat alami dengan pepohonan yang rindang di tepi pantai. Tak heran kalau pantai ini ramai dikunjungi Warga Tuban di hari libur atau di akhir pekan. Untuk mencapai Pantai Sowan sangat mudah.

Dari Jalur Pantura di Desa Sowan, Anda tinggal belok kiri (bila datang dari arah Rembang) sekitar 1 km hingga Anda tiba di Pantai Sowan. Untuk masuk ke pantai ini Anda dikenakan retribusi sebesar Rp 3.000 per orang. Biaya yang cukup murah untuk menikmati keindahan pantai berpasir putih yang jarang terdapat di Pulau Jawa.


Perbatasan antara Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Jawa Timur, pada pinggir jalur Pantura. Sehingga, dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan umum ataupun kendaraan pribadi. Secara administratif, Wana Wisata (WW) Pantai Sowan terletak di Dusun Sowan, Desa Bogorejo, Kecamatan Bancar, Kabupaten Tuban. Keadaannya yang dibiarkan apa adanya terkesan alami dan menawarkan seribu pesona keindahan. Ketika ombaknya berdeburan menyentuh batu karang dan rerumputan, ditopang nyiur dedaunan perdu di sepanjang pantainya, menjadikan suasana wisata begitu nyaman untuk dinikmati.



http://cahkenongo.blogspot.com/
pantai sowan

http://cahkenongo.blogspot.com/
pantai sowan

http://cahkenongo.blogspot.com/
pantai sowan

http://cahkenongo.blogspot.com/
pantai sowan

http://cahkenongo.blogspot.com/
pantai sowan

http://cahkenongo.blogspot.com/
pantai sowan

http://cahkenongo.blogspot.com/
pantai sowan

http://cahkenongo.blogspot.com/
pantai sowan

http://cahkenongo.blogspot.com/
pantai sowan

http://cahkenongo.blogspot.com/
pantai sowan

http://cahkenongo.blogspot.com/
pantai sowan

http://cahkenongo.blogspot.com/
pantai sowan

http://cahkenongo.blogspot.com/
pantai sowan


pantai sowan
http://cahkenongo.blogspot.com/
pantai sowan

Rabu, 12 Agustus 2015

on 1 comment

Aku Cinta Kamu Selamanya



https://cahkenongo.blogspot.com
Aku Cinta Kamu Selamanya

Aku cinta kamu selamanya (I LOVE YOU FOREVER)Ini salah satu hasil karya cerpenis berbakat indonesia aku kira sangat bagus, cerita yang mengangkat percintaan remaja dan segala permasalahannya. Sedih, romantic, konyol semua lengkap anda anda semua pecinta cerpen pasti sangat menikmati alur cerita yang sangat seru haru biru.. ehhehee …ok  I will not say much, come


Siang yang begitu melelahkan, hari ini keluargaku sibuk menata rumah dan mempersiapkan makan siang. Aku Putri anak ke-dua dari mama papa, aku punya kakak cowok yang super nyebelin, namanya kak Eri. Semua anggota keluarga sibuk dengan pekerjaanya masing-masing. Aku sendiri sedang membersihkan debu-debu dengan kemoceng. “uhuk..uhuk..” aku batuk-batuk setelah debu itu masuk kehidungku. “yee.. kenapa lo? Bengek?.” Kak Erik meledekku. “apaan sih kak? Aku itu alergi debu tau!”

“alergi??? Yaiyalah kalo debu masuk kehidung pasti batuk .”

“itu tau..ahh kak Eri nih.” Akupun memukul punggung kak Eri dengan kemoceng. Kami pun terlihat bercanda saat bersih-bersih.

“eh..eh.. kalian itu apaan sih. Udah jangan bercanda ah. Gak ada waktu lagi ini.” Mama tiba-tiba datang.

“iya mah iya..” kataku nurut.
 Setelah semua beres, aku pun langsung bertanya dengan mama.

“ma, emang ada apa sih? Kok kita beres-beres rumahnya mendadak.”

“nanti itu ada tamu sayang.” Jawab mama.

“memangnya tamu itu spesial ya mah..” tanyaku lagi.

“hm.. spesial gak ya..” papa tiba-tiba menyahut dari belakang.

“ih.. papa, aku serius nih” gerutu aku.

“sudah kamu ganti pakaian gih sekarang, habis itu langsung turun ya.” Perintah mama.

“iya mah.” Tanpa membantah perintah mama, Aku langsung naik keatas, untuk ganti pakaian.

Setelah aku ganti pakaian aku langsung turun, aku mengenakan atasan putih trendy masa kini yang lebih casual dengan celana jeans hitam tanggung yang biasa kupakai. Dan nampaknya tamu itu telah datang. Aku pun segera menyapa tamu itu. Mama dan papa pun menyuruh aku untuk segera menyantap makan siang bersama tamu itu. Aku memerhatikan satu per satu tamunya, nampaknya satu keluarga.

“selamat menikmati makan siang ini, semoga aja suka.” Mama berkata setelah semua siap untuk menyantapnya.

“sebelumnya, kenalin dulu.. mereka ini anakku.” Mama tersenyum ramah kepada tante Murni dan om Andi juga anaknya, mereka semua adalah tamu hari ini.

“kenalin tante aku Erik, ini adikku, Putri.” Kak Erik langsung bersalaman kepada mereka, disusul aku.

“ohh.. cantik dan tampan ya. Tante juga mau kenalin, ini anak tante, Rizal ayo salaman!” tante Murni menyuruhnya.

“Om , tante, saya Rizal.” Rizal pun bersalaman dengan mama, papa, aku dan kak Eri.

Perkenalan pun usai, makan siang pun telah disantap. Kini saatnya mereka untuk mengobrol dan berbincang-bincang di halaman belakang. Aku pun pergi dari tempat itu, lalu aku keluar, bergegas kedepan teras. Gimana mau betah? Orang yang dibicarain juga masalah pertemuan yang udah lamaaa bangettt mereka tak berjumpa, apalagi waktu itu aku masih belum ada. Sesaat setelah aku keluar, rasanya aku ingin ke kamar mandi. Lalu aku masuk kedalam rumah. Tapiiii... ‘brakk...’

“aww.. ahhh!!!” aku ditabrak Rizal yang sedang membawa minuman soda berwarna merah. Sehingga minuman itu tumpah dibajuku yang berwarna putih.

“ups! Maaf..maaf.. gak sengaja.” Rizalpun segera membersihkan bajuku dengan tisu.

“ahh.. apaan sih?” aku melepaskan tangannya yg sedang mengelap bajuku.

“udah terlanjur.. gak bisa bersih lagi lah. Lagian lo baru disini juga udah buat ulah. Aneh-aneh aja lo!” akupun langsung naik keatas dan pergi meninggalkan Rizal yang masih ada di depan ruang tamu.
Setelah kejadian itu, aku gak keluar-keluar dari kamar. Tetapi, mama memanggilku. Mau nggak mau aku harus turun kebawah. Dengan perasaan kesal aku turun tangga namun dengan wajah tersenyum. Walau senyumku palsu!

“sini dong sayang.. kamu kenapa sih dari tadi diatas mulu. Ada tamu juga. sekarang mereka udh mau pulang.” Ucap mama yang menghampiriku.
lalu aku berjabat tangan dengan om dan tante, tapi tidak dengan Rizal. Memang, aku masih bete sama dia.
Setelah 2 hari kejadian itu berlangsung..

Aku pulang sekolah...

“assalamualaikum.. mamaa” ucap aku yg tiba-tiba membuka pintu dan tak kusangka ada tante Murni dan Rizaall!!! Appaaa?? Owhh tidak!! Ketemu cowok yang super nyebelin dengan gayanya yang sok sok-an itu.
aku pun langsung bersalaman dengan tante Murni. Lalu aku segera naik keatas untuk ganti baju. Tanpa bersalam sapa dengan Rizal, anak tante Murni. Setelah beberapa saat, aku turun. Dan aku melihat tidak ada siapa-siapa di ruang tamu. Memangnya pada kemana ya tamunya? Tanyaku dalam hati. Tak berpikir lama aku segera ke depan teras, namun yang kulihat hanyalah Rizal yang sedang duduk didepan teras. Aku tak menghiraukannya, lalu aku segera berlalu dari tempat itu, namun baru berbelok arah sedikit Rizal memanggilku.

“Putri.. tunggu!!” panggil Rizal yang mengetahui kehadiranku.

“apa lagi?” dengan tampang jutek aku melirik ke arah dia yang sedang berdiri dari tempat duduknya.

“oh iya kejadian yang kemaren, gue minta maaf ya” . aku mendengus kesal, si Rizal masih aja inget kejadian itu. Tau nggak sih? Gue kesel itu karna baju putih kesayangan gue yang baru beli jadi kotor dan gak bisa  padahal itu baju model trendy masa kini.dipake lagi. Huh

“maafin gue ya” ucap Rizal lagi. Aku diam. Tapi aku tak bisa apa-apa untuk melawan.

“huh yaudah iya.” Ucapku dengan nada jengkel.

“maafnya nggak ikhlas nih!” sahut Rizal.

“ehh kata siapa gue ikh..ikhlaas kok.” Ucap aku sedikit gagap.

“dari nadanya aja ketauan.” Lirik Rizal dengan gayanya yang sok meyakinkan.

Emang nyebelin yah tuh anak. Tau aja kalau gue masih belum ikhlas. Tapi, buat apa ya gue terusin. Harusnya gue gak boleh begini, gue harus ikhlas dong. Aku pun melirik dia dengan ucapanku yang meyakinkan.

“oke.. gue ikhlas. Udah lupain aja kejadian itu.” Jawab aku tenang.

“serius. Kalau perlu gue ganti deh baju lo” Ucap rizal yang sekarang ada dihadapanku.

“ngg..nggak usah.” Aku menolaknya.

“yakin?”

“iya yakin”

“kalau gitu senyum dulu dong.” Pinta Rizal sambil tertawa.

“ih.. apaan sih. Nih gue senyum. Puaasss??” jawab aku sambil menunjukan senyumanku.

“nah.. gitu kan jadi manis.” Ledek Rizal.

Akupun hanya tertawa mendengar ledekan Rizal itu. Dia bisa bikin gue tersenyum. Tapi aku tak memikirkan hal itu. Kini hubungan aku dan Rizal berjalan biasa saja. Sesaat kejadian itu, aku yang baru keluar mengambil minuman, melihat Rizal sedang memainkan gitar. Hmm.. ternyata ia pandai juga memainkannya. Siswa SMA kelas 2 tersebut dengan lembut memainkan gitar dan suaranya pun tak kalah dengan musisi papan atas Indonesia.

“kenapa lo nggak jadi penyanyi aja?” tiba-tiba aku datang membawa 2 cangkir minuman ke ruang tamu.

“hm.. gue udah bikin band kecil-kecilan kok, tapi gue masih sibuk sekolah.” Jawab Rizal.

“oohh.. bagus.” Aku mengangguk tersenyum.

“lo mau gue nyanyiin lagu apa?” Rizal menawarkan aku.

“eh.. boleh? Hm.. kalau gitu apa aja deh.”
Rizal pun memainkan gitar dan menyanyikan sebuah lagu. Tapi kenapa lagu itu romantis ya kedengarannya. Aku hanya tersenyum. Tapi apa arti senyumku ini? Apakah senang? Bahagia? Atau bangga? Aku nggak tau kenapa tiba-tiba aku jadi respect kalau dekat Rizal.

Beberapa bulan kemudian...
Aku merasa kesepian, apa karna ini aku sedang menjomblo ya? Mungkin sih? Tapi aku bahagia. Aku masih membayangkan sosok Rizal yang ternyata tidak seburuk yang aku kira. Aku begitu menyesal waktu itu pernah membencinya. Kini aku begitu merindunya. Hah? Perasaan apa ini? Tiba-tiba datang menghampiriku. Pertemuan dengannya waktu itu membuat aku terus memikirkannya. Tiba-tiba......
‘tok-tok-tok....’ suara pintu membuyarkan lamunanku. Aku terhenyak, lalu aku bangkit membuka pintu. ‘ckrreeekk’...

“Rizal!!!!” aku kaget.

“Putri.. apa kabar?” Rizal datang kerumah dengan membawa gitar yang sedang dipegangnya.

“g..gue baik. lo kesini sendiri?” tanya aku.

“iya gue sendiri.”

“hm.. kalau gitu masuk aja.” Ajak aku.

Aku dan Rizal pun masuk, lalu pergi ke halaman belakang. Aku membawakannya minuman, lalu aku duduk. Ia pun sedang asik memainkan gitarnya. Lalu kami berbincang-bincang.

“hmm.. ada apa lo kesini? Tumbennya ?” ucapku memulai perbincangan.

“gak tau. gue bete aja dirumah. Jadi gue kesini.” Jawab Rizal tenang.

“haha emangnya ada apa sama rumah gue? Emang bisa bikin bete lo ilang apa?” ledek aku.

“hahaha gak tau yaa kenapa?” Rizal pun tertawa.

“oh ya tapi gue kesini punya alasan lho!” lanjut Rizal.

“alasan apa?” tanyaku penasaran.

“karna gue mau kasih sesuatu ke lo.” Tiba-tiba Rizal berubah menjadi lebih lembut.

“apa itu?” tanyaku lagi makin penasaran.

“gue mau persembahkan lagu ini ke lo.” Lalu Rizal menyanyikan lagu dengan lantunan gitar dan dengan nada yang romantis.. lalu Rizal berkata...

“Putri... gue suka sama lo. Mau nggak kamu jadi pacar aku?”
‘ DERRRRR!!!!’ bagaikan suara tembakan yang menggelegar ditelingaku. A..a..akuu.. terharu. Akupun tak menyangka bila Rizal akan berkata seperti itu. Jujur, aku senang mendengarnya. Namun aku belum siap untuk menjawabnya.

“maaf.. mungkin bagimu ini mendadak. Tapi aku telah memutuskan semua ini lama. Aku mulai merasa sangat nyaman bila berada didekatmu. Namun apakah salah aku berkata seprti ini kekamu?” tiba-tiba Rizal berkata dengan lembutnya, bahkan dia mengucapkan kata aku dan kamu. Romantis,..

“tapi..?”

“tapi apa?, jawab yaa, mau nggak kamu jadi pacar aku?”
aduuhh.. gimana yaa? Gimana nii? Aku bingung? Bagiku ini sih terlalu cepat. Tapi... aku gak mau nyia-nyiain kesempatan ini. Lagipula, kan aku lagi jomblo. Dan aku merasa kesepian. Siapa tau aja dia bisa menghibur aku. Apa aku terima aja ya? Aku coba terima deh...

“aa..a..aku aku mau” akupun menjawabnya, dan tiba-tiba Rizal meraih tanganku dan menggenggamnya dengan erat. Aku hanya tersenyum.

Kini rasa bahagia menyelimuti hatiku, aku bagaikan tertiup angin semilir yang membawa cinta diudara. Badanku gemetar, hatiku tak sanggup menahan kuasa cintanya. Ternyata, aku mulai membayangkan sosok yang ada dihadapanku ini. Kini aku akan melewati hari-hariku dengannya. Jantung ini tak berhenti berdegup kencang. Menandakan bahwa cintaku ada didekat sini. Rasa itu?? Tak akan pernah berhenti hingga ku lewati hari-hariku terus bersamanya. Semakin hari.. semakin sayang.., makin berganti bulan , makin mesra pula. Aku yang akan duduk di bangku SMA kelas 1, menyambut hari bahagianya Rizal yang kini telah lulus SMA dan sudah mulai kuliah. Aku merasa senang. Meskipun beda usia. Bukan berarti cinta kita berbeda. Aku menyayanginya begitu tulus. Sehingga, tak kusangka aku sudah melewati 2 tahun lamanya kita berpacaran. Aku dan Rizal pun tak menyangka. Kita yang slalu jarang bertemu. Karna Rizal, sosok yang tengah sibuk akan bandnya. Kuliahnya kini, dan sering pulang-pergi keluar kota karna kontrak tertentu. Walau aku menjalani cinta long distance relation-ship ,aku tetap bahagia. Sampai sekarang hubungan kita baik-baik aja.

Sampai pada waktunya cinta kita dipertemukan pada akhir desember.

“aku bete..! eh Rizal lagi ada di TL nih!” aku yang bete didalam kamar, membuka handphone dan mengecek twitter, melihat ada Rizal yang lagi on twiit sekarang. Wajahku pun berseri-seri.
“tapi ini siapa yah? Kok ada akun cewek lain yg berinteraksi sama dia.” Aku bertanya dalam hati. Tapi aku tak mempermasalahkan itu. Ya, aku sedang senang, karna hari ini Rizal ada di Jakarta. Akupun ingin memberi surprise ke dia. Tak berpikir panjang aku segera ganti baju dan berangkat kerumahnya dengan diantar supir pribadiku. Sepanjang perjalanan, aku mulai berfikir. Mengapa Rizal tak mengabariku kalau dia ada di Jakarta sekarang. Tapi kenapa dia malah update status di twitter, dan mentionan sama orang lain. Bahkan itu adalah cewek lain. Aku mulai curiga, tapi dalam hati kecilku aku harus berfikir positif. Sesampainya didepan gerbang rumah Rizal. Aku masuk dan megetuk pintu rumah Rizal.

“Putrii??!!” sapa tante Murni, setelah membukakan pintu itu.

“iya tante, saya kesini mau cari Rizal tan, Rizalnya ada?” tanya aku langsung tanpa basa-basi.

“Rizalnya baru aja pergi. Memangnya ada apa?”

“eng.enggak kok tan. Cuma pengen ketemu aja. Hm.. Rizalnya pergi kemana ya tan, kalo boleh tau?”

“Rizal sih biasanya pergi ke studionya.” Jelas tante Murni.

“yaudah deh, oh ya nih tan ada kue buatan mama. Silahkan dicoba ya tante.” Aku memberikan sekotak kue untuk tante Murni, yang aku persiapkan sebelum berangkat.

“makasih ya Putri, pasti ini enak.”

“sama-sama tante, aku pergi dulu ya.” Akupun langsung pamit. Lalu segera pergi ke studio dimana Rizal berada. Sesampainya aku disana, aku langsung memasuki ruangan yang ada dalam studio itu. Rasanya nyaman. Ruangannya pun sepi. Tapi inikan baru dilantai bawah. Aku segera naik keatas dilantai 2 biasa Rizal dkk berlatih vokal dan musik. Suara alunan musik pop sudah terdengar, menandakan memang ada yang berlatih disitu. Tak kelak suara Rizal yang mengalir melankholis. Aku semakin bersemangat menaiki tangga demi tangga. Ketika sampai akupun disambut oleh kawan-kawan Rizal yang sedang berlatih, ada Ando di drum, Madi di gitar 1, Raka di gitar 2, dan Indra di bass. Mereka sangat senang dengan kehadiranku ini. Apalagi Rizal yang langsung menyambutku dengan sebuah pelukan. Rasanya bahagia banget... tapiii?? Ketika berada didalam pelukan Rizal aku melihat seseorang yang duduk disudut sofa. Cantik. Siapakah dia?
Aku mulai penasaran. Segera kulepas pelukan Rizal. Dan menatapnya.

“Rizal, itu siapa?” tanyakku dengan lembut.

“ohh ini.. kenalin dia partner kerjaku, Vika.” Tunjuk Rizal dengan senyuman ramah pada Vika.
Vika? Tunggu tunggu? Kayaknya pernah kukenal namanya. Dimana ya? Oh? Hampir aja lupa? Kini aku ingat. Dia Vika. Yang sempat aku lihat namanya terpampang di TimeLine. Tapi...

“ayo kenalan!!” ajak Rizal yang menggandengku kearah Vika.

“hey kenalin, aku Vika.” Ujar cewek itu yang segera beranjak dari sofanya, dan ternyata selain dia cantik, dia juga tinggi... aku pun merasa terlihat pendek. Ya, maklum aku kan masih dalam masa-masa pertumbuhan anak SMA. Wajar aja kalau tinggi tubuhkan tak kurang dari 160 cm.

“aku Putri.” Akupun menerima jabat tangannya dengan senyuman yang penuh tanda tanya. Mengapa tanda tanya? Karna aku masih penasaran hubungan Vika dengan Rizal. Mengapa dia berdua nongol di TL? Seberapa sibuknya Rizal sampai sempat membalas tweet Vika dibanding aku yang juga udah berkali-kali menanyakan kabarnya lewat twitter. Satupun belum ada yang dia balas. Tapi.. aku masih penasaran apasih yang dia bicarain di TL. Akupun segera menyandarkan tubuhku ke sofa. Rizal yang sedari tadi memperhatikan tingkahku hanya tersenyum jahil kepadaku. Akupun sedikit meliriknya. Tetapi tidak menghiraukannya. Merekapun akhirnya melanjutkan latihannya. Lalu akupun sibuk dengan urusanku sendiri. Kuraih handphone-ku yang berada dalam saku. Kubuka twitter, lalu...???!!! apa??!! Apa yang aku lihat barusan. Tidak mungkin seorang partner ada hubungan spesial seperti ini. Kulirik Rizal dan Vika bergantian, namun sesaat aku menengok kearah Vika, ada tatapan yang begitu mendalam ke Rizal. Kenapa dia menatap seperti itu? Apa jangan-jangan dia suka? Kulihat lagi Rizal yang masih fokus pada vokalnya itu. Lalu kupalingkan padanganku pada layar yang terpampang pada twitterku kali ini.
iyaa sama2 Vika Sayang {} RT @Vika21 oke makasih ya Rizal kece ;;) RT @Rizal_pradana sip ditunggu ya hari ini ;)

Aku terdiam. Wajahku tak bergerak, bola mataku hanya fokus pada layar kecil yang ada ditanganku. Aku memperhatikan kata demi kata. Mengapa Rizal bisa bilang sayang ke orang lain selain aku. Aku menatap Rizal dalam. Bingung. Hanya itu yang aku lihat dari kejauhan. Rizal yang masih terlihat fokus pada latihannya sama sekali tidak melihat kearahku. Tapi tak apa. Sehingga dia tidak melihatku yang nampak curiga. Aku juga tidak ingin seperti ini. Tapi...

“Rizal aku pulang dulu ya..!” kuraih tas kecilku dan beranjak dari sofa lalu berjalan menuju tangga yang membawaku turun dari lantai 2.

“Putri!! Tunggu!!” Rizal pun memanggil-manggil namaku tapi aku tak menghiraukannya. Kulihat dia sedang berlari mengejarku yang sudah turun ke lantai bawah. Aku terus berjalan cepat, ketika aku ingin membuka pintu keluar. Rizal langsung meraih tanganku, dan menarikku kedalam.

“Putri kamu kenapa sayang? Kenapa tiba-tiba kamu pergi, ada apa?” Rizal menatapku heran. Aku bingung. Entah harus apa yang aku katakan.

“aa-a-aku.. aku gak kenapa-napa, aku Cuma pengen pulang aja.” Aku tergagap, karna bingung harus jawab apa.

“kamu yakin gak kenapa-napa. Aku lihat muka kamu tiba-tiba beda sayang. Kamu kenapa?” tanya Rizal lagi yang masih belum percaya.

“aku.. aku mau pulang!” aku menaikan alis dan sedikit keras mengeluarkan suara.

“yaudah aku antar yaa..” Rizal langsung memeluk aku, dia mengelus bahuku. Aku hanya diam dalam pelukan. Aku nggak sanggup. Aku nggak sanggup bila harus kehilangan Rizal. Rizal begitu sayang sama aku. Nggak mungkin kalau dia mengkhianati aku. Aku harus positif thingking. Karna siapa tau, analisa aku salah.

“nggak usah. Aku bisa pulang sendiri. Lagipula, kamu belum selesai kan latihannya?” aku melepaskan pelukan Rizal dan menatapnya.

“aku bisa lanjutin nanti kok latihannya. Yang penting aku mau antar kamu pulang dulu.” Ujar Rizal seraya membelai pipi mulusku. Dia menatapku begitu dalam. Aku bisa merasakannya. Saat ini aku bisa mendengar detak jantungnya untukku. Kutatap dia penuh cahaya. Aku bisa meraih lehernya, sekarang dia begitu dekat denganku. Sebuah jarak bisa diukur dengan jari. Aku memejamkan mata, kurasakan denyut jantungku terasa lebih cepat. Bibirku mulai gemetar, bisa kurasakan ada yang ingin menyentuhku saat ini. Kunikmati itu semua. Namun, kurasa cukup lama. Aku tak mau mengganggunya latihan, pikirku.

“yaudah, yuk pulang!” ucapku setelah melewati masa berumanku tadi.

Rizal mengangguk senang. Dia tersenyum. Manis sekali. Kusejajari langkahku bersama pacarku ini. Aku menggandengnya selama di perjalanan menuju parkiran. Tak hayal, canda tawa kita lalui sama-sama. Kagum. Dia begitu ceria. Sehingga, semuanya berlalu begitu cepat.

“nggak nyangka, udah nyampe rumah aja” ucapku dalam canda setelah sampai didepan gerbang rumahku.

“hahaha.. bilang aja kamu masih pengen sama aku, ya kan?” ledek Rizal sambil menarik hidungku yang gak terlalu mancung, tapi gak pesek.

“udah ah, sakit tau.”

“apa kamu masih mau aku temenin seharian ini, kan kita udah 2 bulan gak ketemu.” Sahut Rizal. Serius nampaknya.

“aku... hm... tapi gimana dengan latihanmu? Kasihan anak-anak pasti nunggu kamu disana.” Tak kalah seriusnya dengan Rizal.

“yee.. itu tau. Berarti kamu ngerti ya, kamu emang pacarku yang paliinngg ngertiin aku deh.” Ledek Rizal yang tiba-tiba berubah jadi nggak serius lagi. Dengan tampang yang nyebelin, sambil mencolek daguku yang hampir aja bikin aku kaget.

“oohh.. ternyata kamu gituu yaa.. yaudah deh sana-sana gih latihan.” Ucapku pura-pura marah, lalu keluar dari mobil dan menutupnya agak keras. Sepertinya Rizal kaget, hehehe. Dengan muka yang masih ditekuk aku melangkahkan kaki menuju pintu. Tapi tanganku seketika ditarik dari belakang. Aku menoleh. Tak lain adalah Rizal. Dia masih belum pergi.

“apa lagii??? Bukannya sekarang harus latihan ya.” Ujarku jengkel.

“tapi aku masih kangen sama kamu, apalagi kalau kamu lagi cemberut, makin manis dilihat.”

“apa kamu bilang?? Uhh,,” aku menggertak rahangku, membuat Rizal agak mundur.

“udah udah.. kamu jangan marah dong sayang. Maaf ya aku bikin kamu jengkel terus.”

“yaudah sana. Aku mau masuk dulu.” Aku membalikan tubuhku kearah pintu.

“tunggu sayang, ada yang ketiggalan?”

“apa?” setelah aku menoleh, tiba-tiba kecupan mendarat tepat dikeningku. Aku tersipu malu. Disaat saat seperti ini, Rizal masih aja ya ngelakuin ini. Dimana udah 2 bulan lebih aku nggak mendapatkan kecupan seperti yang biasa dilakukan Rizal.

“aku sayang kamu. Jangan lupa nanti kamu aku telfon ya.. aku ingin denger suara kamu yang cempreng itu. Aku tunggu ya sayang.” Ucap Rizal lembut seraya membelai rambutku yang lurus sebahu.

“iya sayang, pasti.” Aku tersenyum bahagia. Bahagia sekali.

“oh ya, aku tahu kenapa kamu tadi buru-buru minta pulang.” Tanya Rizal tiba-tiba.

“kenapa?”

“pasti kamu cemburu ya lihat Vika tadi.”

“e..enggak kok. Apa sih yang aku cemburuin. Lagi dia bukan siapa-siapa kamu kan?”

“jelas bukan lah, dia Cuma partner kerja aku sekarang. Tapi sebelumnyaa....”

“sebelumnya apa?” tanyaku jadi penasaran.

“sebelumnya dia sempet jadi teman dekatku beberapa tahun lalu. Tapi kan sekarang aku udah jadi milik kamu, nggak mungkin dong aku berpaling ke dia. Walaupun dia kelihatannya masih suka sama aku.” Rizal menjelaskan. Aku hanya diam. Terpaku.

“ja..jadi dia suka sama kamu.?”

“iyaa.. tapi itu dulu sayang, sekarang gak tau deh yang sebenarnya. Udah kamu jangan dipikirin lagi ya”

“tapi..tapi tadi kenapa kamu bilang sayang sama dia di akun twitter?”

“ohh.. itu. Ehh gapapa kok, Cuma mau ngasih penghargaan aja sama dia. Dia udah mau bantuin aku nyusun jadwal manggung aku yang bentrok, terus dia juga yang atur latihan kita. Udah itu aja kok sayang, kamu cemburu yaa...” jelas Rizal sambil meledekku.

“eng..enggak kok, awas yaa kalau kamu ada apa-apa sama dia.”

“tuh kann.. ketahuan nih kalau cemburu. Gapapa kok sayang, cemburu itu tanda cinta.”

“iya deh sayang iya, iyaa cembuuru sama kamu, karna aku sayang dan cintaaa sama kamu. Udahkan sayang puass??!” aku mendelik kesal. Walau hanya pura-pura. Dalam hati aku tersenyum bahagia.

“haha.. kamu nih slalu bikin aku tertawa, yaudah aku balik dulu ke studio ya? Nanti aku telfon kamu. Bye sayang, jangan lupa makan ya?!” ucap Rizal seraya jalan menuju ke gerbang.

“oke.. kamu hati-hati ya sayang” tak kalah aku juga memberi perhatian pada Rizal.

“siipp. I Love You.”
“I Love You too”

Betapa bahagianya aku saat ini. Sempat aku berpikiran yang aneh-aneh terhadap Rizal. Aku mengira dia mengkhianati aku. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala ketika berpikiran seperti itu. Wajar aja, karna aku sangat sayang sama kamu. Aku merebahkan tubuhku diatas ranjang, ketika sudah sampai dikamar. Mengambil pigura yang terletak di meja, tak jauh dari ranjangku. Aku membayangkan sosok itu. Rizal yang aku sayangi saat ini. Sampai kapanpun. Dia selalu membuatku bahagia. Kupeluk pigura bersama sosok itu dalam dekapan. Kupejamkan mataku, kubayangkan lagi masa-masa terindah dalam hidupku. Berwarna, ketika bersama dia. Intinya, kita berkomitmen saling menjaga perasaan masing-masing.

Kalausudah begini aku teringat salah satu penggal SYA’IR salam sebuah lagu.
Ada satu nama hingga saat ini masih ku abadikan di dalam hatiku dengan satu rasa dalam satu cinta hanya kita yang tahu dalam mana telah cinta kita memutik tidak sedikit pun kasih ku kepadamu surut dan berubah.
Semoga  hubungan ini akan selamanya berjalan. Menuai asa cinta yang sesungguhnya. Melayang jauh aku kemasa-masa yang akan datang. Hanya satu, aku hanya ingin bersamanya nanti. Menjadi yang terbaik, untuk hidupnya dan untuk hidupku. Tuhan.. jaga cintaku ini. Jangan sampai pergi, karna aku
hanya mencintai ciptaanmu yang satu ini. Sungguh aku sangat menyayanginya. Hening. Akupun terlelap dalam angan, dan bayangan.


by :  Putry

Rabu, 15 Juli 2015

on Leave a Comment

Kalau Cinta Kenapa Harus Diam

kisah cinta remaja galau"kalau cinta kenapa harus diam

Beginikah rasanya mencintai secara diam diam.  Hanya melihat dari jauh  saja sudah sangat sangat bahagia. ya,aku kagum sekaligus tak ku sadari timbul percikan rasa cinta , aku merasakan sudah beberapa tahun ini secara diam-diam hatiku bergetar di saat melihat ataupun bahkan andai aku ada di dekatnya. Akan tetapi kenapa aku harus seperti ini, tak cuma diam. Terkadang dalam hati berteriak ‘Hayy…. kamu savindra ‘”kalau cinta kenapa harus diam “, karena aku dan dia sudah saling kenal, dan bahkan sering membuat konversasi yang menyenangkan, walau hanya sekadar melalui messenger.


Daniel aldo wijaya, ialah nama lengkapnya. Dia adik kelasku ketika SMA lalu. Kami cukup dekat, sebab dia berpacaran dengan sahabatku. Saat itu, aku tak jatuh cinta, cuma sekadar kagum akan kepandaiannya. Entah, buatku, lelaki yang pandai selalu mempunyai kharisma tersendiri, terlebih dia mampu bergaul dengan banyak orang. Kabar putusnya hubungan Aldo dengan Lina -sahabatku- tak memberi kebahagian tersendiri bagiku, sebab aku tak mungkin bisa membuatnya menoleh dan meminta hatinya. Cukup mencintainya saja, bukan untuk memiliki hatinya, ujar benakku.

Waktu berjalan. Siapa bilang waktu tak mempunyai kaki? Filsafat lama pasti sudah memikirkan tentang hal ini. Waktu berjalan dengan kaki bayangan, kaki yang tak terlihat oleh kasat mata manusia. Waktu ialah serupa cinta; cuma bisa dirasa. Waktu ialah harapan, setiap langkahnya bergerak ke depan, membawa angan dan ingin yang ditiupkan angin, berharap selalu tentang kebaikan. Waktu ialah serupa perempuan; tak mudah ditebak. Waktu terkadang baik; mendekatkan. Pun waktu terkadang jahat; memisahkan. 


Waktu memisahkan kami,…. Kami?! Ah, maksudku, aku yang mengharap kami, padahal seharusnya kubilang aku dan dia saja. Entah ketika dia mengetahui aku yang selalu menyebut aku dan dia ibarat kami, mungkin akan marah. Sebab memang tak pernah ada kami. Aku dan dia memang tak pernah punya cerita. Tapi pikirku, dia tak akan pernah tahu tentang rasa diam ini yang kupunya. Jadi, kuibaratkan kami saja. Masih berharap tentang waktu, masih berharap tentang kami.

Beberapa tahun yang lalu. Terakhir aku menemui matanya yang kucuri diam-diam ketika perpisahan sekolah. Dia mengucapkan salam perpisahan. Dan aku, cuma bisa membalas senyum. Ah, aku masih ingat senyumnya. Manis sekali.sweeettt …sweeetttt

"Kak, apa kabar lo? Kita udah lama banget nggak curhat-cuhatan. Sekarang kuliah di mana? Gue udah kuliah di Universitas XX. Bentar lagi balik ke Tuban. Aaaak Semester awal ngeselin ya Kak. Tapi kan untung gue pinter. Hehehehe..." 

Aku kaget. Satu menit yang lalu memikirkan dia, dia langsung mengirimiku pesan instan di Blackberry Messenger. Sesegera mungkin aku membalasnya.

"Alhamdulillah baik. Lo sendiri gimana? Gue kuliah di Tuban. Hahaha, lo masih nggak berubah ya, Do. Pinter, tapi sombong. Huh! Semoga lancar deh semesternyaa ya!", balasku.

"Gue kangen deh sama lo, Kak." Ucapnya, membuatku ge-er. Aku. Berharap. Lagi.

"Ciyeeee, ada yang kangen sama gue. Hehehehe." Balasku, penuh percaya diri.

"Iiiicsh, pede. Kak, gue ketemu Lina loh di sini. Dia makin cantik deh, Kak. Makin dewasa. Yaiyalah, Lina lebih tua dari gue. Namanya juga dulu macarin kakak kelas. Hahahaha. Kita ngobrol panjang lebar loh." Celotehnya lagi, menghancurkan harap, merusak mood. Jadi, dia membuat konversasi ini hanya untuk membicarakan yang tak terlalu penting buatku? Ah, Aldo selalu begitu. Harusnya aku tak usah berharap lagi tentangnya.

"Gue udah lama nggak ketemu dia. Hehehe, pasti lo seneng banget deh ketemu mantan. Ciyeeee. Eh Do, gue harus masuk kantor lagi. Lanjut nanti ya ngobrolnya. Byeeee!" Aku berbohong, sebab makin lama Dia membicarakan mantannya, mood-ku bisa semakin berantakan.

Lagi dan lagi, cuma bisa berharap. Memang tak seharusnya berharap secara terlalu. Memang seharusnya berpindah ke hati yang lain, tak melulu soal yang lalu. Sebab waktu berjalan.


"Ah, sial! Mobilku mogok! Kenapa begini sih?! Meeting-ku mulai setengah jam lagi." Gumamku, kesal. 

Pagi ini penuh sial. Minuman kotakku tumpah mengenai seragam, pun mobilku mogok di sembarang tempat, jalan yang jauh dari bengkel ataupun pom bensin. Ya, aku selalu menghindari jalan yang rawan kemacetan. Sebisa mungkin aku meminimalisir menggunakan jalan-jalan umum, aku lebih sering menggunakan jalan alternatif -jalan perkampungan yang masih bisa dilewati mobil satu arah-  agar bisa menghemat waktu. 

"Dasar cewek. Punya mobil tapi nggak ngerti mesin. Coba sini, saya lihat kenapa bisa mogok." Seorang lelaki berpengawakan tinggi kurus, berkulit putih, pun tampan ini mencoba menolongku tetapi dengan gayanya yang sok tahu. Huh! Tapi memang, aku tak mengerti soal mesin. Hehe.

"Mbak, ini sih bensinnya abis. Bentar deh, saya beliin bensin dulu ke depan." Ujarnya.

Sebentar. Aku mengenalinya. Ah iya! Aldo! Yang barusan mau menolongku dengan gayanya yang sok tahu itu ya cuma milik Aldo. Ini benar-benar kebetulan yang luar biasa. Waaah, hari ini ternyata bukan hari sialku. Sebab aku bertemu dengan orang yang selama ini aku harapkan untuk bertemu.

"Bensinnya udah saya isiin, Mbak. Lain kali, jangan sampe bensinnya habis gak bersisa. Kasihan mobilnya." Ucapnya, sambil menuju ke arah mobilnya yang kemudian bergegas untuk berlalu.

Dia tak mengenaliku. Sama sekali tidak. Kupikir, dia akan memanggil namaku, dan setelahnya kami bisa saling membuat konversasi langsung yang menyenangkan. Tapi nyatanya tidak. Dia tak mengenaliku. Ah, sial! Kupikir hari ini berubah jadi hari keberuntunganku, nyatanya tidak. Sikapnya tadi cuma membuatku diam, dan sedikit bengong.

"Mas, makasih!" Teriakku.

Hal tersebut menyadarkanku untuk segera melajukan lagi kendaraan roda empat yang dihadiahi Mamaku ketika aku berulangtahun di usia 19 tahun. Kembali ke dunia nyata, dan lupakan segara harap yang tak mungkin. Kepada hati yang penuh harap, logika harusnya siap menantangmu. Ah.

----

Di kedai kopi , pukul tujuh malam sepulang dari boutiqku. Aku melihatnya lagi. Dia, jelas tak melihatku. Sebab Kedai sedang ramai, dia mana mungkin menyadari keberadaanku. Dia memesan kopi hitam panas, di cup kecil, take away. Datang ke Kedai cuma sepuluh menit, kemudian berlalu. Hal ini ternyata terus berulang, sampai berlaku ke seminggu berikutnya. Sampai aku hafal betul kebiasaannya.

Ternyata kami berbeda. Dia meminum kopi selalu di mobil, sebagai teman tak ngantuk ketika mengendarai. Sedang aku, meminum moccacino sembari meluapkan hobi menulis dan menggambarku, sambil sesekali mencari wi-fi untuk sharing bersama teman-teman lain melalui sosial media, dan menghabiskan waktu berjam-jam. Sepeti halnya saat ini, kopi moccaku sudah di cangkir kedua, sketsaku sudah di lembar ketiga, pun cerpenku sudah di paragraf ke enam puluh dua.

Serasa ada yang memanggilku. Tetapi dengan panggilan "Hey!" Yang menurutku kurang begitu sopan. Ah iya, tak semua orang mengetahui namaku.

"Kita ketemu lagi. Udah dua kali aja kita ketemu. Ah iya, saya belum tahu nama kamu. Aku, Aldo. Daniel aldo wijaya." Dia menyodorkan tangannya, tanda perkenalan.

Aldo masih tak mengenaliku. Padahal di Blackberry Messenger aku begitu sering mengganti display picture menggunakan foto yang memang wajahku. Ah, mungkin memang dia tak pernah meng-enlarge display picture-ku di BBm. Dan seharusnya dia mengenaliku karena dulu kami sering bertemu. Huh. Tapi itu tentang beberapa tahun yang lalu. Mungkin aku yang banyak berubah, sedang dia, tidak.

"Gendhis Savindra, panggil Gendhis, atau Vindra." Sebenarnya ada sedikit kecewa, tapi tak kutunjukkan. Kemudian kusuguhi senyum yang beberapa orang bilang senyumku begitu manis. Sedikit PeDe boleh, kan? Oh ya, namaku Ira rachmawaty septya putry savindra. Di Blackberry Messenger, selalu kutulis  Gendhis S., Aldo tak akan pernah tahu S. di dalam namaku. Aku membiarkan dia tak tahu tentang aku yang sebenarnya, tapi aku tak sama sekali berbohong. Savindra memang benar namaku.

"Savindra kan nama cowok. Yaudah, karena kamu nggak sama sekali kelihatan kayak cowok, jadi gue panggil Gendhis  deh. Hmmmm, anak desain ya? Gambarnya bagus-bagus, lucu. Kalau yang gambarnya, cantik." Ucapnya, sambil sesekali melempar senyum yang disisipi tertawa kecil, ah, manis.

Aku serasa menjadi orang lain, yang begitu pendiam, yang begitu tak mau tertawa biar dia memberiku beberapa humor yang memang seperti terpaksa dan aneh. Entah, kenapa dia begitu sok akrab kepadaku.

"Ah enggak, cuma hobi aja kok."

"Penulis?"

"Cerpenis blogger."

"Aku nggak begitu suka baca."

"Aku pun."

"Kok suka nulis? Mana ada penulis yang nggak suka baca. Aneh." Gumamnya.

"Ada, aku."

"Kok bisa?" Aldo keheranan.

"Menulis itu merekam ingatan, mencatat keinginan, memainkan imajinasi, dan hidup di dunia fantasi. Nggak perlu suka baca, soalnya cuma tinggal berkhayal, buat dunia baru. Menulis itu membuat dunia sendiri, sedangkan membaca itu menonton dunia orang lain, dengan seolah-olah kita berperan dan hidup dalam tulisan itu."

"Kenapa kamu nggak suka baca?"

"Aku lebih suka nonton film. Nonton film dan baca buku itu ialah pilihan. Bagiku, aku harus memilih salah satu di antaranya. Kamu mau bilang aku aneh? Silahkan. Semua orang punya caranya sendiri untuk memilih apa yang disuka maupun tidak. Seperti halnya menggambar, aku nggak tahu teknik menggambar yang benar, pun menulis dengan kalimat rapi dan berbahasa tinggi, tapi selagi itu menyenangkan dan nggak merugikan diri sendiri, i lived on it."

"Kamu cerewet."

Apa? Cerewet?! Aku bahkan tak tertawa. Aku hanya menjelaskan apa yang dia pertanyakan. Aku ini sedang jadi pendiam, pendiam yang cuma menjawabi pertanyaan-pertanyaan dia yang seharusnya tak kujawab, yang tak begitu penting. Entah penjelasanku didengar atau tidak, seperti serasa menceritakan dongeng kepada bayi yang baru kemarin lahir, cuma dijawab "Oaaa... Oaaaa", huh.

Dasar wanita, mudah sekali kesal. Dengan dia bilang seperti itu, sudah merupakan tanda bahwa aku harus berhenti bicara. Aku diam.

Hening.

"Kok diem?"

"Tadi dibilang cerewet, giliran diem, ditanya 'kok diem?'. Hahaha." Aku meledek.

"Gue memperhatikan kok setiap kalimat yang kamu ucapkan. Gue paham. Kamu itu penulis dan penggambar yang masih malu untuk unjuk gigi. Yang terkadang selalu merendahkan diri dengan bilang cuma sekadar cerpenis, dan cuma sekadar suka menggambar yang tak bisa menggamar. Tapi kamu terlihat sebagai wanita yang segala bisa. Oh ya, gue bilang cerewet karena memang kenyataannya begitu. Cerewetmu tak menjengkelkan kuping gue. Malah gue senang dengernya. Nggak apa-apa cerewet asal berisi. Tuh kan, gara-gara kamu gue jadi ikut cerewet." Jelasnya, panjang lebar.

'Aldooo. Kenapa kamu tak menyadari sama sekali bahwa ini aku, kakak kelasmu dulu, yang begitu diam-diam megagumimu? Yang sedang dihadapanmu ini ialah yang selalu kamu panggil Kak Rachma. Ah, aku cuma bisa bergumam dalam hati, menunggu kamu menyadari dengan sendirinya.' Batinku.

"Oke, sekaang giliran kamu yang cerewet dan silahkan ceritakan tentang kamu. Tapi aku kasih waktu, lima menit."

"Udah kayak interview kerja ya. Huh. Yaudah. Nama gw Aldo umur 18 tahun. Dan gw sama sepertimu, nggak suka baca, dan lebih senang nonton film. Bedanya, kamu wanita, gw lelaki, dan gw nggak suka gambar. Gw lebih suka motret dan travel. Kalau film, gw suka sama Adam Sandler dan Jennifer Anniston. Segitu aja dulu deh, tentang gw, sisanya bisa gw ceritakan di pertemuan kita yang ketiga, nanti." 

Tanpa dia jelaskan pun, aku suh tahu tentang dia lebih banyak dari yang dia ceritakan barusan. Aku cuma tak mau konversasi ini cepat berakhir.

"Jangan terlalu yakin kalau akan ada pertemuan ketiga di antara kita." Entah. Kenapa aku begitu terkesan sombong dan menjengkelkan. Seperti bukan aku.

"Saya yakin. Sepulang kantor, besok, pukul tujuh malam, di tempat yang sama seperti halnya malam ini."

"Ya mudah-mudahan. Pulang yuk, udah pukul sepuluh malam" Ajakku, yang sudah menemui beberapa kantuk menghinggapi kelopak mata.

"Yuk."

Kami dipertemukan, tetapi di dalam keadaan di mana kami sedang tak saling jatuh cinta. Maksudku, aku yang jatuh cinta diam-diam, sendirian.wkwkwkwkwkk…


------

Sepulang kantor, mama meneleponku untuk segera pulang, mama minta ditemani sebab mbak siti sedang cuti pulang ke desanya. Jadi malam ini, aku tak singgah di Kedai Kopi, pun benakku bilang bahwa Aldo tak datang ke Kedai malam ini.

Pukul sepuluh malam. Led Blackberry-ku menyala merah. Ada yang mengirimiku pesan instan.

"Kak. Gue ketemu Lina lagi. Tadi sore kita jalan bareng. Ternyata dia nggak berubah ya, kekanak-kanakannya itu imut, selalu bikin gue gemes."

Ternyata Aldo, pesannya sudah terlanjur kubaca. Tak mungkin kuabaikan, biar seberapa besarnya mood-ku rusak tiba-tiba oleh isi pesannyayang straight to the point. 

"Duh, kalian lucunya. Semoga akur terus ya. Duh, gue jadi kangen kan sama kalian..." Balasku, sesak.

Bagaimana bisa dia masih ingat Lina dengan jelas, sedang denganku tidak sama sekali? Jawabannya sudah jelas, karena dia tak memperhatikanku.

"Ya mudah-mudahan kita bisa ketemu, lagian kan gue udah balik ke BJN. Lagi apa, Kak?"

Benar kan? Aldo tak ke Kedai malam ini. Sesore tadi dia bahkan jalan dengan Lina. Memang harusnya tak usah ada pertemuan ketiga sebagai Savindra dan Aldo lagi. Memang harusnya kupatahkan hatiku agar tak melulu dia yang menyinggahi benak. Sudahi, mudahi.

"Lagi nonton tv, nemenin mama. Soalnya mbak yang biasa temani mama lagi pulang kampung."

"Oh, yaudah Kak. Selamat nonton tv bareng mama. Salam buat mama kakak".

Chat terakhirnya tak kubaca. Cuma terlihat sebaris dari display utama notifikasi pesan. Kubiarkan tak terbaca sampai pagi.

-----

Kopi susu moccacino, ialah rutinitasku. Takkan kubiarkan hari-hariku kurang tanpanya. Kopi favoritku ialah kopi moccacino panas dengan dibubuhi sedikit gula. Kopi susu sedikit gula, ialah teman menulis gila. Kopi racikan Barista favoritku ialah Mas Dewa, Barista di Kedai Kopi yang biasa aku singgahi. Malam ini, aku singgah lagi. Tanpa sedikitpun berharap mata menemuinya. Malam ini, cuma mau menghabiskan dua cangkir kopi susu moccacino panas favoritku, sembari melepaskan asa yang kurekam dalam sebuah tulisan singkat. Malam ini, aku tak menggambar, sebab aku lupa membawa pulpen gambar.

"Hei, nggak menggambar?" Lagi-lagi Aldo.

"Lupa bawa drawing pen."

"Nih , aku punya. Tapi yang 0,05 mm. Aku selalu bawa di saku baju. Tapi nggak tau buat apa."

"Lagi males gambar."

"Hmmmm... Okay. Semalem nggak ke sini ya?"

Menyebalkan. Untuk apa dia menanyakan hal yang tak perlu ditanyakan. Iya, tak perlu, sebab dia sendiri bahkan tak datang.

"Seharusnya malam ini pertemuan kita yang keempat." Lanjutnya lagi, sebab aku masih diam.

"Semalam kamu ke sini? Aku nggak ke sini, soalnya ada urusan lain yang lebih penting."

Baru saja semalam aku mau melupakannya. Tapi lagi-lagi dia datang, seolah-olah membuka tangan, memberi harap untuk saling bisa menggenggam. Entah apa yang ada dipikiran lelaki yang satu ini. Hatinya ke mana-mana. Inginkan Lina, tapi seolah meminta hati dan perhatianku. Ini mengesalkan, harusnya kalau sudah ada Lina, tak usah bilang soal pertemuan kami.

"Saya nunggu sampai  pukul sepuluh. Habis itu pulang. Soalnya kamu nggak juga datang." Ucapnya, mengagetkan.

"Maumu apa?!" Emosiku tiba-tiba meledak.

"Saya nggak pernah merasa seyakin ini. Saya menyayangi kamu." Aldo makin membuatku semakin tak mengerti.

"Kita bahkan baru bertemu tiga kali. Jangan bicara sembarangan. Kamu bahkan nggak kenal aku." Sesak, aku menahan air mata. Bagaimana tak sesak, semalaman dia membicarakan Lina, sekarang bilang seperti itu dengan mudahnya.

"Saya sering memperhatikanmu, jauh sebelum bertemu denganmu ketika mobilmu kehabisan bensin. Saya sering memperhatikanmu di sini. Kamu menggunakan syal yang berbeda setiap harinya. Tiga warna yang kuingat, warna campur gelap dominan merah tua, warna campur gelap dominan biru tua, dan warna garis-garis hitam abu-abu yang berantakan. Kamu bisa menghabiskan dua sampai tiga gelas kopi moccacino panas sedikit manis, menggambar dan menulis dengan penuh serius, sendirian. Menghampirimu, sangat butuh keberanian yang cukup, sebab kamu terlalu penuh serius dengan imajimu, sampai tak menoleh ke arahku yang berada di depanmu, sedang memesan secangkir kopi yang sama denganmu. Saya selalu memilih untuk membawa kopinya, ialah sebab saya ingin menghampirimu, tetapi enggan merusak imajimu. Kemarin ialah waktu yang tepat buat saya membuka konversasi langsung sama kamu. Maaf, jadi saya yang cerewet, cuma sekadar mau menjelaskan apa yang selama ini ku rasakan." Jelasnya, yang sama sekali tak membuat semua jelas.

"Aku tanya maumu apa?! Aku tanya sekali lagi maumu apa?!" Air mata perlahan menetes. Aku berucap, lirih. Gemetaran.

Aldo terdiam.

"Kamu nggak bisa seenaknya mempermainkan perasaan orang lain. Lina, kemudian aku. Aku Gendhis, yang selalu kamu kirimi segala cerita-cerita tentang Lina dan kamu, tentang cinta kalian. Aku Gendhis, yang kadang hatinya mudah kecewa tiap kali kamu menceritakan dia. Aku Gendhis, yang berharap ketika itu kamu memanggil namaku, tetapi kamu malah berlalu, pun malah menanyakan namaku. Kamu tahu, aku penuh luka, dan aku ingin lupa!" Jelasku, masih berlirih.

"Kenapa harus luka? Kenapa harus kecewa?"

"Sebab aku mencintaimu!" Ucapku, refleks.

"Diam-diam?"

"Pikirmu?!"

"Kamu pikir, saya nggak mencintaimu, hah?!  Saya bingung harus melakukan apa ketika itu. Saya mana mungkin mendekatimu setelah saya memacari sahabatmu. Lina tak bisa membuat saya menyukaimu dengan seyakin ini. Saya bingung membuat konversasi denganmu di messenger memulainya dengan apa. Mungkin dengan itu, bisa membuat kita saling bertukar cerita lebih lama. Tapi saya malah melukai kamu." Jelas Aldo, meyakinkan.

"Aku nggak percaya." Balasku, singkat.

"Kamu harus percaya. Saya tahu kamu, Ira Rachmawaty Septya Putry Savindra. Saya jelas tahu namamu dari perpisahan sekolah waktu itu. Saya ada, dan saya yang memotretmu. Saya jelas hafal namamu. Soal waktu itu, saya cuma sekadar sengaja mencoba menjadi orang asing bagimu. Kamu tahu kenapa? Supaya kita bisa lebih banyak bicara, sampai larut. Cinta saya diam-diam. Tapi sekarang tidak. Sebab saya sudah mencoba mengungkapkannya."

"Aku bahkan lebih dulu mencintaimu diam-diam. Aku lebih dulu mengagumimu."

"Iya, setelah itu saya yang begitu menyukaimu. Diam-diam juga."

"Lalu?" Aku masih tak menyangka. Aku berasa sedang bermain dengan imajin di dunia fantasi liarku. Semoga ini benar, dan bukan sekadar ilusi.

"Saya mau kita."

"Maksudnya?" Aku masih keheranan.

"Segala kita, di semua cerita yang kamu buat. Bukan ilusi, bukan imajinasi. Kita, yang membuat ceritanya sendiri. Kita, yang menghidupi segala fantasimu. Gw sayang kamu."

"Aku juga sayang kamu."

Kami saling meyakinkan hati, di hadapan dua cangkir kopi hitam sedikit manis yang mendingin sendirinya, cangkir kopi milik kami.  Kami ialah dua yang sama; pecinta racikan kopi yang sama rasa, yang ternyata saling mencinta diam-diam, pun yang akhirnya cintanya bisa suarkan suara kejujuran dari masing-masing hati kami.

Malam itu, dia memelukku. Memberi tenang yang luar biasa candu; menenangkan, mendamaikan.

Sekarang, cinta kami tak lagi diam.

Teruntuk kalian yang cintanya bungkam, belajarlah bicara.jangan terus diam andai kalian semua di hinggapi rasa, utarakanlah biar tak ada penyesalan . 



 

Gendhis savindra. Diberdayakan oleh Blogger.